SEHARI sebelum pemilihan umum di Federasi Mikronesia saya bertemu dengan laki-laki itu: Obama dari Mikronesia.
Begitu julukan yang diberikan seorang mahasiswa College of Micronesia untuk Gillian Doone, salah seorang kandidat gubernur negara bagian Chuuk. Mahasiswa ini – dia tak mau namanya saya tulis karena khawatir akan keselamatan kariernya sebagai kepala sekolah di salah satu SD di Chuuk Lagoon – sangat berharap Doone dapat memperbaiki keadaan di Chuuk.
Empat tahun lalu sang mahasiswa beserta teman-temannya juga mempunyai harapan yang sama ketika mendukung Wesley W. Simina sebagai gubernur. Mereka kira Simina yang berlatar belakang pengacara dapat membereskan korupsi yang sudah berurat dan berakar di Chuuk. Korupsi itu yang membuat Chuuk kini bagaikan kota mati, tanpa infrastruktur, tanpa pelayanan publik yang baik. Chuuk yang seakan bergerak ke jaman batu.
Tapi mereka harus kecewa. Bukannya mengubah politik Chuuk yang sudah kadung busuk, Simina malah ingkar janji. Dari seorang yang diharapkan bisa menjadi solusi, alumni University of Hawaii at Manoa (UHM) itu kini malah memperkuat jejaring korupsi.
Kembali ke Gillian Doone.
Sebelum terjun ke dunia politik Chuuk, Doone yang lahir dan besar di Chuuk, sejak tahun 1994 bekerja sebagai seorang akuntan di Hawaii, Honolulu. Maret 2007 dia direkrut sebagai salah seorang auditor pada Kantor Auditor Publik Nasional dan ditempatkan di Weno, ibukota negara bagian Chuuk. Karena kariernya yang cemerlang, terutama keberaniannya, bulan Oktober 2007 Presiden Federasi Mikronesia, Emanuel Mori, mempromosikan Doone sebagai Direktur Keuangan dan Pelayanan Administrasi Chuuk yang bekerja di bawah Gubenur Simina.
Ini adalah tugas yang tak mudah untuk alumni Chaminade University of Honolulu itu. Pemerintah Chuuk selama ini sudah dikenal sebagai sarang korupsi. Tak tanggung-tanggung, ini jenis korupsi berjamaah yang tak bisa dengan mudah dibasmi. Korupsi berjamaah, yang menurut mahasiswa yang memperkenalkan saya kepada Doone, terjadi di depan mata dan dibiarkan begitu saja oleh sistem kekerabatan ala Chuuk.
Namun begitulah, berbekal tekad memperbaiki keadaan, Doone menerima permintaan itu.
Kaselehlie Press, koran nasional yang terbit di Phonpei, ibukota Federasi Mikronesia, edisi Juni 2008 menulis, “Direktur Doone berbicara dalam bahasa Inggris yang sangat baik. Tetapi kelihatannya sejak menjabat (sebagai Direktur Keuangan dan Pelayanan Administrasi) kata yang biasa digunakannya hanya terdiri dari dua huruf, yakni: no (tidak).”
Tidak, begitu kerap dikatakan Doone setiap kali bosnya, Gubernur Simina, memintanya mengambil tindakan yang menurut Doone bertentangan dengan peraturan dan hukum yang berlaku.
***
Saya diterima Doone di salah satu poskonya, di sebuah teras yang menghadap ke pantai. Dari tempat itu saya bisa menatap bukit octopus, julukan yang diberikan untuk sebuah bukit di tengah Weno, dengan leluasa. Mengenakan kacamata, kaos polo berwarna oranye dan celana pendek khaki, Doone menyambut saya dengan senyum.
Saya memperkenalkan diri saya sebagai salah seorang anggota tim pemantau pemilihan umum dari Asia Pacific Democracy Partnership (APDP). Selain itu, saya juga memperkenalkan diri saya sebagai jurnalis dari Indonesia yang sedang kuliah di Hawaii dan baru pertama kali ini menginjakkan kaki di Mikronesia, khususnya di Chuuk Lagoon yang indah tapi berantakan.
Dia dapat memahami kekagetan saya.
“Ini semua karena korupsi yang merajalela. Korupsi yang tidak hanya diidap oleh lembaga eksekutif dan legislatif, namun juga merusak lembaga yudikatif kami. Hukum tidak berjalan di Chuuk ini,” katanya.
Dalam pemilihan ini Doone berpasangan dengan Ritis Heldard. Mereka menghadapi incumbent Gubernur Wesley W. Simina yang berpasangan dengan Johnson Elimo, dan mantan wakil presiden Federasi Mikronesia Redley Killion yang berpasangan dengan Sontan Salle.
***
Karier Doone sebagai Direktur Keuangan dan Pelayanan Administrasi tidak lama. Setelah bekerja sembilan bulan, bulan Mei 2008 dia dipecat oleh Gubernur Simina.
Pasalnya, dia menolak membayarkan “gaji susulan” atau untuk anggota Kongres seperti yang diperintahkan Gubernur Simina. Karuan saja, dia menghadapi musuh di dua front sekaligus. Menurut Doone, permintaan Gubernur Simina agar dia membayarkan uang sebesar 1,4 juta dolar AS kepada setiap anggota DPR, salah satu kamar di Kongres Chuuk, sebagai perbuatan yang melanggar hukum.
Tidak berhenti di situ, Doone melaporkan sang gubernur ke pengadilan.
Pengadilan menolak laporan itu. Menurut pengadilan, Doone tidak bisa melaporkan atasannya. Kilah pengadilan, kasus ini hanya dapat dilaporkan oleh publik yang merasa dirugikan.
Tak lama kemudian Gubernur Simina memecat Doone. Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba. Setelah dipecat, Doone kembali ke pengadilan dan melanjutkan upayanya menyeret Simina ke pengadilan. Kali ini dia melaporkan kasus itu dalam kapasitas sebagai anggota masyarakat biasa yang merasa dirugikan.
Tetapi pengadilan kembali mengelak dan mengulur waktu. Sidang kasus itu ditunda hingga bulan April 2009.
“Anda lihat sendiri betapa parahnya keadaan negeri ini. Saya yakin kami bisa maju. Tapi dengan korupsi yang begitu parah, saya khwatir kami tak punya kesempatan lagi. Inilah kesempatan terakhir bagi rakyat Chuuk. Apakah mereka mau berubah, atau tidak. Kalau mau berubah, maka kita harus sama-sama memberantas korupsi. Kalau tidak, mau bilang apa lagi,” masih ujar Doone.
Doone mengatakan dirinya memperkirakan tidak akan ada pasangan cagub dan cawagub yang dapat memperoleh 50-plus-satu dalam pemilihan umum ini. Dia juga memperkirakan dirinya akan memperoleh suara terbanyak kedua. Dengan demikian, babak run off akan sangat menentukan.
“Inilah babak yang paling berat. Bila dua kekuatan status quo ini bersatu, maka tidak mudah bagi saya untuk menang,” katanya lagi.
Lantas bila kalah, apa yang akan dilakukannya?
Menjawab pertanyaan ini, dengan airmuka murung Doone berkata, dirinya menyerahkan sepenuhnya kepada rakyat Chuuk. Bila mereka ingin mempertahankan kehidupan seperti yang sekarang mereka miliki, kehidupan dalam keserba-tidakteraturan, maka itu adalah pilihan rakyat Chuuk. Dia kecewa, tapi dia juga merasa tidak punya hak untuk marah.
Apakah dia punya rencana bertarung dalam pemilu berikutnya?
“Tidak,” jawab Doone dengan cepat. “Bila kalah saya akan kembali ke Hawaii melanjutkan kehidupan saya sebelumnya.”
***
Sejauh ini bagaimana hasil pemilihan gubernur Chuuk?
Menurut informasi yang saya dengar dari Mason Fritz, Direktur Otoritas Pariwisata Chuuk, dapat disimpulan masih belum ada kepastian. Proses penghitungan suara berlangsung lambat, dalam suasana tertutup dan tanpa koordinasi yang jelas. Masing-masing kubu kandidat mengklaim pihaknya yang menang.
Beginilah kalau tidak ada saluran informasi yang dapat dipercaya, kata Mason.
Pihak KPU Chook pun sejauh ini belum mengeluarkan pernyataan resmi.
Sehari sebelumnya, Mason juga memberikan gambaran betapa tidak mudah hidup di tengah masyarakat yang menyandarkan informasi pada kabar yang disebarkan dari mulut ke mulut.
Kedatangan tim pemantau pemilu APDP saja, menurutnya, sudah menimbulkan begitu banyak cerita.
“Kemarin Anda datang dengan memakai rompi merah. Setelah itu akan jadi oranye, lalu ungu dan terakhir hitam. Bahkan kemarin sudah ada yang berkata bahwa kalian adalah rombongan Central Intelijen Agency (CIA),” ceritanya sambil tertawa.
Tawa yang miris tentu saja.
One thought on “Simpang Siur Nasib Obama dari Mikronesia”