Menuju Korea Utara

LIMA tahun lalu, saya tiba di Pyongyang. Tanggal 15 April 2003, bersamaan dengan hari ulang tahun Kim Il Sung, sang pendiri the hermit kingdom, Republik Demokratik Rakyat Korea yang dikenal dengan Korea Utara.

Ini perjalanan yang sudah lama saya idam-idamkan.

Sejak bulan Januari saya sudah berdiksusi dengan Ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea Utara Rachmawati Soekarnoputri mengenai perjalanan ini. Rachma, yang beberapa bulan kemudian mendirikan Partai Pelopor dan kini menjadi salah seorang anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), menyambut baik dan berjanji akan memperkenalkan saya kepada kontak-kontaknya di Kedutaan Besar Korut di Jakarta, KBRI di Beijing, juga pihak-pihak lain di Pyongyang.

Ia terakhir kali ke Korea Utara tahun 2001.

“Kalau jadi ke Pyongyang, jangan lupa lihat pohon persahabatan yang saya tanam waktu itu,” kata salah seorang putri Bung Karno ini.

Saya pun mengajukan permohonan visa ke Kedubes Korea Utara, dan Kedubes China di Jakarta. China adalah satu-satunya pintu masuk ke Korea Utara.

Keinginan berangkat ke Korea Utara semakin kuat setelah Presiden George W. Bush, dalam pidato politiknya akhir Januari kembali menuding Korea Utara, Irak dan Iran sebagai axis of evil atau poros kejahatan. Tudingan serupa telah disampaikannya bulan Oktober 2002.

“North Korea is a regime arming with missiles and weapons of mass destruction, while starving its citizens. Iran aggressively pursues these weapons and exports terror, while an unelected few repress the Iranian people’s hope for freedom. Iraq continues to flaunt its hostility toward America and to support terror. The Iraqi regime has plotted to develop anthrax, and nerve gas, and nuclear weapons for over a decade… States like these, and their terrorist allies, constitute an axis of evil, arming to threaten the peace of the world.” (Bush, January 29, 2003)

“Ya, Korea Utara nih,” pikir saya.

“Mengapa bukan Irak yang sudah jelas di ambang perang,” tanya beberapa teman.

“Semua orang pergi ke Irak. Saya pergi ke tempat yang banyak orang tak mau memikirkannya,” jawab saya.

Tetapi sampai pertengahan Februari visa Korea Utara tetap tak pasti.

Sementara Irak sudah semakin terdesak.

Adapun di Jakarta, pemerintahan Megawati Soekarnoputri sedang dirudung hujan demo, hampir setiap hari. Tarif dasar listrik (TDL), tarif telepon, dan harga BBM naik di saat bersamaan.

Perhatian saya terpecah dua: mengamati perkembangan politik di tanah air, dan kemungkinan perang di Timur Tengah, sambil sekali-kali melirik Korea Utara.

Dan, ini juga penting, rencana pernikahan saya dengan calon istri tercinta semakin mendekati hari H.


“Waktu habis. Kita butuh seseorang di Timur Tengah sekarang,” kata pimpinan saya.

“Baik. Saya akan pergi lewat Suriah,” jawab saya.

Begitulah. Maka saya terbang ke Damaskus. Sementara sejumlah wartawan Indonesia memilih mengunjungi Jordania yang di tahun 1991 memang menjadi pintu masuk ke Irak. (Bersambung)

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

3 thoughts on “Menuju Korea Utara”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s