
Awal Agustus 2001, Abdurrahman Wahid akhirnya meninggalkan Istana. Selama sepekan dia bertahan tak ingin angkat kaki dari Istana, walau MPR telah melantik Megawati Soekarnoputri yang tadinya Wapres, menjadi Presiden menggantikan Gus Dur.
Di mata Gus Dur pelantikan Mega sebagai presiden adalah bagian dari manuver lawan-lawan politiknya di parlemen yang sejak awal menekannya lewat Pansus Buloggate yang menyelidiki penggunaan dana nonbudjeter Bulog dan sumbangan dari Sultan Brunei. Pansus tersebut telah melahirkan Memorandum I dan II. Satu kali memorandum lagi, maka MPR pun akan menggelar Sidang Istimewa untuk mencopot Gus Dur dan melantik Megawati.
Tetapi Gus Dur tidak jatuh karena proses politik yang berkembang di Pansus. Ia jatuh setelah menerbitkan dekrit yang berisi pembubaran parlemen yang menurutnya telah melakukan tindakan inkonstitusional.
Pimpinan parlemen dan parpol sehari sebelumnya menggelar rapat di kediaman Megawati di Lenteng Agung. Dalam pertemuan itu dibahas lah cara untuk menjatuhkan Gus Dur. Bagi Gus Dur ini adalah tanda-tanda tegas akan adanya rencana makar dan kudeta.
Dengan pertimbangan itulah, dinihari 23 Juli 2001, ia mengumumkan dekrit.
Sementara kubu Amien Rais, Akbar Tandjung dan Megawati Soekarnoputri melayani permainan Gus Dur dengan menggelar SI MPR di hari itu juga. Sebagian besar anggota MPR menyetujui impeachment untuk Gus Dur dan mengangkat Megawati sebagai penggantinya.
Foto di atas memperlihatkan Gus Dur ketika membaca dekrit pembubaran parlemen dinihari 23 Juli 2001.