Komisi I Dibelah Tiga Namru-2

DSC_0020

“Namru-2 adalah lembaga yang transparan, terbuka untuk umum dan semua pengunjung yang berminat. Kami mengharapkan kerjasama dengan Indonesia terus berlanjut,” ujar Kuasa Usaha Kedubes Amerika Serikat John A. Heffern.

“Tidak ada staf Amerika di Namru-2 yang mempunyai kekebalan diplomatik. Semua staf mempunyai status administrasi dan teknis yang sama dengan staf kantor Kedutaan,” Direktur Namru-2 TR Jones menambahkan. Ia memperlihatkan halaman demi halaman passport miliknya untuk membuktikan ucapannya barusan.

Jones bukan satu-satunya warganegara Amerika yang bertugas di laboratorium seluas 50 ribu kaki persegi yang beralamat di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat itu. Selain Jones setidaknya ada 20 warganegara Amerika Serikat lain yang juga bekerja sebagai peneliti bersama 168 warganegara Indonesia.

Lokasi dimana Laboratorium Namru-2 berdiri saat ini secara resmi adalah milik Departemen Kesehatan. Tetapi, justru Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari yang tidak diijinkan masuk beberapa waktu sebelum Theo L. Sambuaga dan belasan anggota Komisi I DPR RI mengunjungi laboratorium Namru-2 siang itu, 18 Juni 2008.

Sebelum singgah di Indonesia, Namru-2 atau Navy Medical Research Unit Two sudah menjejakkan kaki di tiga negara. Awalnya Namru-2 didirikan Angkatan Laut AS bekerjasama dengan Rockefeller Institute di Guam, salah satu pangkalan militer Amerika Serikat di Pasifik selama Perang Dunia Kedua. Tahun 1955, Komando Namru-2 dipindahkan ke Taipei, Taiwan, yang ketika itu masih berada di bawah perlindungan politik Amerika Serikat.

Menyusul kejatuhan Soekarno, di tahun 1968, pihak Amerika Serikat mulai membicarakan rencana mendirikan semacam laboratorium cabang setingkat detasemen untuk Namru-2 di Jakarta. Detasemen ini dimaksudkan untuk mempermudah penelitian mengenai penyebaran virus penyakit di kawasan Asia Tenggara. Dua tahun kemudian laboratorium cabang itu pun resmi berdiri di Jakarta sementara di tahun 1979, pemerintah AS memindahkan laboratorium pusat Namru-2 ke Manila, Filipina.

Selanjutnya, di tahun 1990, setelah serangkaian pembicaraan negosiasi antara Angkatan Laut AS dan Departemen Luar Negeri AS di satu pihak dengan Departemen Kesehatan Indonesia di pihak lain, laboratorium Komando Namru-2 resmi dipindahkan ke Jakarta untuk mendukung kepentingan riset kesehatan AS dan menjadi salah satu mesin diplomatik AS di kawasan Asia Pasifik. Namru-2 secara terus menerus memberikan informasi mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan penyebaran virus dan wabah penyakit.

Laboratorium ini juga meneliti penyebaran wabah penyakit pasca gempa hebat dan tsunami di utara Pulau Sumatera, Desember 2004, dan pasca gempa bumi di Jogjakarta, Mei 2005. Saat ini Namru-2 telah mengembangkan aktivitas penelitian dan laboratorium di beberapa negara lain di Asia Tenggara, seperti Laos, Singapura, Thailand, dan Kamboja.

Polemik mengenai keberadaan Namru-2 di Indonesia mulai marak akhir 2007. Laboratorium ini diduga mengambil keuntungan untuk AS, dan sebaliknya merugikan Indonesia, dalam bidang kesehatan maupun intelijen, militer dan pertahanan. Memasuki tahun 2008, anggota DPR RI mulai buka suara menentang kehadiran Namru-2.

Belum lagi, disebutkan bahwa nota kesepahaman mengenai aktivitas penelitian Namru-2 di Indonesia sudah habis tahun 2005 dan tidak diperpanjang lagi. Sejak 2006, pemerintah Indonesia telah mengirimkan pasal-pasal nota kesepahaman baru kepada pemerintah AS. Namun sampai ini pihak AS belum memberikan jawaban.

“Tutup saja. Tidak ada manfaatnya bagi Indonesia,” ujar Ketua Komisi Kesehatan DPR RI, Ribka Ciptaning dari Fraksi PDI Perjuangan, suatu kali di bulan April 2008.

Di saat yang hampir bersamaan, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari juga menyampaikan kecurigaannya bahwa Namru-2 memanfaatlcan virus yang mereka peroleh dan teliti untuk tujuan komersial. “Virus itu dijual ke Hong Kong dan negara-negara lain dalam bentuk vaksin.”

Menyikapi pernyataan keras Menteri Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan AS di era Geroge W. Bush, Michael Okerlund Leavitt, balik menantang. “(Mungkin) sudah saatnya bagi dunia internasional untuk menerima ketidakbersediaan Indonesia berpartisipasi dalam sistemn influenza WHO,” katanya.

Mengenai nota kesepahaman pendirian Namru-2 di tahun 1970, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri, Edi Pratomo, menjelaskan bahwa perjanjian kerjasama tersebut tidak sesuai dengan Konvensi Wina tahun 1961 yang diratifikasi pemerintah lewat UU 1/1982.

Namru-2 berada di bawah Kedutaan Besar Amerika Serikat, sehingga stafnya mendapatkan kekebalan diplomatik. Padahal Namru-2 bukan merupakan bagian dari kegiatan diplomasi dan semestinya tidak melakukan aktifitas yang berhubungan dengan diplomasi.

“Kenyataan ini membuat aktifitas dan pergerakan personel Namru-2 menjadi sangat sulit diawasi. Orang dan barang bisa keluar masuk tanpa pengawasan,” katanya sambil menambahkan keberadaan Namru-2 tidak merefleksikan kepentingan Indonesia sehingga kalaupun akan dilanjutkan maka pemerintah Indonesia harus membuat draf kerjasama baru yang menguntungkan Indonesia.

Seminggu setelah kunjungan Theo Sambuaga Cs ke fasilitas Namru-2, tanggal 25 Juni 2008 Komisi I menggelar rapat kerja untuk memutuskan sikap mengenai polemik ini. Sebegitu pentingnya polemik Namru-2 ini, rapat kerja yang dipimpin Theo Sambuaga ini dihadiri Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman dan Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso.

Dalam Raker itu, Panglima TNI Jenderal TNI Djoko Santoso mengatakan bahwa kerjasama antara Indonesia dan AS di laboratorium medis Namru-2 kurang seimbang. Pihak AS yang diwakili Angkatan Laut AS memiliki dua keuntungan, yakni aktivitas militer dan penelitian medis. Sementara pihak Indonesia hanya memetik satu keuntungan dari sisi penelitian penyebaran virus dan wabah penyakit.

Menurut Djoko, bila merujuk pada prinsip kesetaraan maka seharusnya dalam kerjasama Namru-2 yang menjadi mitra pihak AS adalah TNI atau setidaknya TNI Angkatan Laut. Setelah 1996, lanjut dia, Mabes TNI tidak lagi menerima laporan resmi baik dari Namru-2 maupun Depkes RI tentang hasil penelitian yang dilakukan laboratorium itu. Mabes TNI juga tidak mengetahui kegiatan lain di luar misi kesehatan tersebut.

Hal lain yang disampaikan Panglima TNI berkaitan dengan perubahan status Namru-2 dari Datasemen menjadi Komando lembaga penelitian di kawasan Asia Pasifik. Status Komando ini semakin menyulitkan otoritas Indonesia untuk mengawasi kegiatan Namru-2 yang begitu luas dan berpotensi menimbulkan kerawanan. Pemberian status diplomat kepada personel Namru-2 asal Amerika Serikat yang berjumlah 23 orang memudahkan mereka untuk memperoleh fasilitas dan perlakuan yang sama dengan diplomat lainnya, khususnya dalam arus lalu lintas barang yang tidak melalui proses pemeriksaan dan bebas bea masuk.

“Dalam perjanjian kerjasama terdahulu disebutkan bahwa personel Namru-2 dapat melakukan perjalanan ke seluruh wilayah Indonesia sehingga menyulitkan pemerintah untuk melakukan monitoring terhadap seluruh kegiatan penelitiannya,” ujar Jenderal Djoko Santoso.

Panglima TNI juga mempersoalkan kategori BL-3 atau Biological Safety Level-3 yang dimiliki Namru-2. Bagian ini pun berpotensi merugikan Indonesia, karena menurut konvensi internasional mengenai senjata biologi yang menetapkan kategori itu, apabila terjadi kecelakaan yang mengakibatkan kebocoran kuman berbahaya dalam sebuah laboaratorium penelitian maka negara yang bersangkutan harus mengizinkan tim pemeriksa internasional untuk melakukan pemeriksaan dalam radius 500 km.

“Dengan radius sebesar itu, berarti hampir semua objek yang ada di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah dapat diperiksa termasuk instalasi militer dan obyek vital lainnya yang berkualifikasi rahasia,” jelas Jenderal Djoko Santoso lagi.

Dengan pertimbangan di atas, TNI mendorong agar pemerintah Indonesia menyusun nota kesepahaman baru untuk Namru-2 dengan melibatkan unsur TNI. Dalam nota kesepahaman baru itu sasaran dan daerah operasi serta jangka waktu operasi perlu dijelaskan secara detil.

TNI juga mengusulkan agar dalam nota kesepahaman baru itu ada klausul khusus yang menetapkan bahwa personel militer AS yang melakukan kunjungan atau kegiatan di daerah rawan harus mendapatkan ijin terlebih dahulu. Alat komunikasi yang digunakan oleh personel militer AS pun harus didaftarkan sebelumnya oleh pihak Namru-2. Frekuensi radio yang digunakan dalam komunikasi harus sesuai dengan yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia.

Selain itu, lalu lintas arus barang harus dapat dikontrol sesuai prosedur yang berlaku. Belum lagi, kecelakaan di laboratorium harus menjadi tanggung jawab pemerintah AS. Instansi pemerintah terkait seperti Balitbangkes, Dephan serta pusat kesehatan TNI harus mempunyai hak untuk mengakses informasi tentang semua kegiatan Namru-2.

“Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan tidak tercapai kata sepakat, maka disarankan kepada Menhan agar kerjasama dengan Namru-2 dihentikan,” demikian Jenderal Djoko menutup uraiannya.

Adapun Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menolak menjawab pertanyaan tertulis Komisi I tentang keberadaan Namru-2. Ia justu menyatakan kecewa atas kunjungan Komisi I ke laboratorium Namru-2. Dia juga menyebut Namru-2 telah menginjak kedaulatan Indonesian.

“Bagi saya, sudah tidak ada yang perlu dijelaskan karena keberadaan Namru-2 sudah jelas-jelas tidak memberikan manfaat bagi Indonesia. Laboratorium itu tidak lebih baik dari laboratorium yang kita miliki seperti Laboratorium Eijkman di Bandung. Kenapa Komisi I tidak meninjau saja laboratorium milik kita sendiri yang jelas-jelas memberikan manfaat,” katanya.

Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes yang secara resmi menjadi mitra Angkatan Laut AS di laboratorium Namru-2 tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari kerjasama ini. “Kita hanya mendapatkan penelitian-penelitian kecil, sedangkan ketika kami meminta kerja sama dalam penelitian tuberculosis (TBC) mereka tidak mau karena tidak ada kepentingan untuk mereka,” kata dia mengungkapkan.

Berbeda dengan Panglima TNI dan Menteri Kesehatan, Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman memiliki pandangan yang berbeda 180 derajat. Menurutnya, selama ini kerjasama antara lembaga-lembaga penelitian di Indonesia dengan Namru-2 dilakukan dengan memperhatikan prinsip kesetaraan dan memberikan keuntungan bagi Indonesia.

Berbagai kerjasama itu pun, sambungnya, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia seperti UU 4/2006 tentang pengesahan traktat internasional mengenai sumber daya genetik untuk pangan dan pertanian, serta PP 41/2006 tentang perijinan melakukan kegiatan penelitian bagi perguruan tinggi dan lembaga asing di Indonesia.

Rapat kerja itu berlangsung panas. Menurut catatan media massa, sebagian besar anggota Komisi I meminta agar laboratorium Namru-2 tidak perlu dilanjutkan. Namun, di akhir rapat kerja, sebuah kejutan terjadi. Suara Komisi I terbelah tiga.

Adalah Theo L. Sambuaga yang membacakan rekomendasi Komisi I itu.

Rekomendasi pertama meminta pemerintah menghentikan kerjasama dengan Namru-2. Rekomendasi ini didukung Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (BPD), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa.

Rekomendasi kedua meminta agar untuk sementara segala aktivitas Namru-2 dihentikan, di saat bersamaan nota kesepahaman dan perjanjiannya dievaluasi serta disesuaikan dengan kepentingan nasional. Rekomendasi ini didukung Fraksi PDI Perjuangan, Partai Damai Sejahtera (PDS), dan sebagian anggota Fraksi BPD.

Sementara rekomendasi ketiga meminta agar kerjasama dengan Namru-2 dievaluasi dan dilanjutkan dengan memperjuangkan persyaratan dalam perjanjian yang baru. Rekomendasi ini didukung oleh Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Golongan Karya (Golkar).

Menurut Theo, persyaratan yang harus diperjuangkan itu meliputi kepentingan dan kedaulatan nasional, pengawasan kegiatan Namru-2 secara efektif, akses dan transfer teknologi. Juga disebutkan agar pihak Amerika Serikat dari institusi sipil yang terlibat dalam laboratorium Namru-2 tidak diberi imunitas diplomatik.

Selain itu lokasi laboratorium pun harus dipindahkan ke tempat yang tidak rawan, serta memperhatikan konvensi internasional tentang senjata biologi dan biodiversity. Juga disebutkan agar masalah perjanjian transfer material (MTA) dalam pembagian virus harus ditaati.

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s