Si Djanggo Dibawa Hujan

w-kaba_mekka_nacht

Oleh Hujan

(Terkenang Maimun Saleh, untuk Ides, Mama dan Cut Zulaikha)

Dua hari lagi lebaran kurban. Saiman semakin tak bisa menyembunyikan sinar kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya. Meski dia harus kehilangan si Djanggo, namun dia sudah ikhlas dengan berniat menyampaikan cita-citanya yang sudah dua tahun dipendamnya.

Remaja itu mengetuk-ketukkan tongkatnya di atas tanah, sementara si Djanggo dan rombongan kambing milik Wak Leman lainnya masih dengan lahap menyantap rumput yang tumbuh liar di sabana, di belakang kampung kami.

Dua hari lalu, Wak Leman memang telah menepati janjinya.
“Jadi, kau tetap memilih si Djanggo daripada uang?” tanya Wak Leman. Saiman mengangguk. Sambil tersenyum girang, dia menatap pada Wak Leman.
“Iya Wak. Kalau boleh, besok lusa, si Djanggo bisa saya bawa pulang,” balas Saiman.
Wak leman menganggukkan wajahnya beberapa kali. Sambil dipegangnya janggutnya yang tipis, dia menatap dalam-dalam pada Saiman. “Ya kalau begitu maumu, baiklah. Tapi engkau masih tetap menggembalakan kambingku bukan?”. Saiman mengangguk.

Di rumahnya, Saiman semakin tak dapat membendung senang hatinya. Menjelang matahari terbenam, Saiman menemui Emak yang tengah bersiap menyambut datangnya maghrib.

“Mak, si Djanggo, sudah diserahkan kepada kita,” ujar Saiman, sambil berlalu menghampiri Emak.. Emak, perempuan tua yang telah menjanda sejak Saiman berusia sepuluh tahun itu terhenyak sejenak.
“Tak terasa ya Man, sudah empat tahun. Dan kau pun sudah semakin besar,” ujar Emak.. sambil tak henti-hentinya bersyukur menyebut nama Tuhan.
“Iya Mak. Tak terasa. Sekarang si Djanggo benar-benar milik kita,” ujar Saiman.

Di langit, terang sudah hilang. Malam sudah membungkus kampung kami. Satu per satu suara serangga malam bermunculan menggantikan riuh rendah suara warga yang sejak sore mulai ramai memadati tanah lapang. Sementara, dari langgar lantunan ayat suci masih merdu diperdengarkan.

“Sebelum tidur, jangan lupa shalat,” teriak Emak dari dalam rumah. Saiman beranjak. Dari duduknya, dan menjauhi rumah. “Iya Mak, sebentar saja,” balasnya sambil mendekati si Djanggo yang ditambat di batang pohon nangka belanda di halaman belakang rumah.

***

Saiman masih mengetuk-ketukkan tongkat bambunya ke tanah. Sementara itu, di ujung sana, kawanan domba milik Wak Leman masih dengan lahap menghabisi rumput liar yang tumbuh subur di sabana di belakang kampung kami.

Pikirannya masih diliputi perasaan suka bercampur tak percaya. Suka karena imbalan selama empat tahun menggembalakan kambing Wak Leman akhirnya didapatnya, dan tak percaya, bahwa dia sudah melewati empat tahun masa remajanya.

Menjadi yatim, bukanlah keinginan Saiman. Terlahir miskin, siapa pula orang yang sudi.? Namun dengan tabah, Saiman kecil menjalani itu semua hingga tanpa terasa, dia menjadi seorang remaja yang sangat menyayangi keluarganya, terutama Emak, yang telah sembilan bulan mengorbankan hari-harinya untuk membawa janin Saiman ke manapun singgah.

***

“Iman mau memberangkatkan Emak pergi haji,” ujar Saiman suatu ketika. Mendengarnya Emak hanya bisa tersenyum sambil meneruskan jahitan baju pesanan Bude Tati.
“Halah Man, tak usahlah. Haji itu buat yang mampu,” ujar Emak.
“Tidak Mak, suatu hari, Iman tentu dapat mengongkosi Emak ke tanah Mekah,” ujar Saiman dengan serius.
“Amin,”
“Kata ustad, bila Tuhan memanggil, tentu ada saja cara manusia bisa datang ke rumah-Nya di Arab,” kata Saiman.
“Betul, namun kalau memang tak ada rezeki lebih buat berhaji, maka kita tetap bias menemui Tuhan kok. Di mana saja. Tak perlu ke Arab,” balas Emak sambil terus memfokuskan pandangannya kepada kain pesanan Bude Tati.
“Tapi kalau ke Arab kan lebih afdol. Lebih baik, nanti kalau pulang, bisa dipanggil pak haji atau ibu hajjah,” ujar Saiman.
“Apapun sebutannya, bukan itu yang diinginkan Tuhan. Anakku, Tuhan lebih senang dengan kesederhanaan dan kesungguhan orang yang menjalankan kesederhanaan itu dengan tetap beriman pada-Nya,” ujar Emak kepada Saiman. Kali itu Emak memandang ke arah Saiman.
“Pokonya, kalau Iman punya uang, Emak harus pergi haji,” ujar Saiman.
“Bila nanti kau punya uang, dan berniat memberi Emak hadiah, belikan saja Emak kacamata. Emak sudah kesulitan untuk memasukkan benang dan menyelesaikan jahitan ini,” ujar Emak. Saiman diam. Di dalam hatinya, dia tetap berniat menjadi kaya dan memberangkatkan Emak ke Arab.

***

Siang itu terasa sejuk bagi Saiman. Sambil terus mengawasi belasan ekor kambing milik Wak Leman, remaja yang harusnya berada di sekolah untuk belajar itu terus merebahkan diri di bawah pohon beringin. Tangannya masih terus mengetuk-ketuk permukaan tanah. Diusirnya bosan. Siang itu Memet dan Dahlan, bocah angon yang lain yang biasa selalu bersama, tak terlihat di padang itu.

Memang sudah beberapa hari ini Memet dan Dahlan menjadi pembantu panitia kurban di langgar.

***

“Wah, Man, mulai besok kami cuti dulu jadi anak angon,” ujar Memet.
“Iya, betul, beberapa hari kedepan, kami akan menjadi anak langgar,” sambut Dahlan.
Saiman nyengir kuda. Memet yang pengembala kambing Wak Udin dan Dahlan yang biasa menggembalakan sapi-sapi milik haji Romli libur untuk beberapa hari.

***

Saiman menghampiri Emak yang masih menjahit baju pesanan Bude Tati.
“Assalamualaikum,” salam Saiman sambil meraih tangan Emaknya
“Waalaikumsalam,” jawab Emak. “sudah pulang Man?” tanya Emak.
“Iya Mak,” jawab Saiman sambil membuka peci dan mengganti baju gamis yang dijahit Emak pada dua lebaran lalu.
“Mak,” Saiman mendekati Emak.
“Tadi di langgar kata ustad, orang miskin seperti kita bisa pergi haji Mak,” kata Saiman. Emak tertawa sambil menghentikan jahitannya. “Ustad bilang, bila tak punya uang untuk membayar ongkos haji, kita tetap bisa berhaji kok,” terang Saiman.
Emak membalas dengan tanya “Berhaji bagaimana Man?”
“Kata ustad, inti dari haji itu adalah pengorbanan. Seperti Nabi Ibrahim yang mengorbankan anaknya Nabi Ismail,”
“Maksudnya?” tanya Emak lagi.
“Tuhan menerima kurban yang diberikan hambanya yang mengiklaskan dan memberikan apa yang paling dicintai hambanya itu,” ujar saiman menirukan ustad di langgar.
“Jadi, maksud ustad bagaimana Man?”
“Kata ustad, haji itu rukun ke lima dari rukun islam, wajib hukumnya bagi yang mampu,”
“Kita kan tidak mampu,” potong Emak.
“Tidak Mak, kita mampu kok,”
“Maksudnya?”
“Kita punya si Djanggo,” kata Saiman.

Emak diam.

***

Dua hari lagi lebaran kurban. Saiman sudah tak sabar menunggu saat itu. Pagi tadi, dia dan Emak telah mendaftarkan si Djanggo kepada amil di langgar. Itu artinya, Siang ini adalah saat-saat terakhir, Saiman bermain dengan Djanggo, kambing jantan berusia tiga tahunan.

Saiman lantas bangkit dari atas rerumputan. Di hampirinya si Djanggo yang tengah berkumpul dalam kawanan kambing Wak Leman yang lain.

“Kawan, kau makan yang banyak ya,” ujar Saiman kepada kambing berbulu putih kusam itu. Dibelainya si Djanggo. Teringat Saiman pada masa-masa lalu, saat Wak Leman menjanjikan seekor kambing pada Saiman.

“Bila dia sudah besar, kau boleh memilikinya Man, asal kau menggembala dengan baik kambing-kambingku,” ujar Wak Leman suatu ketika.

Saiman mengambilkan sedikit bekal air minum yang ada dalam botol mineralnya. Dibasahinya telapak tangannya, Kemudian, Saiman mengelus bulu-bulu kasar yang tumbuh di kepala si Djanggo.
“Aku sayang kau Djanggo. Makanya, kau kulatih menjadi kambing jantan yang hebat. Coba lihat tandukmu ini, selalu kurawat. Tandanya aku sayang pada kau,” ujar Saiman. Si kambing hanya manggut-manggut saja sambil sesekali menghentakkan kaki ke tanah dan mengembik.
“Tapi sekarang, aku harus menghajikan Emak. Kata ustad, bila berkurban, maka pahalanya sama seperti berhaji. Maka kuputuskan mendaftarkanmu pada amil,” bisik Saiman lagi sambil terus mengelus kepala si Djanggo. “Maaf kawan. Tapi aku berjanji padamu, sepotong dagingmu pun tak akan kumakan. Mana mungkin aku memakan teman sendiri,” ujar Saiman lagi sambil bangkit dan menarik tali kekang yang melingkar di leher si Djanggo.
“Sabar ya, tunggu aku, aku mau mengambilkan rumput buat santap malam kalian” ujar Saiman sambil menarik Djanggo dan menambatkannya di batang pohon beringin, tempat Saiman berteduh.

***

“Engkau yakin akan mengurbankan kambingmu?” tanya Memet pagi tadi.
“Iya,”
“Tapi dia kan si Djanggo,” sambung Dahlan.
“Memang, dia si Djanggo. Tapi dia akan dikurbankan,” jawab Saiman.
“Apa kau rela? Dia kan bisa jadi modal. Kau tinggal mencarikannya betina,” tanya Memet lagi.
“Sebenarnya tak serela yang kalian bayangkan. Siapa yang rela berpisah dengan sahabatnya?” Saiman balas bertanya.
“Kalau bukan tak rela, lantas namanya apa?” kata Dahlan.
“Aku memang tak rela berpisah dengan si Djanggo. Tapi untuk dikurbankan, insyaallah, aku siap,”
“Wah, tapi si Djanggo kan upahmu bekerja selama empat tahun,” tanya Dahlan lagi.
“Memang sih. Tapi aku tak yakin aku akan menjadi kaya nantinya. Lagi pula, kalaupun aku kaya, itu pasti lama. Dan aku tak yakin emakku akan hidup untuk waktu yang lama,” kata Saiman.
“Wah Man, kau jangan terburu-buru siapa tahu nasib orang?” tanya Memet.
“Iya, aku tahu, tak ada yang tahu soal nasib, kecuali Tuhan. Maka itu, aku putuskan untuk mengurbankan si Djanggo. Selagi ada,” jawab Saiman. Ketiga remaja itu saling mengangguk.

***

Saiman bergegas kembali ke padang tempat dia menggembalakan belasan kambing milik Wak Leman. Sementara di langit, awan hitam pekat menggumpal berlipat-lipat. Agaknya hujan lebat segera turun. Dilemparkannya arit dan onggokan rumput yang dibawanya, bekal makan malam para kambing. Dengan cepat, Saiman menghampiri si Djanggo di bawah pohon beringin dan membuka ikatan simpul tali yang ditambatkan di batang pohon itu.

Di langit, suara gemuruh mulai bersahut-sahutan. Saiman mengikat rumput yang diaritnya, kemudian dipangulnya. Remaja itu kemudian dengan cepat mengumpulkan kawanan kambing milik Wak Leman.

Pelan-pelan, hujan turun juga. Saiman menghalau kawanan kambing itu. Hujan semakin deras. Saiman kewalahan. Kawanan kambing berlari-larian dan sulit dikendalikan. Dengan panik, remaja itu tetap menghalau belasan kabing keluar dari sabana di belakang kampung kami.

***

Hujan semakin deras, ketika Saiman tiba di pekarangan rumah Wak Leman.
“Hujan Man, masukkan kambingnya ke kandang, dan dibakarkan jerami kering ya,” pinta Wak Leman dari dalam rumahnya.
“Iya Wak,” balas Saiman. Suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh hujan yang turun begitu lebat.

Dengan tubuh basah kuyub, Saiman mulai memasukkan kambing ke dalam kandang. Dan kemudian dia membakar jerami kering di bawah kandang kambing itu. Usai membakar, Saiman mengatur nafas sambil kembali memastikan semua kambing sudah mendapatkan kehangatan dari ganggangan bara api yang dibakar di bawah kandang.

“Djanggo!” Saiman berteriak. Tak lagi menghitung ulang, remaja itu balik kanan dan kembali ke padang di belakang kampung. Djanggo tertinggal!
“Djanggo! Djanggo!” teriak Saiman sepanjang padang. Di tengah hujan, remaja itu terus menyebut nama sang kambing. Air mata dan air hujan bercampur baur membasahi wajahnya.

“Djanggo! Djanggo!”

Dan hujan pun reda. Dan malam pun tiba. Saiman tahu betul, kambing takut air.

Dengan langkah gontai, diseretnya kakinya dari padang rumput yang becek dan berlumpur itu.

***

Esok lebaran kurban! Di langgar suara takbir terus bersahut-sahutan. Di kamarnya, dibawah pendaran lampu neon 15 watt, Emak tengah menjahitkan baju gamis Saiman yang robek buat besok dikenakan shalat iedul qurban. Mata emak basah. Entah menahan perih, entah menahan sedih.

Palmerah, Selasa dinihari, (2 Desember 2008)

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

3 thoughts on “Si Djanggo Dibawa Hujan”

  1. @ ernit
    itulah jahatnya si pencerita. 🙂
    dia memberikan kesempatan pada kita melanjutkan sendiri akhir kisah ini.
    adapun ia memilih “tragedi”.

    btw, mahalo dan terima kasih sudah mampir.

  2. doa

    untuk kali ini
    tak ada lagi yang mesti kuucap
    sebab permohonan sudah berulangkali
    sebab permintaan telah menjadi basi
    amin

Leave a Reply to teguhtimur Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s