KEMARIN, hari Sabtu 15 Juli adalah ulang tahun pertama anakku yang kedua, laki-laki, namanya Timur Muhammad Santosa.
Ulang tahunnya digelar sederhana saja. Istriku hanya mengundang beberapa keluarga dekat kami. Lalu Timur mesti potong kue dan meniup lilin. Dan karena dia belum bisa, maka yang melakukan kedua hal itu adalah kakaknya, yang selalu menyimpulkan bahwa keramaian apapun yang digelar di rumah kami selalu berkaitan dengan dirinya. Itu juga sebabnya, beberapa hari sebelum syukuran kepada para undangan istriku mengingatkan agar jangan lupa membawa dua kado. Satu buat Timur, dan satu buat kakaknya. Semua orang paham maksud permintaan khusus ini.
Tahun lalu, dokter memperkirakan Timur akan lahir di tanggal yang sama dengan tanggal kelahiranku. Tetapi karena posisi janin yang sulit, akhirnya Timur dilahirkan lewat bedah. Jalan ini juga dilakukan karena baru dua tahun sebelumnya, istriku melahirkan anak pertama kami, Farah Shafa Kinanti Santosa. Kata dokter agak riskan bagi wanita yang melahirkan lewat bedah caesar untuk melahirkan kembali dalam waktu yang relatif singkat. Beberapa mengatakan, setidaknya dibutuhkan waktu tiga tahun untuk mengembalikan kekuatan jaringan luar rahim wanita yang dicaesar sebelum melahirkan kembali dengan cara normal, atau dengan cara caesar juga. Ada juga yang bilang dibutuhkan waktu empat sampai lima tahun untuk kembali melahirkan dengan cara normal.
Beberapa orang tua yang percaya dengan hal “yang enggak-enggak” ikut memberikan masukan menjelang kelahiran Timur. Menurut kelompok pertama, tidak bagus kalau anak lahir di tanggal yang sama dengan tanggal kelahiran ayahnya. Karena, kalau tidak membuat salah satu dari keduanya berumur pendek, maka mereka tidak akan harmonis.
Orang-orang tua yang lain membantah. Kata kelompok orang tua yang ini, hal itu (“yang enggak-enggak” tadi) hanya berlaku untuk kelahiran yang sama menurut penanggalan Jawa. Mereka bilang aku tak perlu khawatir, karena toh kami bukan keluarga Jawa. Aku berdarah Karo, dan istriku Banten. Perdebatan dua kelompok orang tua ini hanya kami dengarkan.
Tapi aku punya teman baik di Medan. Dia lahir di tanggal yang sama dengan tanggal kelahiran ayahnya. Dan menurut cerita, setahun setelah temanku ini lahir, ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Entah bagaimana, vespa laki-laki malang itu ditabrak oleh kendaraan lain. Dan dia bukan orang Jawa. Marganya Harahap.
Wallahualam bi sawab. Hukum alam hanya Dia yang bisa menjawab. Di luar itu, aku dan istri sepakat bahwa usia manusia tidak ditentukan oleh tanggal lahir. Begitu juga dengan hubungan harmonis orangtua dan anak.
Singkatnya, Timur lahir. Dan aku harus membisikkan azan di telinga kanannya.
Nama Timur sudah lama aku pikirkan. Jauh sebelum aku bertemu dengan istriku. Tadinya “timur” aku gunakan sebagai nick name untuk menggambarkan aku adalah orang timur.
Pertama kali aku menggunakan kata timur untuk alamat e-mailku di yahoo.com. Kala itu 1999, aku sedang jadi mahasiswa tamu di National University of Singapore. Setelah itu aku menggunakannya untuk alamat e-mailku di hotmail.com, lalu di lycos.com (d/h mailcity.com), dan terakhir di plasa.com.
Timur bagiku adalah sebuah kata kunci untuk masuk ke alam pikiranku, cara pandangku, dan seterusnya. Timur bukan sekadar lawan arah mata angin barat, misalnya. Timur bisa dimana saja. Dia bisa diletakkan di atas yang sekarang “dikuasai” oleh utara, atau di bawah yang “dikuasai” oleh selatan, atau di kiri yang “dikuasai” oleh barat.
Timur juga bukan sekadar lawan dari barat bila diandaikan timur adalah dunia yang serba terbelakang, anti-demokrasi, jumud; sementara barat adalah dunia yang serba modern, hi-tech, demokratis, open minded.
Timur bukan sekadar Islam, dan tanah dimana agama itu tumbuh subur (dari Afrika Utara sampai ke Asia Tengah dan Asia Tenggara) yang berhadapan dengan barat yang non-Islam dan menguasai dunia saat ini.
Timur bukan alat gerakan untuk memenuhi jebakan-kuasi-teori para orientalis yang percaya dengan clash of civilization. Timur adalah beyond all of those things.
Lalu aku berkenalan dengan timur yang lain.
Tahun 2001 aku ke Uzbekistan, menjelang serangan terbuka yang dilancarkan Amerika, Inggris dan sekutu mereka terhadap Thaliban dan Al Qaeda di Afghanistan.
Kala itu, Uzbekistan baru 10 tahun merdeka dari Soviet Union. Bila selama 70 tahun di bawah kekuasaan Soviet Union, orang Uzbek mengadopsi semua hal yang berbau Merah, mulai dari bahasa, budaya, sikap politik, sistem ekonomi komunal, hingga pahlawan-pahlawan nasional, juga vodka; maka setelah merdeka Uzbek berusaha keras menghidupkan kembali nilai-nilai Uzbek. Ya bahasa, sikap politik, “demokrasi ala Islam Karimov”, sistem ekonomi pasar (yang kala itu masih diterapkan dengan cara yang canggung), juga pahlawan nasional yang Uzbek banget. Kalau vodka masih dipertahankan.
Mereka “memilih” Amir Timur yang di pertengahan abad ke-14 pernah berkuasa di seluruh Asia Tengah, melintasi Eropa Timur dan Rusia, hingga India, sebagai bapak bangsa.
Patung Amir Timur menggantikan patung Stalin dan Lenin. Wajah Amir Timur juga dicetak di setiap lembar uang syum.
Babak Amir Timur adalah salah satu babak besar dalam sejarah umat manusia. Jauh sebelum orang Eropa sampai pada revolusi industri, orang-orang Mongol (keturunan Attila dan Jenghis Khan) telah menyuburkan benua Asia.
Tetapi karena Amir Timur bukan sejarah Eropa, maka perannya, sebagaimana peran tokoh-tokoh Asia lainnya di masa lalu, juga tokoh-tokoh lain non-Eropa, dikecilkan. Apa boleh buat, dunia hari ini adalah dunia Eropa, mulai dari cebok sampai mau cebok lagi.
Begitulah. Konsep timur menjadi lebih kompleks dan rumit di benakku menjelang kelahiran Timur.
Tetapi apapun itu, aku berharap Timur, anakku, akan menjadi dirinya sendiri suatu hari nanti.
Satu lagi. Tanggal 19 Juli, di hari ketika istriku keluar dari rumah sakit setelah melahirkan Timur, aku justru dikirim ke LP Cipinang oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Hari itu, Cyber Crime Unit Polda Metro Jaya melimpahkan kasusku ke Kejati DKI Jakata. Polisi menjadikanku terdakwa penghina Nabi Muhammad. Cerita tentang hal ini bisa dilihat di google.com, atau teguhsantosa.com bagian On Trial.
Aku diperiksa polisi mulai bulan Mei. Lalu pemeriksaan berhenti sepanjang Piala Dunia 2006. Usai Piala Dunia, berkas kasusku dilimpahkan ke Kejati DKI.
Di pagi hari itu, aku ke rumah sakit melihat istriku dan Timur. Kukatakan bahwa aku akan ke Kejati DKI. Mungkin sekali aku akan ditahan. Jadi kuputuskan tidak bawa mobil, melainkan naik ojek.
“Everything will be ok,” I told her.
She replied, “I believe in you. Just take care. And come home after you finished everything out there.”
(Kami bicara pakai bahasa Indonesia. Kira-kira begitu bunyinya kalau diterjemahkan ke bahasa Inggris).
Lalu pergilah aku ke Kejati DKI. Setelah berjam-jam menunggu, sore hari si JPU memanggilku ke kantor ruang tahanan Kejati DKI.
“Pak, Anda mesti kami tahan,” katanya.
Aku menghela nafas. Di sebelah kiriku duduk Sahroni, pengacara baik hati yang mendampingiku.
“Mana surat yang harus saya tandatangani,” tanyaku.
Dia, Pak JPU itu, menyodorkan seberkas surat penahanan. Enam lembar, dan kutandatangani dengan cepat. Setelah itu aku menuju ke arah mobil tahanan, sebuah kijang tua berwarna hijau tua.
To be Continued…
Selamat yaa timur, semoga menjadi anak yang berguna bagi seluruh umat manusia
iya oom. terima kasih atas doanya… ayah udah bisa masukin foto nih. kemajuan luar biasa. gak sia-sia liburan ke hawaii. hahaha
wah, selamat ulang tahun ya Timur. semoga kalau udah besar bisa jadi seperti Timurleng atau Mahatir Mohammad atau ayah, Teguh santosa (konon nama Timur berasal dari tiga nama orang hebat).
Padahal di tahun 2000, ketika aku berkenalan dengan dunia maya, aku juga pakai nama timur. akhirnya setelah Timur yang aseli muncul ke muka bumi, Timur yang tahun 2000 akhirnya pindah nama. hehehe
(yang ada juga pindah rumah, lucu ya).
Sekali lagi, selamat ya ultah ya Timur, semoga bisa menjadi penjaga keluarga. (kayak ayahnya).
@timur
ayahmu itu gimana sih, belajar masukin foto aja pakai harus ke hawaii, ha…ha….ha….
Ass, wr wb. Watauuuuuu ada yang ultah dong… Celamat yaw. Hehehehe semoga tercapai cita-citamu asal berusaha and berdoa. Jangan bandel. Kalau ngelawan ortu alasannya harus jelas. Wakakaka. Advise for Pak Guh, cari duit yang banyak biar bisa boyong keluarga ke negeri Killi-Killi, Kullu-Kullu. Udah friend, met berjuang di negeri orang. Semoga Indonesia makin baik ketika ente pulang. Amien.
Wowww Guh! Amazing story you have here…
I can’t imagine how i’m suppose to do dealing with that kind of situation…
Long Live Timur…!