DUA minggu lalu saya mengunjungi Turki yang tengah berjuang menjadi anggota penuh Uni Eropa. Berikut ini adalah bagian pertama dari rangkaian tulisan mengenai Turki dan hubungan baik Indonesia dengan negeri Mustafa Kemal Attaturk itu.
Ini adalah kisah sebuah bangsa yang berusia ribuan tahun: Turki.
Sekitar 200 tahun sebelum Masehi, di Pegunungan Altai dan Danau Baikal yang berada di utara Gurun Gobi hiduplah bangsa Hsiung-nu atau Hun. Sejumlah studi menyimpulkan, mereka inilah leluhur bangsa Turki modern yang kita kenal sekarang.
Dari tempat itu, Hun bergerak ke barat, dan pada abad ke-4 Masehi telah menguasai sisi timur Eropa, dari Sungai Rhine di Jerman saat ini, hingga wilayah di antara Laut Hitam dan Laut Caspia. Adalah Attila, salah satu pemimpin bangsa Hun yang paling dikenal dalam sejarah.
Menurut legenda, Attila memiliki pedang suci yang ditemukan di kuburan penasihat spritualnya, Galen. Dengan pedang suci itu Attila percaya dia tak akan dapat dikalahkan oleh musuh-musuhnya, termasuk bangsa Romawi.
Attila punya dua cinta; untuk budak berambut merah bernama N’kara yang memberinya seorang putra, dan untuk kemegahan Romawi. Menaklukkan Romawi adalah keinginan terbesar Attila yang tak tercapai hingga ajal menjemputnya.
Attila menjalin persahabatan yang berbahaya dengan seorang jenderal Romawi, Flavius Aetius, guru sekaligus musuhnya yang amat berbahaya. Pertarungan di antara mereka menjadi kenyataan di medan laga Galia.
Suatu kali dalam perjalanan menuju Romawi Barat pasukan Attila dihadang pasukan Visigoth yang didukung Flavius. Dalam serangan terakhir, pedang suci Attila patah. Karena menduga ini adalah sinyal dari Dewa, Attila pun meninggalkan medan laga.
Riwayat Attila berakhir di cawan racun Ndico, budak perempuan yang dinikahinya—karena mirip dengan N’kara—setelah kembali dari Galia. Seperti N’kara, Ndico adalah anak pemimpin salah satu suku yang dibantai pasukan Attila. Namun tak seperti N’kara yang jatuh cinta pada Attila, Ndico membalas dendamnya pada Attila di malam pertama mereka. Lokasi makam Attila tak diketahui. Konon para pengawal yang memakamkan Attila dibunuh. Setidaknya menurut legenda, begitulah tradisi bangsa Hun.
Tak lama setelah kematian Attila, Jenderal Flavius pun menemui nasib serupa. “Attila sudah mati. Kau tak kubutuhkan lagi,” kata Kaisar Romawi Valentinian saat pisaunya menembus jantung Flavius.
Mimpi Attila menaklukkan Romawi baru terwujud 1.000 tahun kemudian, saat keturunan bangsa Hun yang telah memeluk agama Islam menduduki Konstantinopel pada 1453. Pasukan Islam dari Anatolia yang dipimpin Fatif Muhammad II Sang Penakluk mengubah nama Konstantinopel menjadi Istanbul, serta memindahkan pusat kekuasaannya dari Edirne atau Adrianapolis di dekat perbatasan dengan Bulgaria dan Yunani kini ke kota yang terletak di sisi Selat Bosphorus yang memisahkan Asia dan Eropa, itu.
Catatan lain menyebut sekitar abad ke-6, suku Tu-Kue yang menetap di Sungai Orkhan yang mengalir ke Danau Baikal memperoleh kekuasaan terbatas dari Dinasti Tang yang berkuasa di daratan Tiongkok masa itu. Di tempat itu tulisan pertama dalam bahasa yang mirip dengan bahasa Turki modern ditemukan. Ahli sejarah percaya catatan tersebut berasal dari tahun 730 M.
Dalam perkembangan selanjutnya, suku-suku yang menetap di wilayah ini membentuk Kekaisaran Gorturk, dan berkuasa dari Laut Aral (di utara Uzbekistan kini) dan Hindu Kush (wilayah Afghanistan saat ini). Daerah ini dikenal dengan sebutan Transoxania.
Di abad ke-7, Gorturk dirangkul Byzantine yang tengah menghadapi serangan bangsa Sassanian. Di abad selanjutnya, suku Oguz yang bergabung dalam konfederasi Gorturk berpindah ke selatan menuju Sungai Oxus. Sementara sebagian lainnya bergerak ke utara menuju Laut Hitam.
Di abad ke-10, Oguz yang kala itu dipimpin Seljuk memeluk agama Islam dan berkuasa di Bukhara, tempat Imam Bukhari, salah seorang perawi hadist Nabi Muhammad SAW, dilahirkan pada abad sebelumnya.
Perpecahan di kalangan pengikut Seljuk pada masa selanjutnya memaksa sebagian dari mereka angkat kaki ke India di sebelah timur. Sementara sebagian yang dipimpin keturunan langsung Seljuk bergerak ke barat, dan mengabdi pada Kekalifahan Abbasiyah di Baghdad yang berkuasa atas seluruh wilayah Mesopotamia, Syria, dan Persia.
Di pertengahan abad ke-11, Tugrul Bey, pemimpin Seljuk (berkuasa 1055-63) menaklukan Baghdad dengan bantuan tentara bayaran Mamluk yang terdiri dari bangsa Circassians dan Kurdi.
Pada 1071, pewaris tahta Tugrul, Mehmed (Muhammad) bin Daud alias Alp Arslan (Pahlawan Singa) menaklukkan bangsa Armenia dan menguasai Anatolia, serta membangun pusat kekuasaannya di Iconium atau Konya. Tapi di tahun 1097 Konya jatuh ke tangan Pasukan Salib yang tengah bergerak menuju Jerusalem. Setelah itu, selama tiga abad bangsa Turki tak memainkan peranan penting hingga Estrugul, pemimpin keturunan Oguz, datang dari Parsia ke Anatolia pada pertengahan abad ke-13.
Dalam waktu singkat Estrugul menguasai Bursa, Nicomedia (Izmit), dan Nicaea. Menjelang akhir abad ke-13, putra Estrugul, Osman, mewarisi kekuasaan Estrugul di Anatolia. Inilah tonggak Kekaisaran Ottoman.
Masa keemasan Ottoman terjadi sepanjang abad ke-16. Saat itu kekuasaan mereka telah meliputi Anatolia (Turki di sisi Asia kini), Timur Tengah, sebagian Afrika Utara, tenggara Eropa hingga pegunungan Kaukasus, seluas 5,5 juta kilometer persegi.
Setelah menjadi negara adikuasa selama lebih dari 600 tahun, riwayat Ottoman berakhir menyusul kekalahan mereka dalam Perang Dunia I. [t] Rakyat Merdeka, 28 November 2005
One thought on “Attila Punya Dua Cinta”