RENCANA Sukarno menggelar sidang Komando Operasi Tertinggi (KOTI) tanggal 14 Maret 1966 gagal total. Seperti beberapa hari sebelumnya, tanggal 11 Maret 1966, Istana Merdeka kembali dikepung oleh pasukan pendukung Soeharto dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang sekarang dikenal dengan nama Kopassus.
Tadinya dalam rapat yang urung digelar itu Sukarno bermaksud menjelaskan posisi dan arti Surat Perintah 11 Maret 1966 yang diberikannya kepada Soeharto. Dia juga bermaksud mengklarifikasi kabar yang menyebutkan pasukan Soeharto, dengan menggunakan SP 11 Maret, telah melakukan penangkapan terhadap sejumlah menteri. Laporan tentang penangkapan menteri ini disampaikan oleh menteri transmigrasi yang juga rektor Universitas Bung Karno (UBK) dan anggota Tim Epilog, Muhammad Achadi.
Note: Foto pinjam dari TIME
Begitu mengetahui rumahnya juga diduduki oleh pasukan pendukung Soeharto, Achadi yang sehari-hari dikawal oleh Resimen Pelopor (Menpor) Polri, mendatangi rumah menteri/panglima angkatan kepolisian Irjen Sutjipto Judodihardjo untuk mendapatkan penjelasan mengenai apa yang terjadi.
Mendengar laporan tentang penangkapan menteri, Sutjipto Judodihardjo lalu menyarankan agar Achadi menemui Sukarno keesokan harinya di Istana Merdeka.
Begitulah, kata Achadi pada suatu sore dua pekan lalu di Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat. Dia pun mengikuti saran Sutjipto dan melaporkan penangkapan-penangkapan itu kepada Sukarno keesokan harinya.
Sukarno yang sehari sebelum itu mendapatkan laporan berbeda dari Soeharto, meminta agar Achadi tidur di guest house Istana Merdeka. Dia juga meminta agar Achadi memberikan laporan dalam rapat KOTI keesokan hari. Kata Bung Karno, Soeharto pun akan hadir dalam rapat itu.
Tetapi, seperti yang telah diceritakan di atas, rapat itu gagal digelar. Istana Merdeka kembali dikepung oleh pasukan pro Suharto. Sementara Bung Karno, merasa dirinya berada dalam ancaman, meminta Komandan KKO Mayjen Hartono mengawalnya ke Istana Bogor.
Menurut cerita Achadi, Soeharto sempat mendatangi Bung Karno dan meminta agar Bung Karno tetap tinggal di Istana Merdeka. “Keadaan di luar tidak aman,” begitu kata Soeharto seperti ditiru Achadi.
Tetapi Bung Karno yang sudah curiga dengan keadaan tak menggubris kata-kata Soeharto. Dia tetap melangkah ke luar menuju mobil yang akan membawanya ke Bogor.
Di halaman Istana Merdeka, menurut informasi yang diperoleh Achadi kemudian dari Pak Parto, supir Bung Karno, hampir saja terjadi bentrokan antara pasukan KKO dengan RPKAD.
Begitu melihat mobil Sukarno hendak meninggalkan halaman, sekelompok tentara pro Soeharto dengan senjata dalam posisi siaga mendekat hendak menghentikan laju mobil. Namun mereka memilih mundur setelah tahu bahwa Komandan KKO Hartono juga ikut mengawal Bung Karno.
“Kalau Bung Karno disikat, Hartono pasti akan melakukan action. Dia punya satu kompi yang bersiaga di silang Monas,” cerita Achadi.
Sementara itu, melihat Bung Karno meninggalkan Istana Merdeka, Achadi juga tak mau tinggal berlama-lama di Istana yang sudah terkepung. Dia memilih segera menghindar.
Dengan pengawalan Menpor, Achadi mengikuti rombongan Bung Karno ke Bogor. Tetapi karena Istana Bogor juga dikepung tentara, Achadi memilih melanjutkan perjalanan ke markas Menpor di kawasan puncak.
“Di tempat itu saya menunggu langkah Hartono menghalang-halangi gerak pasukan Soeharto, seperti yang diperintahkan Bung Karno. Tapi kan kita akhirnya tidak bisa ngapa-ngapain,” kata Achadi lagi.
Keesokan harinya, 15 Maret 1966, Soeharto resmi mengumumkan penangkapan menteri-menteri yang dituding terlibat dalam peristiwa pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira muda Angkatan Darat, dinihari 1 Oktober 1965.
Saya kira itulah pergumulan politik. Di kancah politik memang tidak pernah mengenal kawan. Saya memang pernah menyatakan bahwa selaku Menhankan/Panglima ABRI bahwa ABRI berjanji menjaga, melindungi, dan mengamankan Mantan Presiden Repulik Indonesia termasuk Mantan Presiden Soeharto, anak-anak, dan keluarganya. Bagaimana pun juga saya telah dibesarkan olehnya. Harus saya akui dengan sejujur-jujurnya dari hati nurani saya yang paling dalam bahwa saya kaya raya tujuh keturunan karena bantuan Mantan Presiden Soeharto. Dus, sekalipun saya sekarang sudah tidak lagi menjabat Menhankam/Panglima ABRI namun saya tetap konsisten dengan sumpah saya untuk menjaga, melindungi, dan mengamankan Mantan Presiden Soeharto beserta anak-anak, dan keluarganya. Demikian, Maturnuwun semuanya.
buat pembaca lainnya, menurut saya komentar di atas disampaikan oleh BUKAN jenderal purn wiranto.
terimakasih
bisa dipastikan begitu,mas.gak logis blas.
btw,materinya menarik2.saatnya sangat mendesak untuk segera melakukan pelurusan sejarah.kelamaan untuk menunggu statemen resmi dari pemerintah,kita aja yang menebar wacana.
maturnuwun
soekarno telah berjasa bagi negeri ini bahkan jauh sebelum ia menjabat presiden, perjuangan dan pengorbanan serta cinta tulusnya kepada bangsa indonesia tidak dapat dibantah, hal ini sangatlah bertentangan dengan penerusnya soeharto yang telah tega-teganya membunuh satu hingga tiga juta bangsanya sendiri demi memuluskan langkahnya guna menjadi presiden yang korup
Sebenarnya, Soeharto itu berkepala dua. hal ini dilakukannya pada saat G 30 S itu.
saya sendiri tidak mengatakan ada PKI di belakng G30s namun Soeharto aja yang kasih masuk kata PKi tersebut. salam sama cucuku Wiranto. udah besar ya naak dan gimana Hanura mu sekarang
Gejolak dari setiap aktivitas politik di manapun selalu berdampak positif dan negatif. Kedua bentuk dampak ini selalu dipegang teguh masing-masing pihak, hanya saja versinya sama: sama-sama merasa benar sendiri. Hanya masyarakat kebanyakan saja yang memandangnya positif atau pun negatif. Sedangkan pihak yang bertikai atau mempunyai kepentingan pribadi pasti merasa benar sendiri-sendiri sehingga merasa harus mengalahkan orang lain yang menghalangi keinginannya.
Begitupun dengan peristiwa maha besar dengan istilah G30S. Sangat diyakini bahwa didalam pergerakan itu ada terselip maksud individu tertentu pula yang secara bersamaan muncul peristiwa luar biasa yang dapat memicu keinginan untuk segera tercapai. Sehingga apapun kendalanya akan dihadapi meskipun harus menelan korban jiwa. Itulah kondisi politis dari setiap insan politik dari dulu hingga saat ini.
Oleh sebab itulah secara pribadi saya tertarik untuk memasuki kancah perpolitikan meskipun saya harus memulainya dari sebuah provinsi yang sunyi, Jambi. Saya tertarik bergabung dipartai yang baru didirikan oleh Mantan Menpangab: Wiranto. HANURA dengan nama besarnya, dan saya memimpin Partai Hanura di Kecamatan Jambi selatan Kota Jambi. Juga terlibat arus kepentingan berpolitik di Kota Jambi, dan sepertinya saya menikmatinya.
Ada perdebatan, ada kepentingan orang per orang dan saya mempelajarinya dengan seksama. Di Hanura ini saya belajar berpolitik, dan Hanura adalah partai pertama dimana saya melibatkan diri dengan sadar dengan suatu tujuan ingin memajukan kepentingan rakyat di lingkup yang saat ini saya pimpin, Kecamatan Jambi Selatan. Namun dengan suatu cita-cita kelak ingin turut berkiprah dipanggung nasional juga tetap bersama Hanura.
Peristiwa-peristiwa politik masa lalu telah mempengaruhi pola pikir, setidaknya untuk saat ini. Hidup Hanura, Maju Hanura Jaya Hanura. Sejahtera bangsa dan rakyatku…..
sugimin menpor mati atw msh hidup
dengar cerita dr teman2 papa (sugimin) pd thn 1976 papa di over ke timor2 utusan menpor sebelumnya papa pegang koprasi di menpor setelah itu lepas komunikasi tiba2 ada kabar papa gugur di timor2 smpe skrg tdk ada kabar ,
bela demi kebenaran ,