Tidak mudah menyelesaikan persoalan divestasi saham PT Freeport Indonesia. Banyak pihak yang harus dilibatkan dalam pembicaraan. Banyak kepentingan yang harus dipertimbangkan.
Sepekan setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan pembayaran 51,2 persen saham Freeport Indonesia oleh PT Inalum (Persero), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merilis sebuah testimoni yang menggambarkan kompleksitas persoalan dan kerja keras berbagai pihak yang memungkinkan pembelian saham senilai 3,85 miliar dolar AS itu dilakukan.
“Banyak pilihan tidak mudah, banyak perdebatan panjang dan kadang suasana tegang dan memanas, namun tim selalu mampu memberikan pilihan yang terbaik bagi Indonesia dan ditetapkan dan diputuskan oleh para menteri yang selalu sejalan dengan arahan Presiden dan Wapres,” tulis Sri Mulyani dalam testimoni itu.
Untuk menggambarkan betapa kompleksnya persoalan dan betapa dibutuhkannya pembicaraan yang teliti, Sri Mulyani mengatakan bahwa sejak pertengahan tahun 2017 sampai Desember 2018 Kementerian Keuangan menggelar setidaknya 34 pertemuan baik internal maupun dengan berbagai pihak, mulai dari Freeport-McMoRan hingga pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika.
Semua pembicaraan itu dilakukan sebagai pelaksanaan tugas dari Presiden Jokowi untuk melakukan negosiasi kontrak dengan Freeport. Ada empat hal di dalam satu paket negosiasi yang harus diputuskan. Pertama mengenai keharusan Freeport-McMoran melepas 51 persen saham yang mereka miliki di Freeport Indonesia kepada pihak Indonesia.
Hal kedua terkait keharusan Freeport membangun smelter dalam jangka waktu lima tahun setelah persetujuan perpanjangan operasi ditandatangani. Lalu keharusan Freeport membayar lebih besar bagi penerimaan negara, berupa Perpajakan Pusat dan Daerah juga Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Terakhir, perpanjangan operasional selama dua kali 10 tahun hingga 2041 diatur dalam skema Isin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai pengganti Kontrak Karya.
“Tugas tersebut tidaklah mudah, dan sungguh kompleks, karena segala urusan menyangkut operasi Freeport di Papua adalah selalu sensitif secara politik, hukum, ekonomi, sosial, dan keamanan. Berbagai kepentingan sudah mengakar,” sambung Sri Mulyani.
Dia menggarisbawahi ketegasan Jokowi dalam mengarahkan negosiasi. Jokowi selalu berpesan agar urusan divestasi saham Freeport ini setia pada satu tujuan, yakni kepentingan bangsa dan negara, termasuk rakyat Papua. Serta, tidak boleh ada kepentingan pribadi atau kelompok yang menunggangi.
“Tidak ada perundingan melalui pintu belakang,” tulis Sri Mulyani lagi.
“Para
menteri bersama-sama menghadapi perundingan dan saling menunjang dan membantu.
Kepemimpinan Presiden memberikan kejelasan dan melindungi kami dari berbagai
kelompok yang memiliki kepentingan berbeda,” demikian Sri Mulyani.
Solusi Out of the Box
Bagi sementara kalangan, keputusan pemerintah membeli 51,2 persen saham Freeport Indonesia, apalagi dengan menggunakan dana dari penjualan surat utang global, dipandang sebagai sesuatu yang aneh dan janggal.
Ekonom senior DR. Rizal Ramli termasuk yang menyayangkan hal itu. Toh, kepemilikan saham Freeport-McMoRan di Freeport Indonesia, berdasarkan Kontrak Karya (KK) kedua yang ditandatangani di tahun 1991, akan berakhir tahun 2021 yang akan datang.
“Setiap kontrak pertambangan yang habis masa berlakunya wajib dikembalikan ke pemerintah Indonesia,” kata Rizal dalam perbincangan dengan redaksi.
Menurut Rizal yang pernah menjadi Menko Maritim dan Sumber Daya di Kabinet Kerja yang dipimpin Jokowi, semestinya pemerintah menggunakan kasus pengembalian Blok Mahakam dari Total di tahun 2015 dan pengembalian Blok Rokan dari Chevron di tahun 2018 sebagai model dalam negosiasi dengan Freeport Indonesia.
Setelah kedua blok itu dikembalikan, pemerintah menyerahkan hak pengelolaan kepada perusahaan dalam negeri, dalam hal ini PT Pertamina. Tidak ada polemik yang berkepanjangan dan tidak ada keributan yang berarti.
“Langkah itu sangat tepat dan bagus,” ujar Rizal Ramli.
“Untuk Freeport Indonesia seharusnya berlaku pola yang sama. Dikembalikan dulu 100 persen ke Indonesia tahun 2021. Kemudian kontraktor bisa ditunjuk BUMN bekerjasama dengan Freeport atau Rio Tinto. Tidak perlu sahamnya dibeli 51 persen dengan ribet dan uang pinjaman yang beresiko tinggi,” rinci Rizal dalam perbincangan dengan redaksi.
Di sisi lain, Rizal Ramli melihat satu peluang emas yang dapat digunakan untuk mendapatkan Freeport Indonesia secara elegan dan bermartabat, serta lebih mencerminkan sikap memperjuangkan kedaulatan.
Pada dasarnya, menurut Rizal Ramli, perpanjangan KK yang ditandatangani di tahun 1991 cacat hukum dan melanggar asas sanctity of contract (kesucian kontrak).
Dengan demikian tidak ada kewajiban untuk menyetujui perpanjangan kontrak Freeport dua kali 10 tahun sampai 2041.
Belum lagi, sambungnya, Freeport banyak melakukan tindakan wanprestasi, seperti tidak memperhatikan kerusakan lingkungan, membiarkan jadwal divestasi molor, dan mengundur pembangunan smelter.
“Serta track record sebagai penyogok pejabat Indonesia,” sambungnya.
Dalam pasal 31 KK kedua, memang disebutkan bahwa Freeport memiliki hak untuk mengajukan perpanjangan kontrak. Namun tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk memenuhi permintaan itu.
Ada klausul yang mengatakan, pemerintah tidak akan menolak permohonan perpanjangan kontrak tanpa alasan yang tidak rasional (unreasonably). Ini artinya pemerintah bisa menolak bila memiliki alasan yang rasional. Dan, alasan-alasan rasional itu sesungguhnya memang ada.
“Mengapa diplintir seolah-olah pemerintah wajib memenuhi permintaan perpanjangan kontrak? Jelas pemerintah sebetulnya memiliki alasan yang sangat reasonable untuk tidak memperpanjang kontrak Freeport,” sambung mantan Menko Perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid itu.
Saat menjadi Menteri Keuangan di tahun 2001, Rizal Ramli pernah ditugaskan Presiden Abdurrahman Wahid untuk melakukan negosiasi dengan Freeport.
Dalam pertemuan dengan CEO Freeport-McMoRan ketika itu, James Robert Moffett, di sebuah hotel di Jakarta Selatan, Rizal Ramli berhasil mendapatkan pengakuan dari Moffett tentang kesucian kontrak yang terciderai itu.
Moffett juga menyadari bahwa apabila cacat dalam proses legal ini dipersoalkan ke pengadilan internasional, dirinya dan pihak-pihak lain di Freeport yang terlibat dalam praktik buruk itu dapat dijatuhi hukuman pidana.
Karena itu, Moffett setuju untuk membayar ganti rugi sebesar 5 miliar dolar AS kepada pemerintah Indonesia. Moffett pun bersedia membayar kompensasi untuk kerusakan lingkungan yang terjadi selama operasional Freeport Indonesia, serta membangun smelter.
Tetapi, negosiasi yang dilakukan Rizal Ramli itu terhenti. Tiga bulan setelah pertemuan dengan Moffett, pada Juli 2001 Gus Dur jatuh dari kekuasaannya dan dipaksa meninggalkan Istana.
KPK Perlu Ikut Mendalami
Pengacara senior Otto Hasibuan sependapat dengan pandangan Rizal Ramli. Menurutnya pembayaran 51,2 persen saham Freeport Indonesia itu janggal karena di tahun 2021 Freeport akan menjadi milik Indonesia sepenuhnya.
Otto pernah mendalami KK Freeport Indonesia saat menjadi konsultan hukum Menteri ESDM Ignasius Jonan.
“Kami baca ada klausul dalam KK yang menyatakan perpanjangan KK tergantung persetujuan pemerintah. Jadi tak ada alasan pemerintah membayar mahal,” kata Otto.
Menurutnya, tidak berlebihan bila ada pandangan yang mengatakan telah terjadi kerugian negara di balik pembayaran 51,2 persen saham senilai 3,85 miliar dolar AS itu.
“Kini kita hanya memiliki 51 persen, berarti kita masih memberikan hak ke dia (Freeport-McMoRan) sebesar 49 persen untuk dia nikmati lagi selamanya. Ini kan kerugian besar buat kita,” ujar Otto lagi.
“Ini ada potensi kerugian negara. Kalau dia tidak beli sekarang, itu jadi milik kita tanpa bayar kok. Kenapa harus kita bayar?” protesnya.
Otto menambahkan, sudah sepantasnya bila Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami kasus ini untuk mencari tahu dan membongkar simpul-simpul di balik potensi kerugian negara itu.
Potensi kerugian negara lainnya, sambung Otto, terjadi bila PT Inalum melakukan pembayaran sebelum izin perpanjangan dari Kementerian ESDM dikeluarkan.
Berdasarkan UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, perpanjangan hanya dilakukan dua kali 10 tahun. Lima tahun sebelum perpanjangan 10 tahun pertama berakhir Freeport Indonesia dapat mengajukan kembali permohonan perpanjangan untuk 10 tahun kedua.
Hal itu juga diatur dalam PP 1/2017 yang mengharuskan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUPK dari pemodal asing hingga tahun ke-10 wajib melepas sahamnya paling sedikit 51 persen kepada peserta Indonesia.
Adapun peserta Indonesia, menurut PP tersebut, adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan swasta nasional.
Agar perpanjangan izin didapatkan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, kata Otto lagi. Pertama, divestasi saham di mana sebanyak 51 persen saham berada di tangan Indonesia. Tahap ini sudah diselesaikan di bulan Desember. Kedua, kewajiban membangun smelter.
Nah, kewajiban terakhir ini belum dipenuhi. CEO Freeport-McMoRan Richard C. Adkerson baru sebatas menyampaikan komitmen untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian alias smelter di Indonesia setelah transaksi divestasi saham dilakukan.
Selain itu, Freeport juga berjanji menggelontorkan investasi hingga 2041 untuk kegiatan operasionalnya. Di sini potensi pelanggaran pun kembali terjadi. Bila merujuk UU 4/2009 pemegang KK tidak boleh mengekspor hasil tambang jika tak memberi nilai tambah terhadap produk itu. Artinya, setiap perusahaan tambang termasuk Freeport Indonesia wajib memiliki smelter di Indonesia. Penjualan produk mentah hasil tambang di dalam negeri dikecualikan dari regulasi itu.