
Namanya Svet Zacharov. Laki-laki warganegara Republik Federasi Rusia yang nenek moyangnya dari Turki ini sudah lebih empat daswarsa merasa dirinya bagian dari Indonesia. Bahasa Indonesia mengalir lancar dari mulutnya dan begitu enak didengar telinga. Taat asas juga puitis di saat bersamaan.
Sebuah pin burung garuda berlatar belakang bendera merah putih terpasang rapi di jas krem yang dikenakannya saat menghadiri resepsi HUT ke-66 Proklamasi Kemerdekaan RI di halaman belakang KBRI di Moskow, Rusia (Rabu, 17/8). Sesekali ia bertepuk tangan memberikan semangat pada penari yang membawakan tarian Bali. Sambil membidikkan kamera, ia tertawa menyaksikan mimik lucu anak-anak SIM (Sekolah Indonesia di Moskow) yang membawakan tarian Saman dari Aceh.

Jurnalis senior berusia lebih 70 tahun ini mengenang Indonesia sebagai negeri yang indah, penduduknya ramah dan suka memberikan bantuan. Ia juga masih ingat bagaimana dalam sebuah perjalanan di pedalaman Sumatera di masa yang lampau dirinya bertanya di dalam hati: mengapa aku lahir di Rusia, tidak lahir disini dan menjadi orang Indonesia.
Pertanyaan itu adalah pelambang kagum dan cintanya pada Indonesia yang tak pudar sejak dulu sampai kini.
Zacharov sungguh berharap Indonesia tak mengalami perpecahan atau disintegrasi seperti yang pernah dialami Uni Soviet di awal dekade 1990an. Setelah kudeta di bulan Agustus 1991 yang dimotori sekelompok jenderal dari Partai Komunis gagal mendapatkan dukungan rakyat, satu persatu bagian Uni Soviet memisahkan diri menjadi negara yang berdaulat. Identitas dan etnisitas mendadak jadi hal yang begitu penting dan kerap kali memicu kekerasan dan konflik berkepanjangan. Sampai kini pun konflik yang digerakkan oleh perbedaan identitas kerap terjadi di Rusia dan di negara-negara bekas Uni Soviet.
Keberagaman masyarakat adalah salah satu persamaan antara Indonesia dan Rusia. Bila dikelola dengan baik, dimana kesejahteraan dapat didistribusikan secara adil dan merata, keberagaman pun menjadi modal dasar bagi sebuah bangsa untuk tampil menjadi bangsa terpandang di dunia.
Tetapi, kegagalan dalam mengelola keberagaman, akan berbuah petaka dan perpecahan serta bukan tidak mungkin menciptakan gelombang kebencian yang bertahan lama. Itulah yang dialami Uni Soviet 20 tahun lalu.
Zacharov tak mau menyaksikan Indonesia mengalami perpecahan seperti yang dialami Rusia itu. Perpecahan sebuah bangsa, sambungnya, seringkali diawali oleh fragmentasi kepentingan di kalangan elit politik. Ketidakmampuan kelompok elit politik mempertahankan cita-cita kemerdekaan akan berakibat fatal dan mematikan.
Ketika menyaksikan foto-foto pertemuan antara pendaki tunadaksa berkaki satu dari Indonesia, Sabar, dengan sejumlah tokoh Indonesia, Zacharov tersenyum lebar. Apalagi ketika mendengarkan penjelasan bahwa Rakyat Merdeka Online yang mempromosikan dan mendukung pendakian pendakian ke Elbrus, berusaha menjadikan Sabar sebagai medium yang dapat digunakan untuk merajut kembali persatuan dan nasionalisme di kalangan elit dan rakyat Indonesia.
“Hal seperti ini yang membuat cinta dan kagum saya pada Indonesia tidak akan luntur,” demikian katanya.
Beliau yang ada di album bapak ya…terima kasih sudah share pak..Orang luar saja mencintai negara kita..kita harus lebih..
salam
Felix Kusmanto