Bila Jubir Presiden Sakit (Wimar Masih Hidup)

Ibu Sinta Nuriya menjenguk Wimar Witoelar.

JURU Bicara Presiden Gus Dur, Adhie M Massardi pernah menggambarkan kondisi kesehatan Gus Dur. Begini kira-kira katanya:

“Saya tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya secara detail. Tetapi begini, Gus Dur itu punya tiga orang juru bicara. Ketiganya sering gantian ijin sakit. Sementara Gus Dur tidak pernah ijin sakit. Dua minggu keliling luar negeri, Gus Dur masih sehat saja. Sampai di tanah air tidak istirahat. Langsung ke Sampit.”

Makanya, aneh juga kalau ada orang yang meragukan kesehatan Gus Dur, tambah Adhie.

Sepertinya analisa Adhie ini benar juga. 

Kamis pekan lalu (17/5) dalam sebuah perjalanan, Wimar Witoelar, juru bicara utama Gus Dur terserang stroke. Padahal di saat yang sama Lembaga Juru Bicara Presiden sedang giat-giatnya memberikan jawaban dan klarifikasi terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kekuatan kursi kekuasaan Gus Dur.

Wimar segera dilarikan ke Rumah Sakit Pondok Indah. Senin (21/5) Wimar yang melambung lewat acara talk show Perspektif di sebuah stasiun TV swasta dipindahkan ke Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Alasannnya peralatan di RS ini lebih memadai untuk merawat jantung Wimar.

Absennya Wimar mungkin sekali membuat kinerja lembaga juru bicara Gus Dur keteteran. Maklumlah, semakin banyak hal yang harus diklarifikasi oleh lembaga ini. Apalagi rapat paripurna DPR untuk menentukan SI MPR 30 Mei semakin dekat. Kebutuhan melobi lawan semakin besar.

Di tengah itu semua, tiba-tiba Rabu siang (23/5) sebuah stasiun TV swasta memberitakan Wimar meninggal dunia. Kontan saja semua orang tersentak kaget. Satu jam kemudian stasiun TV tersebut meralat berita sebelumnya sambil mohon maaf. Ternyata Wimar masih hidup.

Dalam siaran pers yang ditandatangani Yahya C Staquf, Lembaga Juru Bicara Presiden menyatakan penyesalannya atas pemberitaan itu. Menurut mereka stasiun TV tersebut telah mengabaikan prinsip check and recheck.

Tidak mau ketinggalan, Adhie M Massardi pun memberikan reaksi keras.

“Orang yang meniupkan isu meninggalnya Pak Wimar adalah orang yang juga meniupkan isu pergantian Kasad dan Kasal baru-baru lalu,” katanya.

Siapa yang dimaksud?

“Poros Tengah.” Nah, lho.

Karuan saja pernyataan Adhie ini memancing emosi lawan Gus Dur di parlemen.

“Memang Adhie itu siapa sih? Atas kapasitas apa dia bicara seperti itu?” tanya pentolan Fraksi Reformasi Alvien Lie tidak bisa menahan geram. Sebuah killing field baru terbuka sudah.

Sementara itu, bagaimana dengan Wimar sendiri? Sesehat apakah Wimar? Kemarin (24/5) saya menjenguk Wimar di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Berikut laporannya:

Tersenyum, Mengaku Jauh Lebih Sehat

Setelah kesehatannya berangsur baik, Wimar Witoelar yang pekan lalu mengalami gangguan jantung dan stroke hari Rabu (23/5) dipindahkan dari ruang CVC Rumah Sakit Jantung Harapan Kita ke ruang perawatan umum VIP 1305 di lantai 3. Waktu besuk bagi Juru Bicara Presiden Gus Dur ini pun diperlonggar.

Kemarin (24/5), sehari setelah diisukan meninggal dunia, Wimar menerima kunjungan kaum kerabat dan handai taulan. Menjelang siang belasan tamu berkumpul di ruang seluas 3 x 4 meter persegi itu.

Di antara kerabat yang mengunjungi alumni Universitas George Washington itu adalah Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Erna Witoelar, isteri kakak kandung Wimar, Rachmat Witoelar yang bekas Sekjen Golkar.

Sebagian besar tamu memilih duduk lesehan di atas karpet hijau di sisi ruangan dekat jendela. Sementara itu sang isteri, Suvatchara Witoelar yang juga seorang neurolog atau ahli syaraf sibuk melayani para tamu. Memberikan informasi singkat mengenai kesehatan suami yang menikahinya di Kedutaan Republik Indonesia di Bangkok, 27 Februari 1971 lalu.

Beberapa karangan bunga yang dua di antaranya diletakkan di atas meja hias di sisi kiri ruangan menambah kesejukan yang diciptakan hembusan angin semilir dari air conditioning. Senda gurau tamu terdengar satu dua kali. Terkadang tawa pecah. Tidak berisik, tidak mengganggu Wimar yang sedang berbaring di tempat tidur di tengah ruangan.

Wimar yang pernah kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan menjadi Ketua Dewan Mahasiswa (Dema) mengenakan baju katun biru muda dan sarung hijau kotak-kotak. Di leher Wimar digantungkan sebuah alat medis yang dibungkus kain hitam untuk mencatat perkembangan kesehatannya. Menurut Suvatchara, alat itu dipasang selama 24 jam, sejak Wimar masuk ke ruang rawat inap.

Bagian atas tempat tidur Wimar diangkat sekitar 30 derajat, menopang tubuhnya. Tangan kiri Wimar memegang tepi tempat tidur, sementara tangan kanannya yang masih dibalut perban untuk menutupi bekas suntikan infus diletakkan di atas perut. Kaki kiri Wimar diselonjorkan, dan kaki kanannya dilipat di bawah sarung.

Satu dua kali Wimar mengurai senyum. Mengatakan bahwa dirinya merasa jauh lebih sehat dibandingkan saat pertama kali masuk Rumah Sakit Pondok Indah pekan lalu. Suaranya tidak lantang seperti biasa, namun cukup jelas.

Masih dengan senyum Wimar memperdengarkan bunyi tik-tik yang keluar dari mesin kecil hitam di atas perutnya itu. Namun, rasa lelah masih tertinggal di wajah Wimar yang berbobot 118 kilogram.

Ciri khas Wimar, rambut kribonya yang tebal, kali ini dipangkas lebih tipis dari biasanya. Selain itu, perubahan lain terlihat dari posisi mulut Wimar yang agak miring ke kiri. Nah, mengenai mulutnya, Suvatchara mengatakan bahwa hal itu terjadi lebih dahulu sebelum suaminya masuk rumah sakit. “Masalah mulut mencong ini juga sempat jadi pikiran (Wimar-red). Kan nggak enak kalau tampil memberi penjelasan di depan umum dengan mulut mencong,” kata Suvatchara.

Dengan sepasang tamu yang berdiri di sisi kanan tempat tidurnya, Wimar bertukar cerita. Ringan saja, soal keluarga. Terkadang ia terkekeh juga. Riang. Tidak ada pembicaraan politik. Untuk sementara agaknya Wimar memang diembargo dari cerita-cerita seperti itu. Khawatir kembali memperburuk kesehatannya.

Mendekati jam 12 siang, seorang perawat masuk dan melepas mesin kecil hitam yang sudah 24 jam menemani Wimar. Sekilas mata Wimar bersinar senang. Kedua kakinya diluruskan dan badannya sedikit ditegakkan, mempermudah perawat tersebut menyelesaikan tugasnya. Kaki Wimar terlihat sedikit membengkak. Bengkak ini, menurut Suvatchara berawal dari operasi jantung by pass sepuluh tahun lalu. Seutas vena dari kaki kanan Wimar diambil dan dicangkokkan ke jaringan jantungnya.

Tidak berapa lama seorang perawat lainnya datang membawa meja dorong. Di atas meja dorong itu diletakkan beberapa piring makanan untuk dosen pascaarjana ITB ini. Sambil merapikan baju dan sarungnya, Wimar kembali menegakkan badan. Lunch time.

Sebelum Wimar meraih piring, saya pamit pulang.

“Terima kasih ya, sudah menjenguk saya. Salam untuk kawan-kawan semua,” pesannya sambil kembali tersenyum.

Ogah Jadi Harmoko

Seperti Gus Dur yang diasistensinya, Wimar Witoelar juga suka humor. Namun, tambahnya, hobi suka humor bukan jaminan dirinya akan selalu klop dengan Gus Dur. Ayah Satya Tulaka (26) dan Aree Widya (23) pernah menegaskan, dirinya akan mengundurkan diri apabila tidak cocok lagi dengan Gus Dur.

“Masa saya begitu saja harus jadi Harmoko, saya tidak ingin menjadi Harmoko,” tambahnya tanpa merinci maksudnya.

Tim juru bicara presiden pun menurut Wimar dibentuk tidak dengan maksud memperbaiki Gus Dur dan kinerjanya. Tetapi untuk menjembatani kebutuhan pers dan masyarakat, selain memperbaiki citra Indonesia di mata dunia internasional.(GUH)

Musuh Orde Baru

Tahun 1965, laki-laki kelahiran Padalarang 14 Juli 1945 ini menjadi Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Komisariat ITB. Setelah peristiwa G-30-S/PKI, Wimar memimpin aksi pengganyangan PKI. Tidak hanya itu, Wimar pernah keliling Pulau Jawa mensosialisasikan Surat Perintah Sebelas Maret alias Supersemar.

Apakah Wimar orang Orde Baru? Tidak juga. Setelah kuliahnya di ITB berantakan karena aktifitas politik, Wimar melanjutkan studinya di Amerika Serikat. Sekembalinya, Wimar menjadi dosen di ITB.

Dasar aktivis, menjelang SU MPR 1977 Wimar mensponsori aksi menolak Soeharto di ITB. Bersama mahasiswa, diantaranya Heri Ahmadi dan Rizal Ramli, Wimar membentangkan sebuah spanduk besar bertuliskan “Tidak Mempercayai Lagi Soeharto Sebagai Presiden RI”. Terang saja Wimar ditangkap.(GUH)

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s