Praktik demokrasi di Indonesia memberikan kesempatan luas kepada masyarakat untuk melibatkan diri dalam proses politik. Namun di sisi lain, praktik demokrasi itu pun memberikan kesempatan luas kepada pihak-pihak yang ingin menyalahgunakannya dengan merebut dan mambangun kekuasaan politik yang berorientasi pada keuntungan kelompok saja.
Hal itu disampaikan Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka Online Teguh Santosa ketika berbicara dalam sebuah diskusi mengenai fenomena dinasti politik yang digelar Jaringan Insan Muda Indonesia (JIMI) di Gedung Joang 45, Jakarta, Kamis siang (17/10). Pembicara lain dalam diskusi itu adalah jurubicara keluarga Ratu Atut Choisiyah, Fitron Nur Ichsan, pengamat politik Adi Prayitno, redaktur Aktual.Co Dhia Prakasa Yudha dan penulis Ma’mun Murod.
Menurut Teguh dengan segala macam kemampuan yang dimiliki, individu dan kelompok yang memiliki kepentingan sempit ini mendompleng proses demokrasi untuk merebut kekuasaan, mempertahankan dan memanfaatkannya untuk menumpuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Teguh mencontohkan Adolf Hitler yang berkuasa di Jerman pada awal 1930an hingga akhir Perang Dunia Kedua. Hitler yang fasis itu menguasai Jerman dengan memanfaatkan sistem demokrasi yang berlaku di negara itu. Jalan Hitler ke puncak kekuasaan sangat konstitusional.
Fenomena Hitler ini membuktikan bahwa prilaku abuse of power dapat dimiliki oleh politisi yang membangun jaringan politik berdasarkan hubungan kekeluargan dan perkoncoan juga dapat dilakukan secara “solo karier”.
“Hitler bisa bergitu berkuasa karena masyarakat Jerman ketika itu permisif dan menerima begitu saja,” ujar Teguh.
“Begitu juga di Indonesia ini, pemimpin tamak dan zalim bisa begitu berkuasa karena civil society, kelompok intelektual, dan akar rumput membiarkan dan menganggapnya sebagai hal yang biasa. Bahkan seringkali terjadi civil society memberikan dukungan yang tak sedikit kepada mereka, politisi tamak dan zalim yang memanfaatkan prosedur demokrasi,” demikian Teguh.