


DI dalam teori politik modern ada dua mazhab pemikiran mengenai negara. Mazhab pertama melihat negara sebagai realita yang terjadi secara evolutif mengikuti hukum dialektika sosial. Ada tesa yang diikuti antitesa, dan menghasilkan sintesa. Pengusung mazhab ini adalah Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), seorang filsuf Jerman.
Mazhab kedua dikembangkan filsuf Jerman lainnya yang lahir kemudian, Max Weber (1864-1920). Menurut Weber negara adalah realita sosial yang tidak terhindarkan, yang hadir tiba-tiba di tengah kehidupan masyarakat. Sudah tiba-tiba, memiliki kekuasaan mengikat dan memaksa “warga negara” pula.
Tanpa disadari, sampai sekarang terjadi perdebatan keras diantara kedua pengikut mazhab ini. Kelompok pertama, kaum Hegelian, mencoba menjadikan negara kontekstual dan tidak asing di jamannya. Pihak kedua, kaum Weberian, pongah menikmati kekuasaan adi luhung yang berada dalam genggaman mereka.
Di Indonesia, rejim Orde Baru menentang paham negara Hegelian. Negara adalah realitas sosial tertinggi. Tidak ada kekuatan lain di atas itu, kata mereka. Pemerintah menjadi manifestai negara. Selama masa itu, kekerasan dan kekejaman yang mengatasnamakan negara kerap terjadi.
Di akhir kekuasaan Orde Baru, Mei 1998, empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas diterjang timah panas aparat berlabel negara di lingkungan kampus mereka. Belum lagi kasus itu diusut tuntas, November 1998, delapan orang, diantaranya lima mahasiswa, tewas di bilangan Semanggi. Masih karena ulah aparat. Hampir setahun kemudian, September 1999, di Semanggi kembali seorang mahasiswa tewas. Pun atas nama negara.
Apakah benar rangkaian peristiwa di atas adalah tonggak reformasi di negara ini? Ntahlah. Yang jelas butuh usaha keras untuk meyakinkan wakil rakyat di DPR—yang nongkrong di Senayan setelah korban berjatuhan—bahwa sebuah panitia khusus dibutuhkan untuk mengungkap kasus-kasus itu.
Efektifkah? Entah juga. Keraguan pada Pansus Trisakti dan Semanggi I-II yang dipimpin Panda Nababan dari FPDIP ini muncul. Pansus terlihat tarik ulur dengan kekuatan Orde Baru yang masih nempel di DPR. Militer pun tutup mulut. Saling tolak tangung jawab.
Kemarin (25/5) ratusan civitas akademika Univeristas Atmajaya long march dari kampus di Jalan Sudirman ke gedung Senayan. Tujuannya, mendesak Pansus untuk berani mengungkap kebenaran. Sumarsih, ibu BR Norma Irmawan alias Wawan seorang korban kasus Semanggi I juga larut di tengah lautan massa. Di matanya tergambar sosok putra tercinta, Wawan. Berikut laporan Teguh Santosa dan Raymond Hutapea.
Seikat Anggrek Merah dalam Genggaman
Menyusuri pelataran parkir gedung DPR Senayan, Sumarsih melangkah mantap. Ibu BR Norma Irmawan alias Wawan mahasiswa Universitas Atmajaya yang tewas ditembak aparat 13 November 1998 lalu itu tidak mempedulikan sinar mentari yang terik membakar bumi. Sesekali Sumarsih menghapus keringat yang mengucur deras di wajahnya dengan sapu tangan. Matanya memandang lurus ke depan. Rambutnya yang putih keperakan tergerai ditiup angin.
Sumarsih menenteng tas kecil berwarna hitam di tangan kirinya. Tas Sumarsih itu sebenarnya biasa saja, sama seperti kebanyakan tas wanita pada umumnya. Yang membuat tas itu menjadi istimewa adalah seikat anggrek merah yang dibaringkan diantara kedua tali pegangannya. Bagi Sumarsih anggrek merah itu simbol penderitaannya, seorang ibu yang anaknya direnggut begitu saja oleh militer yang mengaku tangan kekuasaan negara.
Menuju gerbang gedung DPR, Sumarsih tidak berjalan sendirian. Beberapa mahasiswa Universitas Atmajaya yang mengenakan jaket almamater oranye berjalan di sekitarnya. Ketua Pansus Tri Sakti dan Semanggi I dan II Panda Nababan berjalan di depannya. Panda yang anggota Fraksi PDIP itu sedang bertukar cerita dengan Rektor Universitas Atmajaya Harimurti Tridalaksana. Selain Panda anggota Pansus yang juga ikut dalam rombongan kecil itu adalah Haryanto dan Wisnu Kuncoro.
Wajah Sumarsih tak menunjukkan rasa lelah sedikitpun. Padahal sebelumnya Sumarsih ikut long march yang dilakukan civitas akademika Universitas Atmajaya.
“Di setiap langkah saya merasakan perjuangan Wawan,” katanya mantap.
Semakin mendekat ke pintu gerbang gedung DPR, Sumarsih mempercepat langkahnya. Agaknya Sumarsih sudah tidak sabar untuk kembali bergabung dengan ratusan mahasiswa mahasiswa Univeristas Atmajaya yang berkumpul di sana. Sayup terdengar yel-yel yang berisi tuntutan kepada Pansus agar berani mengungkapkan kebenaran. Selain itu, dengan suara membahana seorang orator meneriakkan tuntutan kepada TNI/Polri agar secara jantan bertanggung jawab atas pembunuhan yang mereka lakukan terhadap rakyat tak berdosa.
Rombongan kecil itu harus melewati puluhan polisi yang sejak pagi berjaga-jaga di depan pintu gerbang. Kehadiran mereka disambut tepuk tangan riuh. Mengembangkan senyum, Sumarsih berbaur dengan lautan mahasiswa.
Sumarsih membungkuk. Tangan kirinya meraih anggrek merah di tasnya. Sumarsih melangkah di antara kerumunan mahasiswa, mencari tempat untuk menyimak orasi demi orasi yang disampaikan. Beberapa mahasiswa yang mengenalnya tersenyum melihat Sumarsih. Sekilas mata Sumarsih melirik karangan bunga yang diletakkan di bawah panggung kecil. Sebuah pita biru bertuliskan kalimat “Turut Berduka Cita” dililitkan di karangan bunga itu. Lalu, matanya menatap ke atas panggung.
Arif Priyadi, suami yang memberi Sumarsih dua orang anak sedang berorasi di atas panggung. “Sudah cukup 24 rapat dengar pendapat untuk membuktikan kasus Trisakti dan Semanggi adalah pelanggaran HAM berat,” teriak Arif. Massa bertepuk tangan. Sumarsih juga.
Di belakang panggung, sebagai latar, terbentang sebuah spanduk biru dengan tulisan putih tegas, Jenderal Pengadilan HAM Memang Layak Untuk Anda. Tidak lama, Panda dan Harimurti naik ke atas panggung. Juga Haryanto dan Wisnu. Harimurti membacakan tuntutan civitas akademika Universitas Atmajaya.
Setelah Harimurti membacakan tuntutan civitas akademika Universitas Atmajaya, giliran Panda berbicara.
“Saya melihat langsung kekejaman negara pada saat itu. Jadi, percayalah, Pansus ini tidak akan mau kompromi dengan kekuatan Orde Baru,” tegas Panda. Tepuk tangan Sumarsih semakin kencang.
Lalu Karina Leksono juga naik ke panggung. Sedikit berorasi. Intinya sama, menentang kekejaman negara selama ini. Setelah itu, giliran seorang mahasiswa. Mengepalkan tangan kirinya, laki-laki itu meneriakkan Sumpah Rakyat Indonesia. Sumarsih, seperti ratusan massa lainnya mengikuti. Tidak hanya sumpah yang keluar dari mulut Sumarsih, juga doa untuk anaknya tercinta di alam baka.
Satu jam berlalu. Orasi selesai. Civitas akademika balik kanan. Tanpa kenal lelah, Sumarsih kembali berbaur di barisan terdepan. Balik ke kampus. “Saya sedang mengenang perjuangan Wawan,” katanya. Matanya berkaca-kaca.
The Pansus Watch
Wajar saja orang meragukan kerja Pansus Trisakti danSemanggi I-II. Sepertinya tidak banyak anggota Pansus yang serius dengan isu ini. Seolah lupa, bahwa kursi yang mereka duduki saat ini sesungguhnya berada di atas genangan darah rakyat tak berdosa. Parahnya, pernah rapat Pansus hanya dihadiri oleh delapan dari 50 orang lebih anggotanya. Memalukan.
Kelakuan anggota Pansus ini tidak luput dari perhatian Sumarsih yang lahir di Semarang 5 Mei 1952. Sumarsih bersama suaminya, Arif Priyadi, tidak pernah absen dari setiap rapat. Tidak hanya mengikuti dengan cermat satu persatu kesaksian dan pengakuan yang disampaikan di hadapan Pansus, mereka juga memperhatikan ketulusan anggota Pansus.(GUH)
Melahirkan Wawan
Dalam hidupnya, sedikit yang yang bisa dibanggakan Sumarsih. Satu dari sedikit hal itu adalah BR Norma Irmawan.
“Nama ini mengandung sebuah harapan agar kelak dia menjadi orang yang mengetahui norma atau kaidah atau hukum,” tulis Sumarsih dalam testimoninya. Ada kesedihan dan kebanggaan di matanya setiap kali menyebut nama Wawan.
“Aktifitas yang dilakukan Wawan menjadikannya sasaran tembak. Wawan tidak kena pecahan peluru. Dia dibunuh oleh aparat militer,” ujar Sumarsih.
Untuk mengenang peristiwa mengenaskan yang menimpa Wawan dan korban kekerasan negara lainnya, ibu dari Irma, mahasiswa Fisip UI ini sedang menulis sebuah buku. Judulnya, Kasih Ibu Dipenggal Peluru.(GUH)