Oleh: Harsutejo
“Suharto Sehat”, begitulah judul unik sebuah buku yang diterbitkan oleh Galangpress, Yogyakarta, 2006, 296 halaman. Buku itu merupakan kumpulan tulisan sejarawan dan penulis yang sudah kita kenal: Asvi Warman Adam, Baskara T Wardaya, George Junus Aditjondro, Hersri Setiawan, Islah Gusmian, dan Mudhofir Abdullah yang dijelururi benang merah “Suharto sehat wal afiat dengan seluruh pelanggaran HAM, penjarahan kekayaan rakyat Indonesia dan segala macam kejahatan rezimnya yang dilakukan selama 32 tahun,” bahkan dalam berbagai aspeknya masih berlanjut sampai kini tanpa tersentuh hukum.
Benar sekali adagium yang menyatakan sejarah ditulis oleh sang pemenang. Demikianlah sejarah “resmi” yang dipelajari anak-anak sekolah yang terpaksa diajarkan oleh para guru, Sejarah Indonesia, Sejarah Pemberontakan G30S/PKI, Sejarah Kehebatan ABRI dan Jenderal Suharto, termasuk dalam kehebatannya menyerbu negara lain, Timor Timur. Tidak ada sejarah yang lain. Dalam kenyataannya sejarah rezim militer Orba merupakan sejarah kekerasan dan korupsi yang dipatok menjadi budaya kekerasan dan budaya korupsi yang dewasa ini kita warisi.
Romo Baskara menekankan perlunya sejarah ditulis kembali. Disebutkan bahwa ketika kemerdekaan direbut dan dipertahankan pada mulanya [seperti pertempuran Surabaya], tentara resmi belum terbentuk. Sementara Peristiwa 3 Juli 1946 [penculikan PM Syahrir], Peristiwa 17 Oktober 1952 [tentara mengerahkan demo dengan moncong meriam ke arah Istana Merdeka, dipimpin Kemal Idris, di belakangnya Nasution], pemberontakan PRRI dst, semuanya dilakukan tentara resmi. Di pihak lain adanya prestasi pemerintahan sipil dalam mengadakan Pemilu 1955, pemilu demokratis pertama 10 tahun setelah kemerdekaan tak begitu dilongok.
Mudhofir Abdullah menyoroti ideologi Orba yang dibarengi dengan sensor ketat pihak militer yang membuat Suharto dan rezimnya menjadi kekuatan mirip Kitab Suci, Suharto telah menjadi Pancasila itu sendiri yang ditopang para cendekiawan yang telah dibelinya. Telah terjadi kooptasi besar-besaran ulama oleh pemerintah, terjadi perselingkuhan antara penguasa dan para ulama. Dalam hubungan dengan Pancasila, Hersri Setiawan merekam praktek Pancasila Orba sebagai yang dialami kaum tapol sbb:
Pancasila
Satu: Ketuhanan yang berbintang [bintang di pundak]
Dua: Kemanusiaan yang dirantai
Tiga: Persatuan di bawah pohon beringin
Empat: Kerakyatan yang dipimpin oleh kerbau
Lima: Keadilan sosial di kuburan
Menurut George Junus Aditjondro, pada 1998 Suharto jatuh di atas kasur empuk, Golkar dan militer yang merupakan basis kekuatannya tidak dipreteli kekuasaannya. TNI tetap merupakan kekuataan politik riil. Pakar masalah korupsi ini menyoroti kekayaan keluarga Suharto dengan seluruh jarahannya [Kerajaan Cendana dengan kekayaan 15-35 miliar dollar AS] serta kroninya justru terus bertambah. Setiap mie instan yang kita makan, termasuk oleh para aktivis demo, setiap gelas air kemasan merek tertentu yang kita minum,dan setiap kondom merek tertentu yang terpakai, semuanya membuat lebih kaya Kerajaan Cendana yang belalainya merambah ke segala hajat kehidupan rakyat. Bahkan ketika Tommy dan Bob Hassan berada di penjara Nusakambangan, mereka tetap mengembangkan bisnis dengan melibatkan para sipir penjara dan sesama narapidana. Hebat bukan?
Sudah dalam buku ini sejarawan Asvi Warman Adam dari LIPI menyoroti perbedaan perlakuan terhadap dua orang pasien, mantan Presiden Sukarno dan mantan Presiden Suharto ketika yang kedua ini masuk RSPP pada Mei 2006. Sudah begitu tersohornya diskriminasi yang diberlakukan terhadap keduanya yang hari-hari ini pun kita saksikan sendiri. Pendeknya terhadap BK ketika itu tidak berlebihan jika disebut “dibunuh perlahan-lahan”.Betapa tidak? Suatu kali BK dirawat seorang dokter hewan, dibantu seorang Kowad yang bukan perawat, dilarang ditengok keluarganya, tempatnya di Wisma Yaso [kini Museum Satria Mandala] penuh laba-laba, kecoak dan tikus, kotor dengan lampu redup, tak boleh keluar rumah, tidak boleh membaca koran dan majalah, tidak ada pengobatan memadai, bahkan disebut dengan fasilitas gakin (keluarga miskin). Apa kalau bukan dibunuh pelan-pelan?
SUHARTO SEHAT, SUHARTO MASIH SAKTI.
Bekasi, 25 Januari 2008.-
sebuah bangsa yang makin lama makin tidak menarik ..
( tidak mencoba apatis saja )
Mari membangun dengan kata dan berusaha mengapresiasikan laku sejarah yang terus menarik paska Suharto