Ke Honolulu bersama Amartya Sen dan Identitas yang Mengada-ada

KALI ini saya ditemani Amartya Sen. Ekonom yang juga filsuf, peraih Nobel 1998 untuk bidang ekonomi.

Seperti beberapa profesor yang saya kenal di University of Hawaii, ia juga mengkritik habis teori benturan antarperadaban Samuel Huntington sebagai sebuah teori yang cacat metodologi dan lebih parah lagi sangat bertolak belakang dengan realita.

Setidaknya, menurut Amartya Sen dalam Identity and Violence: the Illusion of Destiny yang tahun lalu dialihbahasakan oleh penerbit Marjin Kiri menjadi Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas, teori benturan antarperadaban yang dipopulerkan Huntington di awal era 1990-an dan menjadi semakin populer di “dunia Barat” pasca peristiwa 11 September 2001 memiliki dua kelemahan fundamental.

Kelemahan pertama berkaitan dengan karakter tunggal yang diberikan Huntington pada masing-masing peradaban yang dipilihnya, seperti peradaban Barat, Islam, Hindu, dan Budha. Pada kenyataannya, tidak ada seorang manusia pun di muka bumi ini yang lahir dengan karakter identitas tunggal.

Setiap individu membagi pengalaman dan realitas sosial dengan individu lainnya. Ia menjadi bagian dari kelompok yang dibentuk oleh individu-individu yang tidak seorangpun diantara mereka ekslusif dan berdiri sendiri.

Kesalahan kedua berkaitan dengan kategorisasi yang diberikan secara serampangan — dan pada hakikatnya, kategorisasi peradaban itu cacat realita.

Amartya mencontohkan India yang oleh Huntington dianggap sebagai simbol peradaban Hindu. Sejak pemilu 2004, jelaslah bahwa kelompok Hindu fundamentalis justru kehilangan popularitas. Negeri itu, Amartya mengingatkan, adalah saingan Indonesia dalam hal jumlah pemeluk agama Islam. Dan faktanya, ia dipimpin oleh presiden yang beragama Islam. Dan partai politik terbesar di India dipimpin oleh seorang penganut Kristen.

Untuk sementara begitu dulu. Saya tak bisa berlama-lama menulis posting ini. Maklum, internet di terminal 83 Narita ini bernilai 100 yen per 10 menit. Kebetulan, saya tinggal punya koin 214 yen.

Akhir kata, buku Amartya Sen yang ditulis dengan nada kocak dan humoris ini saya beli tahun lalu, sebelum berangkat ke Hawaii. Namun karena satu dan lain hal, baru kali ini sempat saya baca.

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

2 thoughts on “Ke Honolulu bersama Amartya Sen dan Identitas yang Mengada-ada”

  1. membaca tulisan-tulisanmu kini, sulit membayangkan seperti apa kau sekarang. karena yang terlintas dalam pikiranku tentangmu adalah anak lelaki berbaju seragam penggalang pramuka dengan sepeda bmx yang acap mengunjungiku saban minggu…kapan terakhir kita ketemu ya? good luck!

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s