From Narita With Love (MK yang Menolak Uji Materi Pasal-pasal Pencemaran Nama Baik dalam KUHP)

TIDAK terasa. Tiga bulan sudah berlalu. Dan seperti di bulan Mei yang lalu hari ini saya kembali duduk di Yahoo Cafe, di Narita Airport, Jepang. Well, 9.31 waktu setempat menurut penunjuk waktu di sudut kanan-bawah monitor. JAL yang saya tumpangi mendarat 1,5 jam lalu. Saya punya waktu 11 jam di bandara ini sebelum melanjutkan perjalanan ke Honolulu nanti sore.

Yahoo Cafe berada di bangunan utama Narita Airport. Jendelanya menghadap persis ke deretan terminal yang terpisah hanya beberapa puluh meter dan dihubungkan oleh kereta listrik. Di terminal 82, sebuah JAL sedang bersiap-siap untuk take off entah kemana. Sementara di terminal 84, di sebelahnya, Vietnam Airlines yang bertubuh biru sedang parkir, begitu juga dengan JAL lain dan Air India di terminal 86 dan 88.

Di luar sana, langit masih kelabu.

Cafe ini mempunyai dua ruang utama yang dipisahkan oleh dinding kaca polkadot ungu. Ada 30 komputer, Dell, di ruang utama cafe. Sementara ruang di sebelahnya yang digunakan untuk bersantai dilengkapi dua televisi layar lebar dan tiga set sofa oranye dan ungu.

11 jam di bandara sekelas Narita, sedikit membawa ingatan saya pada Viktor Navorski dari republik mimpi Krakozhia yang diperankanTom Hanks dalam film Terminal. Tak seperti Navorski yang sibuk mengumpulkan koin dari troli di JFK International Airport dan memelototi berita teve mengenai perkembangan politik di tanah airnya, dua hal yang saya lakukan setelah melapor ke loket connecting flight di Terminal 2 adalah mengunjungi toilet, lalu nongkrong di Yahoo Cafe.

Duh, terlalu banyak email yang tak terbaca selama “masa liburan” ini. Dari begitu banyak berita di inbox yahoo.com dan lycos.com, saya memilih email dari Item, aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak judicial review pasal-pasal pencemaran nama baik di KUHP yang diajukan jurnalis dan kolumnis, untuk diposting.

Adalah Risang Bima Wijaya, mantan Pimred Radar Jogja, dan seorang kolumnis Bersihar Lubis yang mengajukan gugatan agar pasal 310 ayat (1), (2), 311 ayat (1), 316, dan 207 KUHP mengenai pendemaran (pencemaran) nama baik dihapuskan. Pasal-pasal ini berpotensi ngaret alias menjadi pasal karet yang dapat mengekang kebebasan berpendapat. Selain AJI, Dewan Pers dan LBH Pers juga mendukung judicial review ini.

Dalam penolakannya MK menyatakan bahwa pasal-pasal 310, 311, 316, dan 207 KUHP mengenai “perlindungan bagi pejabat negara dari kejahatan pencemaran nama baik” masih layak dipertahankan.

Dalam emailnya, Item yang juga Koordinator Advokasi AJI Indonesia menyesalkan keputusan tersebut. Kata Item, dan saya juga setuju, keputusan MK ini “mencederai azas kesetaraan di depan hukum.”

“Putusan itu menunjukkan itikad MK untuk lebih melindungi reputasi dan nama baik pejabat negara daripada melindungi kebebasan berpendapat warga negara dan kemerdekaan pers yang sudah dijamin Konstitusi,” demikian Item.

Pada bagian akhir emailnya, Item juga menyertakan pernyataan senada yang disampaikan The International Federation of Journalists (IFJ).

Sayang sekali, selama “masa liburan” yang baru berlalu itu saya sama sekali tidak berkesempatan bertemu Item. Padahal saya dan Item sempat sms2an untuk mengatur pertemuan. Apa boleh buat, mungkin Desember yang akan datang.

Saya juga tidak sempat hadir ke persidangan di MK itu. Dua pekan terakhir sebelum meninggalkan Jakarta, saya (sedikit) sibuk mendampingi Profesor Nevy Soguk dari University of Hawaii yang sedang melakukan penelitian mengenai Islam Indonesia.

Padahal saya sempat bertemu Risang di Pena Resto di Graha Pena Jakarta, secara tak sengaja. Saat itu dia baru sekitar seminggu keluar dari LP di Jogjakarta. Risang adalah salah satu korban sifat ngaret pasal-pasal defamation itu.

Saya, Risang dan dua jurnalis yang juga pernah berurusan dengan pasal defamation itu bertemu pertama kali bulan Mei tahun lalu dalam sebuah seminar yang digelar AJI di Jakarta.

Dari empat orang yang membagikan pengalamannya dalam seminar itu, satu orang sudah dalam status incracht. Satu orang lagi, yakni Risang, sudah menyelesaikan “masa hukuman”. Satu lainnya sedang menjalani “masa hukuman” di balik terali besi di Medan. Dan yang terakhir sedang dalam perjalanan menuju surga dunia di tengah Pasifik.

Well, segitu dulu.

One Reply to “”

Leave a reply to anggara Cancel reply