Hasil Autopsi Pahlawan Revolusi Dimasukkan ke Dalam Laci

Surat perintah bernomor PRIN-03/10-1965 itu ditandatangani Panglima Kostrad yang juga Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Mayjen Soeharto. Di dalamnya, Soeharto memerintahkan Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Jakarta untuk membentuk tim yang bertugas mengautopsi tujuh mayat korban pembunuhan yang dilakukan kelompok Letkol Untung.

Ketujuh mayat itu ditemukan di sebuah sumur tua di sebuah desa di Jakarta Timur yang kini dikenal dengan nama Lubang Buaya, pada sore hari 4 September 1965.

Tim yang dibentuk oleh RSPAD itu terdiri dari lima dokter. Dua di antaranya adalah dokter TNI Angkatan Darat, yakni dr. Brigjen Roebiono Kertopati yang diperbantukan di RSPAD dan dr. Kolonel Frans Pattiasina yang bertugas sebagai perwira kesehatan RSPAD.

Sementara tiga lainnya dari kalangan sipil. Pertama, dr. Sutomo Tjokronegoro, seorang ahli ilmu urai sakit dalam dan ahli kedokteran kehakiman. Ia juga profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kedua, adalah dr. Liaw Yan Siang ahli forensik dari FK-UI. Sementara dokter ketiga dari kalangan sipil adalah dr. Lim Joe Thay, ahli forensik yang juga mengajar di FK-UI.

Tim ini bekerja sekitar delapan jam, dari sore hari 4 Oktober hingga lewat tengah malam dinihari 5 Oktober. Setelah menyelesaikan tugas, tim ini pun bubar.

Dr. Lim yang juga dikenal sebagai dr. Arief Budianto meninggal dunia hari Selasa lalu (22/11) dalam usia 85 tahun. Jenazahnya telah dikremasi di Cilincing, kemarin (Kamis, 24/11).

Tiga anggota tim autopsi lainnya, dr. Sutomo, dr. Roebiono dan dr. Frans, telah lebih dahulu meninggal dunia. Sementara seorang lagi, dr. Liauw Yan Siang sudah lama pindah ke Amerika Serikat.

Beberapa tahun lalu, dr. Lim muncul ke permukaan bersama dengan selubung misteri yang menutupi peristiwa penculikan dan pembunuhan ketujuh perwira TNI Angkatan Darat pada dinihari 1 Oktober 1965.

Dari dokumen autopsi yang dilakukan dr. Lim dan kawan-kawan diketahui bahwa ketujuh perwira tinggi itu ditembak mati sebelum mayat mereka dibuang ke sumur tua di tempat penculikan. Tidak disebutkan sama sekali tanda-tanda “pencungkilan mata” atau “pemotongan alat kelamin” dan sejenisnya seperti yang diberitakan oleh media-media massa yang dikuasai pemerintah saat itu.

Pemberitaan seperti ini telah membangkitkan kemarahan rakyat terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI), para simpatisannya, maupun orang-orang yang disebut memiliki hubungan dengannya. Walhasil, tak terhitung pasti berapa jumlah orang yang tewas dibantai tanpa pengadilan antara 1965 hingga 1966.

Ben Anderson, seorang Indonesianis dari Cornell University, misalnya, dalam sejumlah catatan mengatakan bahwa gelombang pembunuhan massal yang terjadi ketika itu adalah buntut dari pemberitaan media massa yang dikuasai oleh rezim militer yang berkuasa. Berita-berita itu menurut hematnya diproduksi dengan maksud membakar emosi masyarakat.

Dengan demikian, jelas bahwa laporan autopsi dari dr. Lim dan kawan-kawan dimasukkan ke dalam laci penguasa. Ia hanya beredar di bawah tanah sampai dituliskan oleh Ben Anderson dalam artikel How Did the Generals Died? di tahun 1987, tiga tahun setelah pemerintah memproduksi film Pengkhianatan G30S/PKI. Tetapi selama Soeharto berkuasa, dokumen itu sama sekali tidak pernah menyentuh ruang publik di tanah air.

“Soeharto dan kelompoknya telah menerima hasil otopsi detil yang dilakukan ahli forensik sipil dan militer terhadap tubuh korban, para jenderal yang dibunuh 1 Oktober. Laporan itu memperjelas bahwa para jenderal ditembak mati dan mayat mereka dibuang ke sebuah sumur dalam di Lubang Buaya. Tetapi tanggal 6 Oktober, media massa yang dikontrol Soeharto melancarkan sebuah kampanye yang menyebutkan bahwa mata para jenderal dicongkel dan alat kelamin mereka dipotong,” tulis Ben Anderson dalam artikel yang ditulisnya tahun 1999, Indonesian Nationalism Today and in the Future.

***

Lim Joe Thay adalah dosen di FKUI sejak 1957 sampai 1991. Oleh para sejawatnya dia dianggap sebagai pelopor ilmu forensik di Indonesia.

“Beliau yang memotivasi saya sehingga saya memperdalam forensik,” kenang Djaja Suryaatmadja, yang belajar di FKUI antara 1985 hingga 1991. Rakyat Merdeka Online menghubungi dr. Djaja pada Jumat pagi (24/11).

“Beliau juga yang memotivasi saya untuk melanjutkan studi ke luar negeri dan mengambil spesialisasi forensik DNA,” ujar Djaja yang kini juga mengajar di FKUI.

Lim Joe Thay belajar dari dua pakar forensik dunia di masa itu, yakni dr. Robert Houseman dari Texas, Amerika Serikat dan dr. Keith Simpson dari London, Inggris. Ia menyelesaikan pendidikannya di luar negeri pada 1960.

Di tahun 2007, dr. Lim menangis ketika kembali melihat dokumen hasil autopsi yang mereka lakukan terhadap ketujuh mayat perwira TNI AD empat dasawarsa lalu.

Author: TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

Leave a comment