Bagi saya yang pernah kuliah di Jurusan Ilmu Pemerintahan di era 1990an silam, wacana tentang otonomi daerah, titik tekannya, dan metode2 atau sistem2 yang bisa digunakan dalam praktiknya, termasuk soal pemekaran wilayah, adalah hal biasa.
Saya punya pandangan sendiri mengenai diskursus ini.
Dan, seingat saya, saya tidak pernah tertarik membicarakan pandangan saya itu di media sosial. Bahkan twit saya tadi malam yang saya kutip ulang di FB pagi ini pun tidak khusus membicarakan soal diskursus itu.
Saya lebih senang membicarakannya dalam pertemuan dan diskusi langsung. Seperti hari Jumat kemarin saat kami menggelar Dialog Kebangsaan Memperkuat Pondasi Kebangsaan Indonesia: Tantangan Indonesia Pasca Pilpres 2014 di FISIP Universitas Sumatera Utara. Begitu pun, saya tak bicara banyak, melainkan memilih untuk mendengarkan pendapat dan kawan-kawan di Medan. Ada yang dari PDIP, PKS, juga akademisi.
Seorang Bupati dari Pulau Jawa menghubungi saya via telepon kemarin (Sabtu), di saat saya sedang menghadiri diskusi yang digelar kawan-kawan di sebuah kafe di kawasan Jalan DR. Mansyur. Sang Bupati sudah dua kali terpilih dalam pilkada langsung. Tetapi, katanya, kini dia prihatin dan khawatir menyaksikan pedebatan antara kubu pro pilkada langsung dan pro pilkada tidak langsung. (Saya tidak perlu merinci kekhawatirannya.)
Lantas dia bertanya pada saya: ada apa?
Saya katakan kepada Pak Bupati yang masih muda itu, yang usianya hanya beberapa tahun di atas saya namun dia saya anggap sebagai salah satu model pemimpin lokal yang patut dijadikan teladan: masalahnya barangkali karena jarak perdebatan soal pilkada ini terlalu dekat dengan Pilpres yang lalu.
Sehingga, saya kira, banyak pihak yang melibatkan diri dalam perdebatan soal pilkada ini menggunakan sentimen, penilaian dan unit analisa yang sama seperti yang mereka gunakan dalam Pilpres yang lalu. Ada kecenderungan membangun dikotomi abadi setiap kali kita membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan praktik politik belakangan ini. Politik dibikin sangat sederhana, kalau tidak Jokowi ya Prabowo.
Mohon dimengerti dan dimaklumi, saya ingin keluar dari (walau secara sadar tak pernah masuk) dan tidak dilibatkan dalam dikotomi itu.
Selebihnya saya ingin kopikan lirik salah satu lagu Metallica yang saya suka, Wherever I May Roam, sebagai berikut:
…and the road becomes my bride
I have stripped of all but pride
So in her I do confide
And she keeps me satisfied
Gives me all I need
…and with dust in throat I crave
Only knowledge will I save
To the game you stay a slave
Rover wanderer
Nomad vagabond
Call me what you will
But I’ll take my time anywhere
Free to speak my mind anywhere
And I’ll redefine anywhere
Anywhere I may roam
Where I lay my head is home
…and the earth becomes my throne
I adapt to the unknown
Under wandering stars I’ve grown
By myself but not alone
I ask no one
…and my ties are severed clean
The less I have the more I gain
Off the beaten path I reign
Rover wanderer
Nomad vagabond
Call me what you will
But I’ll take my time anywhere
I’m free to speak my mind anywhere
And I’ll never mind anywhere
Anywhere I may roam
Where I lay my head is home
But i’ll take my time anywhere
Free to speak my mind
And I’ll take my find anywhere
Anywhere I may roam
Where I lay my head is home
Carved upon my stone
My body lie, but still I roam
Wherever I may roam
Untuk menikmatinya, ini link dari Youtube.