SBY & Partai Demokrat: Anak Bawang Di Tengah Badai

PARTAI Demokrat memang aneh: masih muda (berdiri 9 September 2001), belum banyak mengecap pahit manisnya panggung politik, namun berhasil mendudukkan 56 wakilnya di parlemen dan kader utamanya, Susilo Bambang Yudhoyono, di kursi presiden. Dan, bisa bertahan di tengah badai.Buku yang ditulis Akbar Faizal dengan beberapa koleganya, ini mencoba bercerita banyak hal tentang sang pendatang baru yang bikin takjub itu. Mulai dari suasana politik yang melatari dan detik-detik menjelang kelahiran, sampai konflik internal yang menyedot energi politisi di partai itu.

Partai Demokrat & SBY Mencari Jawab Sebuah Masa Depan
Akbar Faizal
Eep Saefulloh Fatah
Gramedia Pustaka Utama, Maret 2005
334 + xii halaman

Akbar bekerja keras untuk menyelesaikan buku ini hanya beberapa minggu menjelang Kongres Partai Demokrat di Surabaya, 23 hingga 24 Maret 2005. Dia memang berniat menghadirkan peta utuh Partai Demokrat sebelum dua kelompok besar di tubuh partai itu, kubu Subur Budhisantoso dan kubu Vence Rumengakang yang selama ini berseteru, bisa lebih jernih membaca jejak kaki yang mereka bikin sendiri.

Dan seperti kata si penulis di halaman x, buku ini sengaja dijadikan alat untuk membuktikan siapa yang berhak menjadi pahlawan di Partai Demokrat, siapa yang setengah berjasa dan siapa yang sebenarnya tidak punya andil apa-apa.

Cerita si anak bayi yang disebut si penulis berkategori ajaib itu dimulai dengan ketakjuban yang dialami banyak orang saat Partai Demokrat mencatatkan angka-angka fantastis dalam Pemilu Legislatif April 2004. “Walau pernah dipandang sebelah mata, Partai Demokrat akhirnya membuat pengunjung warung kopi, presenter TV, supir taksi, loper koran, eksekutif muda, juga politisi, terenyak. Partai anak bawang yang lahir dua tahun sebelum Pemilu 2004 ini ternyata mampu bertengger di posisi lima besar…” tulis Akbar (halaman 2). Kemenangan itu diraih Partai Demokrat bersamaan dengan hujan black campaign atas partai itu dan diri SBY.

Partai bernomor punggung sembilan ini, misalnya, disebut membawa agenda kristenisasi. SBY yang dicalonkannya sebagai presiden pun disebut sebagai agan dinas rahasia Amerika, Central Intelligence Agency (CIA), yang menerima pasokan dana dari Paman Sam dan pengusaha hitam. Black campaign seperti itu dibantah tidak hanya SBY, melainkan juga oleh begitu banyak kelompok pendukung SBY.

Misalnya bantahan dari sebuah kelompok yang menamakan dirinya Tim Relawan Muslim untuk Pilpres yang Jujur. Tim yang dimotori Sofyan Djalil itu (kini Menteri Komunikasi dan Informasi) mengimbau umat Islam agar tidak mempercayai sejumlah kabar burung, seperti: istri SBY, Ani Yudhoyono, beragama Katholik, SBY didukung non-Muslim, mayoritas wakil rakyat dari Partai Demokrat adalah Kristen dan Katholik, juga isu SBY menerima bantuan dari Amerika Serikat.

Selain rangkaian black campaign, di saat-saat menjelang Pemilu Legislatif, Partai Demokrat juga dihadapkan pada persoalan yang tak kalah rumitnya: konflik di kursi ketua umum.

Januari 2004, hanya tiga bulan sebelum Pemilu Legislatif berkembang kabar entah darimana yang menyatakan bahwa Budhisantoso akan dilengserkan dari kursi ketua umum dan digantikan oleh bekas Menpora era Soeharto yang kini jadi Ketua Umum Kosgoro, Hayono Isman. Namun Hayono selalu membantah. (Kesediaan Hayono bertarung di bursa ketua umum Partai Demokrat disampaikannya beberapa hari lalu. Hayono mengaku telah mengirim sepucuk surat kepada SBY, red).

Wasekjen Sutan Bathoegana juga termasuk orang yang ingin menggusur Budhisantoso saat itu. “Dia kan peneliti, sibuk sekali,” katanya (halaman 41). Sekjen EE Mangindaan termasuk orang yang tak suka bila kursi pimpinan dikocok ulang sebelum Pemilu Legislatif.

Selain dinamika elit, Akbar Faizal juga bercerita tentang dinamika politik di sejumlah daerah. Dengan cara penceritaan yang mengalir, Akbar menuturkan beberapa momen “ajaib” lain yang membawa partai ini keluar dari lubang jarum dan lulus sebagai perserta Pemilu 2004.

Bagaimana figur SBY dimata orang Partai Demokrat?

Bekas Menkopolkam yang “besar” setelah suami Presiden Megawati, Taufik Kiemas, menyebutnya jenderal bintang empat yang seperti anak kecil, tentulah sosok sentral dari semua dinamika di Partai Demokrat. Tapi sosok ini bukan tidak lepas dari “serangan” kader Partai Demokrat.

Tiga hari setelah SBY dilantik sebagai presiden, massa Partai Demokrat mengibarkan bendera setengah tiang di halaman DPD Sulawesi Utara. Mereka kecewa karena EE Mangindaan tak jadi menteri. Konon SBY pernah berjanji kursi menteri dalam negeri akan diberikan pada Mangindaan. Tapi, di detik-detik akhir SBY menunjuk Ketua Tim Kampanye Nasional M Ma’ruf.

Mangindaan sendiri hingga buku itu diterbitkan tidak memperlihatkan sikap tegas. Dia pernah berkata, dirinya lebih dahulu menyatakan menolak jadi menteri. Tetapi di beberapa media, menurut Akbar, Mangindaan mengatakan dirinya tidak pernah menolak jadi menteri (halaman 268).

Konflik internal di tubuh Partai Demokrat, kata Akbar di awal-awal tulisannya, memang sudah bisa ditebak. Dan itu dipicu oleh sebuah persoalan krusial: rekrutmen yang serampangan. Sejak awal pula, si penulis menyayangkan konflik internal yang justru dipicu oleh figur-figur sentral yang mestinya menjadi pemersatu. Rakyat Merdeka, 6 Maret 2005 [t]

2 Replies to “SBY & Partai Demokrat: Anak Bawang Di Tengah Badai”

  1. SBY wrote:
    MEGA KEMBALI HIDUP BAIK KEMBALI…
    Kembalikan rumah besar kaum nasionalis dan demokratis ke Istana Negara. VOTE MEGA FOR PRESIDENT 2009!!

Leave a comment