Setahun Lumpur Lapindo

Siaran Pers Indonesian Center for Environmental Law

“Wujud Gagal Penanganan Semburan Lumpur Lapindo”

Jakarta, 29/Mei/2007. Hari ini tepat 1 tahun usia peristiwa semburan lumpur panas yang terjadi di wilayah pengeboran sumur Banjar Panji, Porong, Sidoarjo,  milik Lapindo Brantas Inc (LBI). Tak dapat dipungkiri, selama ini perkembangan penanganan semburan lumpur, baik dari segi hukum maupun sosial belum menunjukkan hasil signifikan. Fakta menunjukkan bahwa buruknya model penanganan yang dilakukan selama ini telah menuai dampak meluas dan bencana besar. Tidak hanya itu, jumlah korban pun telah mencapai lebih dari 32.360 Jiwa.

Terbukti, sekian upaya penanganan baik itu penanganan teknis maupun penanganan sosial selalu GAGAL. Dengan adanya Keppres 13 tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo, kemudian disusul Keppres No 5 tahun 2007 tentang Perpanjangan Masa Tugas Tim Nasional penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo dan akhirnya Perpres 14 tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, telah menunjukkan bahwa sebenarnya Pemerintah tidak menangani upaya ini secara serius. Hal ini terlihat dari pemilihan komposisi personal yang tidak imbang dan fungsi koordinasi Tim yang sulit di lakukan secara efektif, serta tidak adanya perencanaan strategis dalam upaya penanganan. Hal ini dapat dilihat dari tindakan Tim yang hanya memfokuskan pada tindakan menahan laju lumpur tetapi bukan menangani dampak lumpur secara luas baik terhadap masyarakat maupun secara ekologis.

Selain itu, kami melihat belum ada upaya hukum yang memadai dari aspek penegakan hukum terhadap kasus ini. Beberapa catatan yang penting untuk ditinjau ulang, yaitu: Pertama, tidak adanya persepsi dan pemahaman yang sama antara pihak kejaksaan dan kepolisian dalam hal penyidikan tindak pidana, mengakibatkan LAMBATNYA upaya hukum pidana untuk membuktikan kesalahan dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan LBI pada waktu pengeboran.

Kedua, salah kaprah pemahaman ganti rugi yang diberikan kepada warga korban, mengakibatkan hilangnya hak warga atas hak milik dan hilangnya kedaulatan negara atas tanah yang didalamnya masih terdapat kandungan sumber daya alam. Salah kaprah ini berupa, penanganan pengungsian yang tidak layak sampai pada tindakan JUAL BELI tanah dan bangunan warga korban.

Ketiga, belum ada upaya penegakan hukum terhadap hukum lingkungan seperti:
1. Adanya cacat hukum dalam dokumen UKL/UPL yang dimiliki oleh  LBI karena secara materil tidak dapat menilai dan mengukur dampak  lingkungan yang diakibatkan dari usaha pengeboran dan secara formil tidak melalui proses yang layak dan memadai.

2. Adanya kelalaian Pemerintah, dalam hal ini instansi yang berwenang untuk melakukan pengawasan atas kaidah keteknikan yang baik, kelayakan peralatan dan kapasitas operator/sub kontraktor dalam proses pengeboran.

3. Adanya kesengajaan pihak pengusaha dalam hal ini LBI, melakukan perusakan terhadap lingkungan yang kegiatan usaha nya (eksplorasi minyak) secara otomatis telah menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup.

Atas dasar fakta-fakta tersebut, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyerukan agar:

1. Pemerintah melakukan tindakan tegas dan berkeadilan dalam menentukan lingkup tanggung jawab Pemerintah dan Perusahaan dengan menentukan bahwa LBI bertanggung jawab secara mutlak atas peristiwa ini, dengan tetap melindungi kepentingan hak masyarakat korban dan melindungi negara dari tindakan perusakan lingkungan.

2. Aparat penegak hukum melakukan percepatan terhadap upaya hukum pidana, mengingat dampaknya yang sangat luar biasa, sebagai upaya adanya kepastian hukum bagi masyarakat korban.

3. Pemerintah segera meninjau ulang kinerja BPLS, sebagai upaya efisiensi, efektifitas dan percepatan terhadap penanggulangan lumpur dan penanganan korban.

4. Memperbaiki mekanisme pemberian izin eksplorasi maupun eksploitasi, terutama dalam melakukan penilaian atas dampak lingkungan yang diakibatkan dari kegiatan pengeboran serta kemampuan aparat dalam melakukan pengawasan secara intensif.

5. Pemerintah segera memerintahkan pelaku usaha melakukan audit lingkungan atas kegiatan usahanya, dan memberikan akses informasi, akses pertisipasi dan akses keadilan seluas-luasnya kepada masyarakat agar tidak terjadi perusakan lingkungan dan korban lebih luas.

Rhino Subagyo, S.H (Executive Director ICEL), HP. 08129508335
Maharani Siti Shopia, S.H (divisi Advokasi ICEL) HP.08123108853

Catatan untuk Editor:
1. Ketentuan tanggung Jawab mutlak diatur dalam Pasal 35 UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

2. Wewenang Pengawasan diatur dalam Pasal 22-24 UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 41, 42,44 UU No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

3. Penilaian atas layak atau tidaknya UKL/UPL diatur dalam Pasal 19 UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, sementara fakta di lapangan Masyarakat tidak mengetahui akan bahwa di dekat wilayahnya akan ada usaha pengeboran. Berdasarkan  laporan masyarakat, di wilayah tersebut akan dibangun peternakan.

4. Proses Jual beli tanah dan bangunan yang terkena lumpur akan menyesatkan masyarakat karena sesuai ketentuan Pasal 33 UUD 1945, tanah tersebut menjadi milik negara. Proses jual beli tersebut secara hukum mengalihkan hak atas tanah milik warga menjadi hak milik LBI (Perusahaan) selaku pembeli sementara masih terdapat kandungan sumber daya alam (kekayaan alam) yang terkandung di dalamnya dan seharusnya dipergunakan sebebsar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

5. Skenario penghentian semburan lumpur:
Skenario 1 : Snubbing unit (gagal)
Skenario 2 : Re-entry Well dengan Side Tracking (pengeboran menyamping)  (gagal)
Skenario 3 :  Relief Well (pengeboran miring) dengan menggunakan 3 rig yang akan diletakkan di desa Siring, Renokenongo dan Jatirejo (gagal)

6. Release LBI pada tanggal 15 Juni 2006, rilis ini mengatakan bahwa kondisi casing yang telah terpasang dinyatakan tidak aman dan tidak layak(sering rusak). Hal ini juga diketahui bahwa proses drilling tiba-tiba terhenti melebihi batas toleransi pengeboran. Kemudian LBI yang seharusnya memasang pipa selubung casing 9 5/8” pada kedalaman 8500 ft, tetapi pemboran lubang 12-1/4” masih terus dilakukan hingga menembus kedalaman 9287 ft justru mengakibatkan loss circulation (kehilangan lumpur pemboran ke dalam formasi).

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

One thought on “Setahun Lumpur Lapindo”

  1. Lumpur Lapindo adalah akibat dari Grup Bakrie (NDB) yang menyakiti seorang anak wali qutub yang sedang menjalani kehidupan seorang pengusaha dimana tagihan kepada mereka tidak dibayar dan di biarkan dengan semena-mena, dimana kejadiannya di wisma bakrie kemang 1 hari sebelum lumpur mulai meledak, dan pada saat itu anak wali qutub tersebut berdoa pasrah kepada Allah dalam tangisan… its true, dialah yang mampu menutup lubang sumur itu.. haqul yakin

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s