Dalam perjalanan dari Bandung dengan Argo Parahyangan tadi malam, beberapa teman menghubungi saya.
Ada yang protes, bertanya mengapa saya tak memberi kabar datang ke Bandung.
Saya jawab, kunjungan memang cukup singkat, untuk menghadiri kuliah umum Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan di kampus Unpad Jatinangor dan menghadiri undangan promotor Prof. Arry Bainus.
Saya tiba dari Medan, Jumat, pukul 20.00. Lalu pulang ke rumah sebentar untuk setor muka, dan tengah malam berangkat ke Bandung. Sahur di KM 88, lalu tiba di Jatinangor Sabtu pagi pukul 07.30. Selesai dari Unpad Jatinangor pukul 14.30, langsung ke RMOLJabar, dan malamnya naik kereta ke Jakarta.
Lalu saya minta maaf tidak sempat mengabarkan kedatangan saya.
Teman yang lain bertanya, apakah saya akan ke Singapura untuk menyaksikan pertemuan antara Kim Jong Un dan Donald Trump. Saya jawab, tidak. Saya akan berada di Jakarta saja.
Dia juga bertanya apakah saya memberikan masukan khusus kepada Presiden Jokowi mengenai perkembangan isu Semenanjung Korea.
Saya jawab, “Tidak. Presiden punya banyak orang yang bisa memberikan briefing mengenai hal ini.”
“Tapi Bro,” sambung teman ini, “elo mengikuti isu ini sejak lama dan punya akses ke kedua Korea. Perspektif elo tidak mainstream dan menarik.”
Saya jawab lagi, “Tahun lalu saya sudah pernah diundang oleh salah seorang Staf Khusus Presiden untuk menjelaskan isu Semenanjung Korea dari perspektif saya.”
“Saya kira, itu sudah cukup,” jawab saya.
Teman ini juga mengajak saya mendiskusikan satu-dua perkembangan politik di tanah air. Pembicaraan sempat terputus karena blank spot. Saya hubungi balik, nyambung sebentar, sebelum akhirnya terputus lagi karena blank spot.
Lewat Stasiun Purwakarta, giliran teman yang lain menghubungi.
Teman ini membaca ucapan selamat yang saya sampaikan atas keberhasilan Indonesia menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB di salah satu media online.
Dia protes. Gugatnya kira-kira: “Kok elo ikut-ikutan larut dalam ephoria ini? Apa yang luar biasa dari keterpilihan Indonesia di DK PBB kali ini? Kan elo juga tahu, sudah pernah tiga kali sebelumnya Indonesia jadi ATT DK PBB.”
Iya, jawab saya. “Dalam ucapan selamat saya itu juga sudah saya sebutkan mengenai kepercayaan yang diberikan kepada Indonesia ini adalah untuk kali keempat. Jadi, bisa dibilang bukan hal baru.”
“Nah,” sambarnya, “elo tahu itu. Aneh, elo ikut-ikutan larut ephoria.”
“Lagian,” sambung dia, “yang dikalahkan Indonesia dalam voting adalah Maladewa, Bro. Gua tidak menghina Maladewa, Bro. Tapi, lawan Maladewa. Kalau gak menang ya kebangetan luar biasa.”
“Yang hebat itu Bro,” kawan ini melanjutkan, “kalau Indonesia nanti berani melawan veto Anggota Tetap DK PBB.”
“Ya, nanti kita ucapkan selamat lagi,” jawab saya ringan sambil tertawa. Dia pun tertawa.
Kawan ini juga mengingatkan saya pada protes yang pernah saya sampaikan atas sikap Indonesia yang tidak adil pada Korea Utara. Katanya, kalau mau jadi juru damai gak boleh berat sebelah. Dia juga mengomentari posisi Indonesia di tengah pertarungan kepentingan antara AS dan China di kawasan.
Sebelum semakin ngantuk dan semakin tidak fokus, saya minta kawan saya itu untuk melihat urusan Indonesia kembali jadi ATT DK PBB ini dari sudut pandang yang lebih luas dan pas. Setidaknya menurut saya.
Indonesia pernah mencapai golden age di panggung global di era Presiden Sukarno. PJM BK menawarkan Pancasila sebagai pengganti piagam PBB, mengkonsolidasi negara-negara baru yang muncul di era 1945-1955 dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung, mendirikan Conference of Emerging Forces (Conefo) semacam PBB tandingan, atau bahkan keluar sama sekali dari PBB.
Tapi persoalan-persoalan yang sedang dihadapai dunia beberapa tahun ini berkembang luar biasa. Bahkan sudah berbeda dibandingkan dengan situasi global pada 2007-2008, ketika terakhir kali Indonesia menjadi ATT DK PBB.
Ada persaingan-persaingan baru yang mencapai level berikutnya dan semakin kuat menyedot Indonesia ke episentrum gesekan kepentingan.
Menduduki salah satu kursi ATT DK PBB pada masa-masa seperti ini adalah modal yang bagus. Kita berharap, kursi itu tidak sekadar diduduki. Tapi dimanfaatkan untuk membuktikan Indonesia punya suara yang pantas dan layak didengar dunia dalam konteks menciptakan perdamaian.
Tidak harus jadi superhero, hanya perlu jadi aktor yang punya dan mempertahankan dignity dan wisdom.
Di seberang sana, dia tertawa. Lalu dia mengatakan sesuatu yang tidak bisa saya dengar denga baik, karena lagi-lagi blank spot. Pembicaraan pun terputus.
Saya tak berusaha menghubungi. Nantilah ketemu sambil minum kopi.