Cerita Tommy yang Terpaksa Ngumpet di Toilet Bandara

Sekitar pukul 20.00 WIB, tadi malam (Jumat, 17/6), pesawat Batavia yang membawa Tommy dari Singapura tiba di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng. Pria berusa 41 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai IT consultant itu tak langsung keluar dari bandara.

Ia memilih masuk toilet dan mengamati dua lelaki yang mengikutinya sejak dari Bandara Changi di Singapura.

Setelah kedua lelaki yang tak dikenalnya itu hilang dari pandangan, barulah Tommy melanjutkan perjalanan meninggalkan bandara menuju rumahnya di Tebet, Jakarta Selatan.

“Kami sudah bosan. Seringkali mendengarkan berita yang mengatakan koruptor dan orang-orang bermasalah yang patut diduga melakukan kejahatan korupsi lari dan sembunyi di Singapura. Selama ini pemerintah selalu mengatakan tak bisa menangkap mereka karena tak punya perjanjian ekstradisi,” cerita Tommy ketika dihubungi Rakyat Merdeka Online, tadi pagi (Sabtu, 18/6).

Tommy Diansyah dan empat orang temannya, memutuskan mencari tahu kebenaran hal itu. Orang pertama yang mereka cari adalah mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, yang sudah tiga pekan bersembunyi di Singapura. Presiden SBY yang juga Ketua Dewan Pembina partai itu telah mengimbau agar Nazaruddin kembali ke Indonesia untuk memudahkan pengusutan kasus-kasus yang dituduhkan padanya. Begitu juga dengan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Namun, permintaan kedua tokoh penting Partai Demokrat itu sama sekali tak dipedulikan Nazaruddin. Nazaruddin bertahan di Singapura. Sementara pihak Indonesia tak bisa berbuat apa-apa.

Kelima sekawan itu berangkat dari Batam, Kepulauan Riau, dan tiba siang hari di Singapura hari Selasa lalu (14/6). Tempat pertama yang mereka tujuh adalah Orchard Road, kawasan paling populer yang kerap dikunjungi turis termasuk orang Indonesia.

Tadinya Tommy dkk tak punya rencana menggelar spanduk dan baliho yang di antaranya berisi gambar wajah Nazaruddin di Orchard Road. Tapi belakangan, mereka berpikir, “Mengapa tidak?” Toh banyak orang Indonesia yang lalu lalang di tempat itu, dan bukan tidak mungkin Nazaruddin pun bisa melihat aksi mereka.

Dari Orchard Road mereka menuju KBRI di Chatsworth Road. Mereka minta dukungan dari KBRI di Singapura, dan berencana membuka posko pencarian Nazaruddin di KBRI.

Tentu saja KBRI menolak permintaan itu dan mengusir mereka keluar. Menurut KBRI mereka melaksanakan misi diplomatik, bukan misi penangkapan.

Tommy dkk memilih bertahan dan tidur di luar pagar Kedutaan. Berbagai spanduk yang mereka bawa dari Batam digelar. Rabu pagi, pihak KBRI kembali berusaha mengusir mereka.

“Seorang pejabat KBRI bahkan ada yang mengatakan malu karena perbuatan kami. Saya katakan padanya, bahwa yang kami kerjakan ini adalah untuk rakyat Indonesia yang selama ini selalu dibingungkan oleh pemberitaan mengenai koruptor yang kabur ke Singapura. Sebagai rakyat, kami berhak untuk mengetahui apakah benar mereka tidak bisa ditangkap, atau justru dilindungi,” cerita Tommy lagi.

Rabu siang pihak KBRI menghubungi dan memanggil polisi Singapura. Dalam waktu singkat, enam sedan polisi tiba di KBRI dan membawa kelima sekawan itu ke kantor polisi di Tanglin. Di kantor polisi itu, paspor mereka ditahan, dan mereka pun dibawa ke sebuah hostel di Jalan Besar.

Jumat pagi kemarin (17/6), Tommy diutus teman-temannya ke kantor polisi Tanglin untuk mencari tahu apakah paspor mereka sudah bisa diambil. Tommy pergi sebagai volunter.

Kata Tommy tentang hal ini, “Kalau harus mati, biar yang mati saya sendiri. Jangan sampai semua dijebak.”

Sejak itulah, teman-temannya yang masih bertahan di hostel di Jalan Besar itu kehilangan kontak dengan Tommy.

Sarman El Hakim, salah seorang anggota “tim pemburu partikelir” itu, ketika dihubungi Jumat malam sekitar pukul 20.00 WIB, khawatir Tommy ditahan polisi Singapura. Sarman membaca berita yang mengatakan salah seorang anggota tim pencari sudah kembali ke Jakarta. Tapi dia tak bisa menghubungi nomor telepon yang selalu digunakan Tommy di Jakarta.

Tadi malam Rakyat Merdeka Online pun berusaha menghubungi nomor Jakarta milik Tommy, dan tidak berhasil. Baru Sabtu pagi nomor telepon Tommy itu bisa dihubungi.

“Ini permainan KBRI. Mereka memperlakukan kami seperti teroris. Mereka tak mau melindungi kami,” Tommy menumpahkan kekecewaannya pada KBRI Singapura.

Dari mulut polisi Singapura yang menginterogasi mereka, terungkaplah bahwa penangkapan dan penahanan paspor mereka atas perintah KBRI.

“Intinya mereka bilang, KBRI lah yang minta mereka (polisi Singapura) menangkap kami. Tetapi polisi Singapura pun tahu kami tak melakukan kesalahan apa-apa. Jadi mereka juga bingung mau menangkap dengan pasal apa.”

Jumat pagi di kantor polisi Tanglin, Tommy kembali diinterogasi. Kali ini ada sejumlah pertanyaan polisi yang sepertinya titipan dari KBRI. Misalnya, pertanyaan tentang siapa yang membayar mereka untuk mencari Nazaruddin. Menjawab pertanyaan itu, Tommy mengatakan mereka berangkat ke Singapura untuk mencari Nazaruddin atas perintah hati nurani mereka.

Tommy baru dilepaskan sore hari dan langsung dibawa ke Bandara Changi. Polisi Singapura yang mengawalnya ikut naik ke pesawat.

Kata si polisi itu, dia hanya memastikan bahwa Tommy duduk di dalam pesawat dengan selamat. Si polisi ini pun memberi tahu Tommy bahwa ada orang-orang yang mengikuti dirinya.

“Di dalam pesawat ada dua orang yang selalu mengawasi saya. Dia mengikuti saya sampai di Cengkareng. Saya harus masuk toilet dulu untuk mengalihkan perhatian mereka,” demikian Tommy.

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s