Kisah penangkapan Gayus Tambunan masih menjadi misteri.
Benarkah, seperti penjelasan resmi yang telah disampaikan, penangkapan itu bermula saat dua anggota Satgas Mafia Hukum, Denny Idrayana dan Mas Achmad Santosa, secara kebetulan bertemu dengan Gayus saat makan malam di Asian Food Mall, Lucky Plaza, Orchard Road, Singapura?
Atau, seperti yang banyak dibicarakan orang, penangkapan itu sekadar sandiwara semata, dan sudah diatur jauh hari sebelumnya?
Kecurigaan bahwa apa yang disebut sebagai penangkapan itu hanya sandiwara belaka berkembang segera setelah kabar penangkapan Gayus beredar menjelang tengah malam Selasa lalu (30/3).
Namun mantan wakil presiden Jusuf Kalla dalam pembicaraan dengan Rakyat Merdeka Online di kediamannya, Jalan Dharmawangsa, Jakarta Selatan, hanya beberapa jam sebelum kabar penangkapan Gayus terdengar, pun telahmempertanyakan mengapa dengan begitu mudah Gayus bisa “melarikan diri” ke Singapura. Padahal, sebelum itu Gayus sempat bertemu beberapa kali dengan Satgas Mafia Hukum. Di dalam pertemuan tersebut, seperti yang telah diberitakan media massa, Gayus mengaku bahwa dia hanya satu dari sekian pemain di lingkungan Direktorat Pajak Kementerian Keuangan.
“Kalau saya, begitu mendengar pengakuan seperti itu, saya akan langsung telepon Kapolri, meminta agar (Gayus) segera ditangkap,” ujar JK yang kini memimpin Palang Merah Indonesia (PMI).
JK mencontohkan perintah yang diberikannya kepada Kapolri Jenderal BHD untuk menangkap pemegang saham pengendali (PSP) Bank Century Robert Tantular. Perintah itu diberikan JK pada tanggal 25 November 2008 sesaat setelah Gubernur BI ketika itu, Boediono, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan keputusan yang diambil Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam Rapat KSSK dinihari 21 November 2008 menggelontorkan bantuan untuk Bank Century.
“Kalau saya tidak perintahkan tangkap, hilang dia (Robert),” ujar JK lagi. “Polisi kan punya hak menahan selama 21 hari bila ada bukti yang kuat,” sambungnya.
Adalah Mas Achmad Santosa, salah seorang anggota Satgas Mafia Hukum, yang pada hari Minggu lalu (28/3) menyampaikan cerita tentang pertemuan Satgas Mafia Hukum dengan Gayus sebelum Gayus melarikan diri.
“Sebelum Gayus Tambunan menghilang, dia pernah bertemu dengan kami tiga kali,” kata Mas Achmad Santosa yang biasa disebut Ota dalam jumpa pers di Kantor Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) Jalan Ir. Juanda, Jakarta Pusat.
“Gayus Tambunan pernah mengatakan pada kami bahwa modusnya tidak hanya dilakukan oleh dirinya sendiri tapi juga dilakukan orang-orang di Ditjen Pajak,” kata Ota lagi.
Pengakuan yang disampaikan Gayus ini, menurut hemat JK, adalah bukti kuat yang sebetulnya sudah dipegang oleh Satgas Mafia Hukum yang dibentuk langsung oleh Presiden SBY. Jadi mengapa mengulur waktu? Dan siapa yang “melindungi” Gayus dan membawanya ke Singapura? Dengan tujuan apa?
Inilah antara lain pertanyaan-pertanyaan yang sampai pembicaraan dengan JK malam itu berakhir tidak menemukan jawaban.
Setelah kabar “penangkapan” Gayus beredar, senada dengan JK, aktivis Adhie Massardi mengatakan bahwa sebaiknya kronologi penangkapan Gayus diluruskan. Terlalu remeh, menurut Jurubicara Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini, bila kronologi penangkapan itu hanya diawali dari perjalanan dua anggota Satgas Mafia Hukum ke Singapura pada Selasa pagi (30/3), disambung dengan adegan keduanya makan malam di Orchard Road dan bertemu Gayus, sampai kemudian petugas dari Mabes Polri datang dan membawa Gayus ke hotel untuk membicarakan penyerahan diri Gayus bersama istri Gayus yang ikut ke Singapura.
“Kronologinya harus diawali dari beberapa kejadian penting sebelumnya. Misalnya dari penjelasan Komjen Susno Duadji mengenai keterlibatan dua jenderal Polri dalam kasus penggelapan pajak yang melibatkan Gayus. Lalu, pertemuan Satgas Mafia Hukum dengan Gayus, dimana Gayus mengakui perbuatannya,” ujar Adhie.
Semua kejadian itu, demikian Adhie, memiliki hubungan yang erat satu sama lain. Dan dengan mengaitkannya, maka publik akan bisa dengan mudah membaca apa sesungguhnya sandiwara yang sedang dipertontonkan ini.
Bisa juga, sambungnya, kronologi itu dimulai dari kampanye reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang dilakukan Sri Mulyani dengan, antara lain, menaikkan gaji pegawai Kemkeu menjadi lebih “profesional sesuai standar negara maju”.
Adhie, seperti banyak orang lainnya, curiga bahwa apa yang disebut Sri Mulyani sebagai reformasi birokrasi dengan mendongkrak tunjangan PNS Kementerian Keuangan itu dilakukan dengan maksud utama membangun barisan loyalis. Itu juga mungkin yang menyebabkan dengan mudah pegawai Kementerian Keuangan dimobilisasi untuk menyatakan kebulatan tekad mendukung Sri Mulyani dalam megaskandal Bank Century
Sebagai penutup, Adhie menyampaikan kekhawatiran tentang upaya menangkap “kuman di seberang lautan” agar di saat bersamaan “gajah Century” bisa mengalihkan perhatian.
