
ILLUSION (Ilyushin Il-62) buatan Rusia milik Air Koryo, maskapai nasional Korea Utara, yang membawa saya dari Beijing, China, mendarat dengan mulus di Sunan International Airport, Pyongyang.
Gambar Kim Il Sung, yang hari itu, 15 April 2003, berulang tahun menyambut kami di puncak bandara. Ia meninggal dunia 8 Juli 1994. Tetapi bagi rakyat Korea, sang Great Leader pendiri Korea Utara itu tak pernah sungguh-sungguh mati meninggalkan mereka: dialah the Eternal President.
Tubuh Kim Il Sung yang dibalsem masih terbaring di Kumsusan Memorial Palace. Di hari kesekian, saya sempat mengunjungi Kim Il Sung dan istananya yang besar. Tapi cerita tentang itu nanti aja. Kapan-kapan ya.
Tim dari Departemen Luar Negeri Korea Utara menyambut saya di ruang imigrasi. Mereka membantu mengisikan berbagai dokumen keimigrasian yang hampir semuanya ditulis dengan aksara Korea, dan mempertemukan saya dengan tim dari KBRI di Pyongyang yang juga menunggu kehadiran saya di bandara.
Salah seorang dari penjemput itu adalah Pak Gatot Wilotikto, seorang eks-eksil Indonesia yang selama empat dasawarsa menetap di Korea Utara. Ia menyambut saya dengan senyum lebar. Kami berjabatan tangan. Cerita tentang Pak Gatot saya dengar dari Rachmawati Soekarnoputri, ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea Utara yang ikut memuluskan perjalanan saya ke negeri ini.
Di era 1960-an Pak Gatot termasuk mahasiswa Indonesia yang dikirim Bung Karno berlajar ke luar negeri. Setelah peristiwa Gestok 1965 , seperti kaum eksil lainnya, ia tidak dapat kembali ke tanah air. Pak Gatot menikah dengan wanita Korea, dan kalau tidak salah punya dua orang anak. Beberapa tahun lalu, ia akhirnya bisa kembali ke tanah air setelah bertemu Rachmawati di Pyongyang.
Sebelum keluar dari bandara, seorang anggota tim Deplu Korut meminta saya meninggalkan handphone. Katanya, ini protap. Pak Gatot yang berdiri di sebelah saya mengangguk. Well, kalau begitu (ketika itu) simcard kartu Mentari saya amankan dulu.
Saya pun diminta ikut tim Deplu Korut. Itu juga bagian dari protap, karena kehadiran saya di Pyongyang atas undangan pemerintah Korut. Tiga orang menemani saya di mobil mercy merah darah. Seorang penerjemah Inggris-Korea yang duduk di sebelah kiri saya, pemimpin rombongan di sebelah supir, dan sang supir yang sepanjang jalan, bahkan sampai saya meninggalkan Pyongyang lebih banyak menutup mulut.
Di depan kami mobil tim Deplu Korut lainnya membuka jalan, sementara mobil tim KBRI mengikuti di belakang.
Rombongan berjalan beriringan menuju Hotel Haebangsan (namanya saya ketahui belakangan), beberapa blok dari Kim Il Sung Square. Sepanjang jalan, saya memuaskan diri menatap-natap pemandangan di kota ini, jalan yang lebar dan bersih, gedung-gedung yang menjulang tinggi, bunga-bunga yang sedang berkembang, keluarga yang menikmati musim semi di taman kota, dan anak-anak mereka yang sedang bermain bola. Poster-poster dan spanduk-spanduk propaganda, serta deretan bendera Korea Utara. Polisi lalu lintas di setiap persimpangan.
Semua lampu lalu lintas di persimpangan jalan Pyongyang padam. Hanya seorang polisi yang disiagakan, dengan tongkat kecil di tangan kanan, hadap kanan, hadap kiri, dan balik kanan, menentukan jalur mana yang boleh melintas, dan jalur mana yang harus berhenti.
Krisis energi telah membuat pemerintah Korea memadamkan untuk sementara traffic system di Pyongyang, kata penerjemah saya. Namanya Kim, dan saya lupa Kim apa. Sementara si ketua rombongan, yang duduk di depan, pun bernama Kim dan saya juga lupa Kim apa, lebih banyak diam. Hanya satu dua kali dia mengajukan pertanyaan tentang perjalanan saya di China sebelum ke Korea Utara, juga tentang teman-temannya di Jakarta.
Saya jawab, perjalanan saya di Beijing dan Guangzhou baik-baik saja, dan teman-temannya di Jakarta pun baik-baik saja.
menarik sekali..
kapan saya bisa kesana ???
tapi hp nya bisa diambil lagi gak MAs? cerita badan kim ilsung yang dibalsem jangan kelamaan…
🙂
foto yang dijepret sendiri nggak ada yaa
Di gambaran benak saya korea itu negara yg maju.. jauh lebih maju dari Indonesia.. tapi ternyata masih sama saja terkena problem energy listrik.
@iman brotoseno
pulang dari korut saya menuliskan laporan berseri, tujuh kali kalau gak salah (bisa dilihat di 2003 KOREA UTARA). tetapi itu belum semua. masih banyak hal unik lain yang saya belum pernah tuliskan, termasuk pengalaman di bandara ini, atau saat saya melihat jenazah kim il sung di istananya.
saya tak sempat menuliskan hal-hal lain, karena sekitar dua minggu setelah sampai jakarta saya menikah. di pernikahan saya juga ada cerita seru lagi yang berkaitan dengan korut dan korsel.
anyway, saya doakan agar suatu hari nanti mas bisa ke korut, dan bikin film dokumenter yang menarik tentang korut. sejauh ini yang telah menuliskan cerita tentang korut adalah seno gumira ajidarma. saya lupa judul bukunya, tapi novel itu terinspirasi dari perjalanannya ke korut.
@putra
terima kasih, akan saya ingat untuk cepat2 menulis tentang kunjungan ke istana kim il sung.
@anggara
nah, tahun 2003 itu saya sama sekali gak punya kamera, apalagi kamera digital. yang saya bawa adalah kamera saku, foto film analog, dapat pinjam dari seorang teman. hehehe, maklum kere…
di china, saya sudah jepret-jepret, menghabiskan banyak rol. rol terakhir yang saya bawa ke pyongyang tinggal setengah. setelah rol terakhir dari jakarta ini habis, saya beli foto film di pyongyang. lalu jepret-jepret lagi. di korut bebas motret kok. yang gak boleh hanya di dalam istana kim il sung.
pulang ke indonesia, semua foto film ini saya cuci, dan hasilnya (yang saya beli di pyongyang) menyedihkan. mungkin film kodak itu stok lama, jadi barangnya rusak semua. buram dan baret-baret. beberapa masih bisa diselamatkan.
dalam tulisan di atas, foto istana kim il sung dan tempat kelahiran kim il sung, adalah hasil dari foto di pyongyang. untuk menutup kerusakannya yang parah sekalian saya gunakan efek old picture ala photobucket.
ada beberapa foto lagi, hasil jepretan kamera saku itu, yang akan saya tampilkan setelah ini. beberapa hari lalu saya ketemu blog yang isinya foto-foto di pyongyang. luar biasa.
kalau saya punya kesempatan kembali ke pyongyang, wah saya jepret habis tuh kota…
@ray
dari konteks pembangunan ekonomi, korea utara jelas tidak seburuk yang digambarkan media-media barat, khususnya amerika. ada kemiskinan dan ada kelaparan sudah pasti. tetapi tidak seburuk propaganda amerika. bagian ini pun menarik untuk ditulis sebenarnya.
negara itu mengalami krisis listrik sejak lama. lampu kamar saya di hotel haebangsan jauh dari terang. tidak nyaman dipakai untuk membaca. mungkin hanya 25 watt (?). air panas di kamar mandi juga hanya dalam jam tertentu. koridor di hotel gelap bila malam. jalanan pun gelap.
mereka mengembangkan nuklir untuk pembangkit tenaga listrik. sebagian lainnya, mungkin untuk pertahanan diri dari serangan amerika.
tetapi di media barat kan ceritanya terbalik: korea utara membangun rudal berhulu ledak nuklir yang dapat menjangkau pantai timur amerika (new york dan washington).
saya jadi ingat, bagaimana thaliban di afghanistan dan saddam hussein di irak digambarkan sebagai sosok yang begitu kuat, sebelum disikat habis.
saya menduga, kalaupun negara-negara non-NATO (plus rusia) bergabung untuk menyerang, amerika serikat masih dapat menahan serangan itu. ini untuk memperlihatkan betapa kuatnya amerika serikat.
pun begitu, tetap mereka membutuhkan justifikasi masyarakat global sebelum menghancurkan kekuatan lawan. caranya adalah dengan menggambarkan betapa kuatnya thaliban, saddam hussein (yang sebetulnya mereka persenjatai sejak dia naik di tahun 1979 hingga akhir perang iran-irak tahun 1988).