Membongkar Topeng Boediono dan Sri Mulyani

Ada sementara kalangan yang menilai Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai dua maestro ekonomi yang tak tertandingi.

Keduanya tidak hanya dianggap sebagai tulang punggung tetapi juga juru selamat perekonomian nasional. Mereka dinilai bersih, memiliki komitmen yang tinggi dalam mereformasi birokrasi keuangan dan mengelola ekonomi nasional.

Benarkah demikian adanya? Managing Director Econit Advisory Group, Hendri Saparini, mencium aji pamungkas yang dilancarkan kubu pemerintah agar Boediono dan Sri Mulyani bebas dari berbagai kesalahan yang mereka lakukan di balik bail out Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Lebih jauh menurutnya, manuver yang semakin kencang menjelang Sidang Paripurna DPR yang akan membahas rekomendasi Pansus Centurygate itu juga bertujuan untuk mempertahankan paradigma ekonomi ketergantungan yang dianut keduanya dan sejak lama menjadi mainstream di Indonesia.

“Benarkah Boediono dan Sri Mulyani Indrawati sangat luar biasa sehingga pelanggaran (yang mereka lakukan) dalam kebijakan publik (bail out Bank Century) harus dimaklumi?” tanya Hendri dalam perbincangan dengan Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Senin, 1/3).

Hendri lantas membongkar jejak rekam Boediono dan Sri Mulyani, dan menyimpulkan bahwa keduanya adalah ekonom mediocre yang sebetulnya tidak punya resep jitu untuk memperbaiki perekonomian nasional selain mengikuti kebijakan ekonomi yang menjerumuskan Indonesia ke lembah ketergantungan yang amat dalam.

Di kurun 1997-1998, saat menjadi Direktur BI, Boediono ikut menelorkan kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan anggaran negara paling tidak selama 30 tahun. Saat menjadi Menkeu, ia membiarkan privatisasi dan mengeluarakan kebijakan release and discharge yang membebaskan debitor BLBI dari kewajiban melunasi utang mereka yang menjadi beban negara. Sebagai Menko Perekonomian di era SBY, kebijakan ekonomi Boediono pun parah karena telah mengabaikan sektor riil. Boediono lebih peduli menyemir tampilan makro ekonomi sehingga tampak kinclong. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah bubble economics yang setiap saat dapat meletus dan merugikan rakyat banyak.

Sri Mulyani pun tak seindah yang dibayangkan. Tugas utama Menteri Keuangan adalah mengelola APBN. Tetapi di masa Sri Mulyani, sebut Hendri Saparini, pengelolaan APBN dilakukan dengan menambah penyakit yang telah menahun diidap Indonesia.

Selama lima tahun terakhir, APBN naik 2,5 kali lipat, tetapi kesejahteraan masyarakat tidak mengalami perbaikan. Padahal dalam pasal 23 UUD 1945 disebutkan bahwa tujuan utama APBN adalah kesejahteraan masyarakat.

Pengelolaan belanja APBN pun sangat lemah sehingga realisasi APBN tertumpuk di belakang. Akibatnya, kemampuan stimulus APBN berkurang jauh. Kelemahan dalam mengelola APBN ini telah menghasilkan Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SILPA) dalam jumlah besar. Tahun 2008 sebesar Rp 79,9 triliun dan tahun 2009 sebesar Rp 38 triliun.

Di sisi lain, selama Sri Mulyani menjadi Menkeu, APBN dibiayai dengan high cost debt. Sementara untuk menutup defisit Menkeu menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) bruto, yang pada tahun 2004 hanya Rp 32 triliun, namun terus meningkat di masa SBY, dan kini menjadi hampir Rp 180 triliun dengan yield yang sangat tinggi. Bila negara-negara lain hanya sebesar 3 persen, obligasi pemerintah Indonesia kini antara 7 hingga 8 persen.

“Mari menilai dengan jujur. Dengan track record di atas, apakah layak untuk mengatakan bahwa Boediono dan Sri Mulyani telah mengelola ekonomi Indonesia dengan baik. Bahkan image bersih dan reformis mereka telah porak poranda dengan temuan Pansus Centurygate yang membuktikan pelanggaran yang dilakukan keduanya dan kebijakan untuk memuluskan kebijakan yang terindikasi sarat unsur korupsi dan bahkan praktik pencucian uang,” demikian Hendri.

One Reply to “”

  1. Sri Mulyani adalah seorang akademisi dan kolumnis saja. Tetapi entah mengapa bisa dipercaya menduduki kursi pemerintahan. Tidak mengherankan, kebijakan keuangan negara pun menjadi amburadul.

Leave a reply to klontang Cancel reply