Di Halaman Abanganda, Dari Kegagalan Mendefinisikan Kepentingan Bersama Hingga Demokrasi yang Membunuh Demokrasi

Screen Shot 2014-01-25 at 9.35.40 AM

SETIAP jaman atau era punya tantangan sendiri. Hari ini, seperti pernah disampaikan Bung Karno di masa lalu, tantangan kita lebih berat dari tantangan di masa ia dan founding fathers yang lain.

Kita sedang berhadapan dengan sesama kita.

Hari ini kita dihadapkan pada situasi dimana demokrasi diciderai oleh piranti yang seharusnya atau seidealnya memperkuat pondasi demokrasi. Kalau bisa dikatakan di sini, saat ini saya sekarang democracy is killing democracy. Kita sibuk menyalahkan ketiadaan musuh bersama sebagai penyebab utama rusaknya soliditas dan solidaritas nasional (atau sekadar dalam hidup bermasyarakat sehari2).

Tapi menurut saya, kita lebih parah dari itu: kita gagal mendefinisikan kepentingan bersama. Kemampuan kita secara komunal maupun sebagai sebuah bangsa dalam mengidentifikasi dan mendefinisikan ancaman dan tujuan terbilang parah. Kita sibuk saling hujat. Dan sebagian besar dari kita menjadi fundamentalis pasar yang tidak mau berempati sama sekali. Kita perlu menarik demarkasi yang jelas antara cara dan tujuan.

Yang terjadi pada era “democracy” against democracy ini adalah hampir semua perdebatan di ruang publik (yang sebetulnya adalah elemen penting demokrasi) berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya cara, hal-hal yang ada di hilir.

Saling hujat jadi budaya kita, tanpa solusi.

Di sisi lain, yang bisa diingatkan adalah potensi besar di depan mata, yang bisa lewat begitu saja karena kita dan masing-masing kita sudah merasa hidup ini cukup.

Abanganda, “bangsa” memang konsep yang sangat dinamis, sangat terikat pada ruang dan waktu.

Kata Bung Karno sebagai sebuah kultur ia terikat pada natur, faktor2 alamiah di luar individu yang sebagian diantaranya tidak bisa dikompromikan, atau apalagi, dikalahkan.

Bangsa secara sosial diciptakan oleh manusia yang menemukan realitas natural dan mengubahnya menjadi kesadaran individual juga komunal.

Meminjam pendekatan Tan Malaka, ada materi natur (materialisme) yang diperdebatkan, digauli dan dihidupi (dialektika) untuk selanjunya menjadi kesadaran dan sistem nilai yang mengikat (logika) sampai batas-batas tertentu manakala relasi natur dan kultur masih sangat kuat.

Seingat saya secara umum di masa awal reformasi satu dekade lalu ada dua tuntutan yang mengemuka dari kalangan aktivis prodemokrasi.

Satu: pembatasan periode jabatan presiden, karena rezim berusia 3 dekade Soeharto membuktikan pada kita bahwa kekuasaan yang begitu rupa cenderung menjadi otoritarian dan: khianat.

Dua: menghilangkan sifat dwifungsi pada institusi ABRI yang menjadi pendukung utama negara otoritarian itu.

Tetapi yang kita dapatkan lebih banyak dari yang kita bayangkan. Konstitusi diamandemen 4 kali, menjadi pintu masuk yang luar biasa yang memungkinkan kuku liberalisme semakin kuat mencengkeram kita.

Bacalah lagi ayat 4 Pasal 33 yang mematikan tiga ayat sebelumnya. Bukankah gagasan demokrasi-ekonomi itu adalah wujud politik dari ekonomi liberal?

Bahkan otoritarianisme Orba tidak berhasil mengutak-atik pasal keramat itu, yang sesungguhnya merupakan jiwa pembangunan negara kita dan karenanya patut disebut sebagai penghulu konstitusi.

Amandemen konstitusi juga mengintrodusir pembentukan lembaga baru, yang kalau saya perhatikan hingga kini tidak digunakan sebagai hardware penguat demokrasi, melainkan (semogalah saya salah) sebagai alat untuk membagi-bagi kekuasaan.

Kebebasan berbicara dan berorganisasi juga melahirkan fenomena sungsang yang tak terbayangkan: media massa yang lahir dari praktik industri konglomerasi yang terkontaminasi kepentingan politik, DAN ruang publik (media sosial) yang lebih mencerminkan kegagalan kita mengenal natur dan mengolahnya menjadi kultur bangsa ini.

Bukankah di media sosial umumnya yang kita saksikan adalah hujatan demi hujatan. (Well, ada juga yang kirim-kirim doa, tapi kalah dengan yang kirim sumpah serapah).

Inilah elemen-elemen demokrasi yang dipergunakan sadar atau tidak sadar untuk membunuh sifat demokratik yang kita cari-cari sejak lama.

Dalam membahas kepentingan nasional kita tidak bisa membandingkan indonesia linear dari era 1960an, 1970an, 1990an hingga kini.

Kita harus juga membandingkannya dengan entitas berdaulat lain di muka bumi ini, termasuk di kawasan. Indonesia bukan bangsa dan negara yang berlari sendiri. Ia bersaing dengan bangsa dan negara lain. Kepentingan nasional indonesia menurut saya adalah menjaga agar indonesia tetap menjadi entitas yang berdaulat.

(Soal ini saya pun setuju perlu diskusi lebih dalam lagi. Abanganda sediakanlah waktu untuk ngopi-ngopi).

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s