
“SEBAGAI orang yang membela kepentingan bangsa Indonesia, sudah tentu bila di masa hidupnya bapak saya bersahabat dengan ex-Presiden RI, Bung Karno yang mulia. Presiden Sukarno adalah orang yang konsekuen membela kepentingan bangsa Indonesia dan konsekuen berjuang melawan kolonialisme Belanda… Beliau juga tidak dikenal sebagai presiden yang korup.”
Demikian salah satu penggalan dalam sepucuk surat yang dikirimkan Dr. Siti Mirahjani Sukrisno alias Nuni Sukrisno kepada Presiden Susilo Bambang Yudhyono bulan Februari lalu.
Nuni adalah anak ketiga mantan Dutabesar RI untuk Rumania dan Vietnam, Sukrisno. Lahir di Indonesia tahun 1951, pada usia 15 tahun ia ikut orang tuanya pindah ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT), nama lama Republik Rakyat China (RRC). Tahun 1976 Nuni menyelesaikan pendidikan dokter di China. Empat tahun kemudian keluarga Sukrisno pindah ke Belanda. Di negeri inilah, Nuni mendapatkan diploma kedokteran dari Vrije Universiteit (VU), Amsterdam, pada tahun 1990. Sebagai ahli akupuntur sejak tahun 2005 ia bergabung dengan asosiasi akupuntur Belanda, Nederlandse Artsen Acupunctuur Vereniging (NAAV).
Di dalam surat untuk Presiden SBY itu, Nuni bercerita tentan nasib yang dialami ayahnya, Sukrisno, sejak tidak lagi menjabat sebagai Dubes RI. Singkatnya, Sukrisno menjadi korban dari kekisruhan politik yang terjadi di tanah air menyusul peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira muda TNI AD pada dinihari 1 Oktober 1965.
Sebelum diangkat Presiden Sukarno menjadi Dutabesar RI di Rumania pada tahun 1960, Sukrisno dikenal sebagai wartawan senior dari Kantor Berita Antara. Ia termasuk salah seorang wartawan Indonesia yang menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda pada 1949. Di tahun 1950an, ia ikut mendirikan perwakila Antara di Markas PBB di New York, Amerika Serikat. Sukrisno memulai kariernya sebagai wartawan sejak zaman Belanda. Kala itu ia bergabung dengan Kantor Berita Aneta milik pemerintah kolonial Belanda. Di zaman Jepang, ia sempat bekerja di majalah Pemandangan. Namun tak lama, ia keluar karena menolak bekerjasama dengan Kantor Berita Dome milik Jepang.
Surat Nuni diperoleh Redaktur Senior Rakyat Merdeka Online A. Supardi Adiwidjaja yang juga bermukim di Belanda dan sempat bertemu dengan Sukrisno di masa hidup Sukrisno.
Setelah menyelesaikan tugasnya di Rumania, pada 1965 Presiden Sukarno mengirim Sukrisno ke Vietnam. Kariernya sebagai diplomat berakhir begitu saja. Peristiwa penculikan dan pembunuhan perwira TNI AD itu diikuti oleh gelombang pembunuhan massal yang dilakukan pihak militer dan sejumlah organisasi sipil yang didukung militer terhadap anggota, kader dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan orang-orang yang dianggap memiliki hubungan dengan partai itu. Tidak ada angka yang pasti mengenai jumlah korban pembunuhan massal itu. Sejauh ini, yang paling sering digunakan untuk menggambarkan jumlah korban adalah angka 500 ribu hingga 1,5 juta orang.
Menurut Indonesianis dari Cornell University, Benedict Anderson, sebelum meninggal dunia di tahun 1989, mantan Komando Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), Sarwo Edhie, yang memimpin operasi menggulung PKI di masa itu mengatakan bahwa korban tewas mencapai angka tiga juta orang.
Sukrisno yang punya hubungan dekat dan baik dengan Sukarno pun jadi terbawa-bawa. Lebih jauh ia dianggap memiliki hubungan spesial dengan PKI. Di tahun 1966, Menteri Luar Negeri Adam Malik memanggil Sukrisno pulang ke Jakarta untuk di “dibriefing”. Namun Sukrisno memilih untuk tidak hadir dan meninggalkan kursi Dubes RI. Keputusan itu diambil Sukrsino karena perasaan khawatir akan nasib buruk yang mungkin menimpa dirinya bila kembali ke Indonesia. Bukankah banyak pejabat negara yang memiliki hubungan dekat dengan Presiden Sukarno yang kemudian disingkirkan? Tidak hanya itu, mereka dipenjara tanpa pengadilan? Bukan tidak mungkin di masa itu Sukrisno pun telah mendengar kabar bahwa dirinya menjadi salah satu target dari “operasi pembersihan” yang dilakukan pemerintahan transisional Soeharto.
“Bapak saya tidak pernah terlibat G30S,” tulis Nuni kepada SBY.
“Kalau memang itu (keputusan tidak hadir ke Jakarta saat dipanggil Menlu Adam Malik, pen) memang dianggap sebagai kesalahan oleh pemerintah RI dulu, maka menurut saya hanya ini sajalah kesalahan yang dia lakukan dulu. Dalam suasana yang sangat tegang ketika itu apa juga terjamin keselamatan bapak saya jika dia pulang ke Indonesia? Bukankah Presiden Sukarno ketika itu juga huisrest (tahanan rumah, pen),” sambung Nuni sambil menambahkan sejak sejak peristiwa paspor Sukrisno dicabut pemerintah RI. (Bersambung)