[Catatan: Artikel berikut diambil dari Majalah Pena Merah, edisi Desember 2013. Judul di atas bukan judul dari artikel asli. Semoga ada manfaatnya.]
INDONESIA memiliki satu lagi pemimpin muda yang berpotensi besar di masa depan dengan karakter kebangsaan yang kuat, tangguh, dan visioner, berasal dari kalangan pekerja pers.
Dia adalah Teguh Santosa.
Ia meyakini kekuatan proses dialog dan komunikasi yang baik dengan berbagai elemen akan menjadi cara yang ampuh untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi sebuah bangsa. Di dalam negeri ia tak segan membangun komunikasi dan dialog dengan berbagai pihak lintas batas.
Intelektualitasnya juga mendapat pengakuan di level internasional. Pada tahun 2011 dan 2012 Komisi IV Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York mengundang Teguh untuk ikut berbicara mengenai penyelesaian konflik Sahara Barat, Maroko. Komisi IV PBB adalah sebuah alat kelengkapan PBB yang menangani persoalan politik khusus dan dekolonisasi. Selain isu di kawasan Afrika Utara itu, Teguh juga aktif dalam pembicaraan mengenai konflik di Semenanjung Korea.
Bersama Rakyat Merdeka Online yang dipimpinnya, ia terus berkiprah membangun Indonesia lewat jalur media massa yang konstruktif dan independen.
Di sela-sela tugas sebagai jurnalis, Teguh masih menyempatkan diri mengajar di sebuah universitas negeri dan sebuah universitas swasta. Dia percaya pada masa depan yang gemilang. Dan kegemilangan itu, menurutnya, harus dikerjakan sejak sekarang.
Kepada redaksi, Teguh menguraikan pengalaman pasang surut yang dia alami di dunia jurnalistik, juga tentang pandangan dan pemikirannya mengenai berbagai persoalan mendasar yang kini muncul di tengah masyarakat.
Berikut ini penuturannya:
Merintis Karier
Ketertarikan saya pada dunia jurnalistik tumbuh saat saya kuliah di Universitas Padjadjaran. Ketika itu kami memiliki majalah mahasiswa Polar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).
Setelah lulus kuliah pada tahun 2000 saya bergabung dengan Harian Rakyat Merdeka. Antara 2002 hingga 2005 saya bertanggung jawab pada keredaksian di halaman utama.
Pada 2005 saya bersama Pak Margiono (pendiri dan pimpinan Rakyat Merdeka Group) mendirikan Rakyat Merdeka Online (RMOL). Sampai 2007 saya menangani halaman belakang Harian Rakyat Merdeka dan di saat bersamaan mengelola RMOL.
Di tahun 2007 dengan beasiswa dari Ford Foundation saya melanjutkan pendidikan ke jenjang master degree di University of Hawaii at Manoa (UHM) di Hawaii, Amerika Serikat, pada jurusan ilmu politik. Saya gunakan kesempatan itu untuk memperdalam ketertarikan saya pada sejumlah subjek, seperti studi hubungan internasional, studi konflik dan perdamaian, studi politik pribumi, hingga studi masa depan.
Di tahun 2009 saya kembali ke Indonesia, dan sejak itu memutuskan untuk fokus mengelola RMOL.
Memimpin Redaksi
Dalam mengelola Rakyat Merdeka Online saya berpegang kuat pada pandangan bahwa media massa adalah industri kreatif. Orang-orang yang bekerja di sektor ini sejatinya adalah orang-orang yang kreatif, cerdas dan harus memiliki kemampuan nalar untuk membaca tanda-tanda zaman.
Orang-orang yang bekerja di media massa memiliki karakter yang khas, juga independen.
Hal terpenting dalam memimpin media adalah visi. Kami memilih tidak menjadi supermarket yang menjual semua barang dari A sampai Z. Segmen kami adalah politik yang tidak partisan, tidak parsial. Saya ingin menjadikan RMOL seperti ring atau panggung untuk semua.
Itu sebabnya dalam keseharian saya sangat fleksibel menjalin pertemanan dengan teman-teman dari berbagai parpol dan kelompok.
Tetapi tetap ada juga pendapat yang menganggap RMOL cenderung mengambil sikap layaknya oposisi. Walaupun kalau diperhatikan saya membangun relasi dengan semua kalangan.
Saya yakin dalam sebuah masyarakat demokratis, penguasa dan oposisi sama-sama dibutuhkan, bahkan harus ada.Tentu saja yang dibutuhkan dan harus ada bukan sembarang penguasa, juga bukan sembarang oposisi.
Dalam masyarakat demokratis yang dibutuhkan adalah penguasa yang punya visi jelas untuk kepentingan nasional dan perindungan terhadap warganegara. Di sisi lain, masyarakat demokratis juga membutuhkan oposisi yang mencerdaskan, yang tidak asal berteriak, melainkan yang punya kemampuan untuk memberikan pandangan atau tawaran alternatif yang kredibel dan terukur.
Sebenarnya oposisi dan penguasa hanya persoalan nasib yang berbeda. Seseorang atau sekelompok orang jadi oposisi karena kalah dalam kompetisi politik; dan yang lainnya berkuasa karena menang dalam kompetisi itu. Sebelum ketahuan menang atau kalah, kedua-duanya harus menjelaskan kepada rakyat pandangan dan program kerja apa yang akan mereka lakukan bila berkuasa.
Rencana-rencana mereka inilah yang dipertemukan dan dipertarungkan dalam kompetisi politik atau pemilihan umum.
Jadi sejatinya, penguasa dan oposisi harus sama-sama memiliki perhatian dan komitmen yang kuat pada kepentingan nasional.
Sebagian besar rakyat misalnya lebih setuju pada jalan pikiran A. Tapi bukan berarti jalan pikiran B lantas menjadi salah. Jalan pikiran B ini mendapat kesempatan untuk mengawasi jalan pikiran A ketika pemerintahan sudah berjalan. Pemikiran B bisa dipakai sebagai rujukan ketika pemerintahan A mengalami masalah.
Bayangkan, apa jadinya bila ketika pandangan A yang diharapkan menjadi mainstream tidak mampu menjawab persoalan, sementara pandangan B yang diharapkan menjadi alternatif juga sama-sama tidak mampu.
Mengutamakan Kepentingan Negara
Semua pihak harus menyadari bahwa yang terpenting di atas segalanya adalah kepentingan bangsa dan negara.
Kami di RMOL juga menanamkan hal itu. RMOL bekerja betul-betul demi kepentingan negara, bukan untuk kelompok tertentu.
Saya tidak setuju pada pandangan bahwa perbedaan partai, ormas, perbedaan posisi hari ini terhadap kekuasaan, sebagai hal yang sifatnya elementer. Seolah-olah, perbedaan partai membuat kita berbeda sama sekali, lantas tidak mau berbicara satu sama lain. Antara mereka yang berkuasa dan yang tidak berkuasa seperti ada tembok China.
Mestinya tidak seperti itu, karena negara kita betul-betul sedang membutuhkan sinergi akal sehat dari semua pihak.
Memang kita harus rajin menjalin komunikasi dan dialog termasuk dengan yang berbeda kepentingan dengan kita. Saya manusia biasa dan mungkin sekali salah. Dan orang lain juga manusia bisa yang juga mungkin sekali salah. Silaturahmi dan dialog itulah yang dibutuhkan bangsa ini.
Itu sebabnya tadi saya katakan bahwa RMOL berusaha menjadi ring bagi semua kelompok.
Mendidik Mahasiswa
Keputusan terjun di dunia pendidikan didasari pada pandangan saya bahwa orang media tidak lagi bisa “egois”. Pengelola media di masa kini selain membuat media juga harus menciptakan pembaca. Ia harus mau turun ke kelompok yang potensial menjadi pembaca untuk bertemu dan berdiskusi langsung.
Setelah kembali dari Hawaii pada 2009 saya memutuskan untuk mengajar, dan kini saya mengajar di dua universitas. Pertama di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah, Jakarta, pada Jurusan Hubungan Internasional. Kedua di London School of Public Relations, untuk bidang studi komunikasi massa dan media relations.
Sebelumnya hingga kini saya juga memiliki hubungan yang dekat dengan Universitas Bung Karno (UBK).
Saya tidak puas hanya menjadi a media-man yang membuat berita dan mengasumsikan berita itu dibaca orang. Sementara saya tidak bersentuhan langsung dengan audience.
Dengan menjadi dosen, ada dialog dan proses untuk mempertukarkan nilai, mengasah pemahaman. Saya belajar dari mereka dan begitu pula sebaliknya.
Saya kira ini efektif untuk mempertemukan RMOL dengan pembaca potensial pada satu frekuensi yang sama. Juga, faktanya sekarang, new media hadir di saat kita mengalami “bonus demografi” dan membanjiri anak-anak muda kita.
Pendekatan Dialog
Bagi saya, konflik (juga damai) dan komunikasi memiliki hubungan yang sangat menarik. Konflik dan komunikasi seperti dua sisi dari sebuah mata uang. Relasi keduanya bersifat positif. Situasi konflik yang buruk didahului komunikasi yang memburuk. Semakin rendah sense of conflict, memperlihatkan bahwa komunikasi bagus.
Oleh karena itu saya selalu mengedepankan proses dialog yang berorientasi pada kepentingan nasional. Proses dialog memang melelahkan. Sepintas kita harus membuang waktu untuk berdialog.
Tetapi inilah esensi demokrasi, kemauan untuk berdialog, menimbang perasaan dan kepentingan bersama. Demokrasi bukan sesuatu yang bisa dipelajari dalam waktu satu malam. Demokrasi tidak bisa dipahami hanya dengan membaca buku-buku tentang demokrasi, dan setelah membacanya kita lantas berasumsi bahwa kita sudah demokratis.
Demokrasi memang harus dikerjakan, butuh waktu lama dan harus bersabar. Dalam dialog di alam demokrasi, kita juga tidak harus sepakat pada semua hal dan tidak harus percaya pada semua hal.
Perbedaan pasti akan tetap ada. Tetapi kita harus bisa melihat mana persoalan yang sifatnya elementer dan mana yang “aksesoris”.
Kalau mau berdebat, berdebatlah pada persoalan-persoalan yang sifatnya elementer. Sehingga perdebatan itu konstruktif, punya daya bangun, bukan hanya menjadi perdebatan untuk perdebatan semata tanpa solusi.
Perdebatan yang tidak berorientasi pada solusi ini, saya khawatir, sedang menjadi salah satu ciri masyarakat kita. Berdebat dan berargumen untuk berdebat dan berargumen. Bukan untuk mencari solusi dan bukan untuk mengerjakan solusi. Maka kita membuang-buang waktu begitu banyak hari ini hanya karena kita semua terpancing menjadi orang yang ingin terlihat paling pintar berargumentasi di mana-mana, baik di televisi, surat kabar, media online, dan lainnya.
Dalam pertemuan dengan teman-teman di redaksi RMOL, saya selalu menekankan pentingnya persoalan ini.
Pers Era Reformasi
Di era reformasi ini media dan pers kerap dinilai kebablasan. Ini adalah kritik terhadap realita yang ada.
Ketika masih mengelola majalah di kampus, saya dan kawan-kawan saya pada masa itu membayangkan sebuah keadaan di masa depan dimana masyarakat memiliki akses yang begitu maksimal terhadap media dan informasi. Pada keadaan yang dibayangan itu, saya yakin, membuat setiap individu atau warganegara diperhitungkan, dan proses membangun sebuah bangsa akan berjalan sehat dan menghasilkan bangsa yang juga sehat. Indonesia betul-betul menjadi sebuah bangsa yang hidup, bukan hanya bangsa yang dituliskan di dalam buku.
Sekarang kita berada pada masa itu. Diversifikasi media massa semakin tinggi. Media baru bermuculan, platform media baru juga bermunculan. Ini adalah masa dimana setiap orang mempunyai akses yang cukup maksimal terhadap sumber informasi, dan bahkan setiap orang bisa menjadi pembuat informasi. Orang bisa memproduksi “beritanya” sendiri lewat media sosial.
Tetapi, umumnya reaksi kita pada informasi bersifat superfisial dan artifisial. Tidak substansial.
Suka dan tidak suka jaraknya hanya satu klik saja. Ketika melihat judul, kita langsung merespon setuju atau tidak setuju tanpa keinginan untuk mengetahui persoalan itu lebih dalam. Kita menjadi masyarakat yang instan.
Ada fenomena yang agak janggal saya kira. Di masa otoritarian, informasi ditunggalkan oleh rezim yang berkuasa. Sekarang, di saat media berikut platform media semakin terdiferensiasi, dan pembaca semakin tersegmentasi, wacana yang berkembang di tengah-tengah terasa hambar. Ada perdebatan, tetapi perdebatan untuk sekadar perdebatan. Bukan untuk solusi.
Keyakinan dasar bahwa informasi harus menjadi alat membebaskan rakyat dari kemiskinan, kebodohan, penindasan seperti tidak mendapatkan tempat yang layak di tengah “media fiesta” ini.
Ini paradoks. Di satu sisi kita memiliki akses yang cukup maksimal terhadap media dan informasi, tetapi di sisi lain kita juga menyaksikan primordialisme justru menguat.
Dalam 20 tahun terakhir perkembangan teknologi informasi dan komunikasi begitu pesat. Membuat manusia hidup di dalam dunia yang bisa dilipat dan digenggam.
Di era digital ini, media online akan semakin powerfull. Tetapi dunia baru yang serba digital ini membutuhkan kearifan dalam memaknai setiap informasi. Kalau tidak, kita akan terjebak pada pemahaman yang sifatnya artifisial dan superfisial. Dalam konteks konflik, ini berbahaya.
Perkembangan ITC yang tidak dibarengi kearifan akan memicu persoalan. Oleh sebab itu, kampanye media literacy harus digalakkan.
Konflik dan Komunikasi
Dalam ilmu komunikasi ada teori tentang gangguan komunikasi atau noise. Gangguan yang paling mudah untuk dikenali adalah yang bersifat semantik, yakni muncul dari perbedaan-perbedaan gramatikal seperti arti kata.
Misalnya dalam Bahasa Karo, bujur berarti terima kasih. Sedangkan dalam Bahasa Sunda berarti (maaf) bokong. Begitu gangguan dikenali, upaya memperbaikinya relatif mudah.
Gangguan komunikasi yang kedua bersifat lingkungan fisik. Misalnya gangguan yang ditimbulkan akibat suara bising, atau gangguan akibat sinyal selular yang buruk. Gangguan ini masih relatif mudah dikenali, walau proses untuk menyelesaikannya sudah mulai bergantung pada pihak lain.
Gangguan komunikasi yang paling berbahaya adalah yang ketiga yang disebut psychological noise yang berkaitan dengan berbagai asumsi, keyakinan, kepercayaan, dan stereo-type. Gangguan ini susah dikenali. Dan kalaupun bisa dikenali, belum tentu si individu mau memperbaiki dan mengujinya. Seringkali tidak ada kemauan untuk sekadar menyandingkan hal-hal yang dia yakini itu dengan keyakinan-keyakinan lain.
Padahal, di dalam dunia komunikasi dan jurnalistik juga ada adagium, do not tell me the words, just show me the numbers. Adagium ini menurut hemat saya bisa menjauhkan seseorang dari sikap keyakinan buta yang ekstrem.
Dalam studi konflik ada dua hal yang kerap dibicarakan, yakni tujuan dan cara. Ekstremis dan fundamentalis menurut hemat saya terjadi karena ketidakmampuan membedakan tujuan dan cara. Bahkan lebih parah lagi: menjadikan tujuan sebagai cara dan menjadikan cara sebagai tujuan.
Kalau kita menggunakan terminologi Islam, cara adalah fiqih, dan tujuan adalah syariat. Sehingga ekstremisme dan fundamentalisme dalam konteks masyarakat Muslim terjadi ketika seseorang tidak bisa membedakan syariat dan fiqih, atau dengan kata lain menjadikan syariat sebagai fiqih dan menjadikan fiqih sebagai syariat.
Primordialisme juga lahir dari sikap yang seperti ini.
Politik Kesejahteraan Rakyat
Menurut hemat saya, bangsa kita sedang kehilangan panduan atau guidance.
Awalnya kita gagal mendefinisikan kepentingan nasional. Lalu politik pembangunan tidak berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Beberapa waktu lalu saya terlibat dalam sebuah seri diskusi dengan tokoh-tokoh lintas agama di Indonesia. Pada suatu pertemuan saya diminta menjelaskan apa yang terjadi sehingga beberapa kelompok masyarakat Indonesia mudah sekali marah terhadap kelompok yang memiliki keyakinan yang berbeda dengan mereka. Kemarahan ini tak jarang berujung pada kekerasaan dan pengrusakan. Bahkan ada yang sampai merengut korban jiwa.
Menurut saya, perlu menjelaskan kepada kelompok yang marah itu tentang nilai-nilai luhur, perbedaan yang diciptakan Tuhan, tentang kasih sayang terhadap sesama, dan sebagainya. Tetapi lebih perlu lagi untuk menekan pemerintah agar berpihak pada politik kesejahteraan.
Kemarahan itu, yang sering kita sebut sebagai konflik komunal, saya kira terjadi karena faktor ekonomi; akses yang minim terhadap pekerjaan yang bisa menghidupi, yang pada gilirannya melahirkan kemiskinan. Sementara di saat yang sama ada pertunjukan kemewahan yang luar biasa.
Adapun elemen keyakinan pada konflik seperti ini saya yakin bukan faktor utama. Tetapi lama kelamaan ia dijadikan sebagai justifikasi kebencian dan kekerasan.
Saya tidak mengatakan bahwa pemerintah kita tidak mempunyai komitmen yang kuat terhadap kepentingan nasional dan upaya menjalankan politik kesejahteraan. Tapi, dari apa yang kita bisa saksikan sehari-hari, sulit untuk bisa meyakini bahwa jalan politik kesejahteraan yang ada sudah tepat.
Kalangan ekonom independen sering mengkritik pendekatan ekonomi makro dalam mengukur kemakmuan sebuah negara. Pendekatan ini tidak sepenuhnya salah, tetapi yang juga perlu diperhatikan adalah upaya menterjemahkan indikator makro itu ke bawah, menjadi industri dan lapangan kerja yang bisa menghidupi.
Ada kritik yang mengatakan kebijakan pemerintah kita belakangan ini sangat kapitalistik kepada rakyat kecil yang dipaksa untuk berkompetisi dengan sesama mereka layaknya di pasar bebas. Tetapi untuk kelompok ekonomi atas, kelas pengusaha besar, kebijakan pemerintah terlihat sosialis. Kalau ada pengusaha yang bankrut, di-bailout. Atau seperti yang terjadi belakangan ini dengan kebijakan mobil murah, kelompok kelas atas sering mendapatkan insentif dan kemudah-kemudahan untuk menjalankan usaha mereka.
Yang sering digunakan sebagai alasan untuk melindungi kelompok pengusaha ini adalah, mereka too big to fail. Terlalu besar untuk jatuh.
Indonesia Menghadapi Persaingan Global
Sekarang zaman berubah, muncul kutub-kutub ekonomi dan politik baru. Di Asia ada China, India, Korea, dan Jepang. Negeri-negeri tetangga kita di kawasan Asia Tenggara juga tumbuh sebagai pusat perekonomian global. Malaysia dan Singapura, Thailand, Vietnam dan Filipina.
Memang hanya Indonesia negara Asia Tenggara yang duduk sebagai anggota G-20. Tetapi itu bukan keajaiban, mengingat jumlah penduduk kita yang banyak dengan sendirinya mendongkrak GDP kita pada posisi 16, hanya satu tingkat di bawah Korea Selatan yang populasinya 50 juta jiwa.
Sementara negara-negara tetangga kita di Asia Tenggara itu walau dari sisi ukuran jauh lebih kecil dan dari sisi penduduk jauh lebih sedikit dibandingkan kita, tetapi tidak dapat dipungkiri mereka punya daya tarik tersendiri dan menjadi magnet ekonomi global.
Pertanyaan yang sering kita ajukan adalah, apakah kita mau Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri? Atau tuan rumah di Asia Tenggara? Tentu kita mau.
Tetapi persoalannya adalah, apakah yang kita lakukan sekarang ini akan mengarahkan kita kepada status sebagai pemain utama di negeri sendiri, dan di Asia Tenggara?
Coba kita lihat soal batik. Masyarakat Indonesia tersinggung batik diklaim Malaysia. Tetapi, adakah yang pernah mempersoalkan bahwa kita tidak punya pertanian kapas yang cukup untuk menopang industri tekstil kita. Produksi kapas kita hanya bisa memenuhi 2,5 persen kebutuhan per tahun. Ini artinya, untuk urusan baju saja kita tergantung pada pihak lain. Kita bangga dengan Hari Batik, tanpa peduli apakah kita punya industri untuk bikin kain buat batik kita.
Kita tidak membangun industri berdasarkan natur yang kita miliki. Industri perkapalan tidak bisa menopang kebutuhan menghubungkan satu pulau dengan pulau yang lain, padahal kita negara kepulauan terbesar di dunia. Industri pesawat terbang juga tidak didorong untuk menciptakan pesawat-pesawat komuter yang bisa digunakan di negara yang luas ini. Infrastruktur kita di darat pun belum menggembirakan.
Membangun Karakter Kebangsaan
Ada satu kepentingan yang seharusnya dibela oleh sebuah bangsa. Namanya kepentingan nasional. Setiap negara memiliki kepentingan nasional. Negara manapun di muka bumi akan mendahulukan kepentingan nasional, bukan kepentingan pihak yang lain.
Kepentingan nasional idealnya berbasis pada rakyat, bukan pada partai politik apalagi keluarga.
Tentu tidak mudah mengedepanan dan memperjuangan kepentingan nasional ini. Juga tidak mudah mendefinisikannya. Kita harus bekerja keras, harus makin sering berbicara dengan kawan-kawan yang lain yang memiliki pandangan yang mungkin sama atau berbeda dengan kita.
Belum lama ini saya mempertemukan dua orang sahabat dari kelompok politik yang berbeda. Saya diminta menjadi mediator, maka saya mempertemukan mereka.
Saya sampaikan, negara kita insya Allah masih panjang usianya. Tapi ini bergantung pada bagaimana kita sebagai generasi muda bisa menjalin persahabatan dan rasa kebangsaan. Rasa kebangsaan itu bukan sesuatu yang harus disampaikan dalam orasi, kampanye, atau unjuk rasa mendukung pluralisme.
Tapi perlu kemauan kita berdialog dengan kawan-kawan sendiri yang mungkin berbeda kelompok. Kita boleh menjadi bagian dari patron tertentu. Tapi ketika berdebat, perdebatkan hal-hal yang sifatnya elementer, bukan yang sifatnya kosmetik dan aksesoris.
Singkatnya pertemuan berakhir dengan baik. Semua menyadari bahwa ini adalah bagian dari proses dialog.
Saya senang menyaksikan kawan-kawan dari eksponen 1998 sekarang ini banyak bergabung dengan sejumlah partai politik. Saya tidak mempermasalahkan soal ini, yang jelas kita harus berdialog dengan kawan-kawan dari berbagai kelompok. Saya prihatin bila ada teman yang tidak mau berdialog lagi atau menghentikan komunikasi dengan satu kawan hanya karena partai politik atau patron politiknya berbeda.
Saya khawatir membayangkan bila generasi muda sejak sekarang membiasakan diri hidup tersekat-seka entah karena perbedaan parpol, ormas, SARA, dan sebagainya.
Saya percaya tidak ada satu negara pun di muka bumi ini yang dibangun oleh sekumpulan manusia yang homogen. Negara sekecil apapun tidak ada yang masyarakatnya homogen. Selalu ada perbedaan. Dan perbedaan itu adalah sunatullah. Yang penting adalah bagaimana kita menyikapi perbedaan.
Saya juga kurang suka pada kawan-kawan yang menggunakan perbedaan sebagai senjata untuk memperlihatkan kelemahan Indonesia.
Korupsi dan Penegakan Hukum
Dalam lima tahu terakhir ini kita sama menyaksikan kasus korupsi di Indonesia semakin parah. Menurut saya ini terjadi karena ketiadaan komitmen kuat dalam menegakkan hukum pada kasus megaskandal danatalangan Bank Century.
Kasus Bank Century sudah terang benderang dan tampak jelas keanehan-keanehannya. Peran Gubernur BI paling jelas tampak di sana. Kalau pada April 2010 kita mengambil keputusan yang tegas terkait kasus Bank Century, maka orang-orang seperti Nazarudin, Angelina Sondakh, dan para pelaku korupsi berjamaah lainnya tidak akan berani main-main.
Mereka merajalela karena melihat contoh dimana hukum tumpul kepada kekuasaan.
Saya tidak mau terjebak dalam perdebatan apakah korupsi merupakan bagian dari budaya kita. Jalan keluar yang paling mungkin saya kira adalah hukum harus ditegakkan.
Kasus Century menjadi induk atau pemantik dari kasus-kasus korupsi yang terjadi setelahnya yang sayangnya melibatkan politikus-politikus muda yang seharusnya bisa menjadi harapan.
Dan lebih buruk lagi hal itu akan membuat rakyat kehilangan kepercayaan terhadap institusi politik dan individu politikus. Muncul apatisme rakyat terhadap pemerintah. Padahal untuk menyelamatkan negara ini dari perpecahan dan konflik komunal, diperlukan upaya mencari pemerintahan yang kredibel yang didukung oleh masyarakat luas, bisa membuat kebijakan pro-rakyat dan pro kepentingan nasional, dan betul-betul bisa menciptakan lapangan pekerjaan yang bisa menghidupi rakyat.
Berbiacara mengenai pro rakyat, Ada satu hal yang membuat saya jadi bertanya-tanya. Bagaimana dengan kebijakan pengelolaan Minyak dan Gas di Indonesia dengan sistem PSC (Production Sharing Contract) pak? Bukankah ini sangat dilema? Disatu sisi kegiatan eksplorasi ini butuh teknologi dan investasi yang sangat besar Sebagai ilustrasi, dalam kurun waktu 2009-2013 sebanyak 12 kontraktor KKS asing mengalami kerugian hingga Rp.19 T.