
KEBIASAAN Presiden Abdurahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur tampil ekspresionis kerap dirasa dan dinilai berlebihan dan kelewatan. Begitu juga dengan pernyataan yang disampaikannya, lebih sering dianggap kontra-produktif.
Dalam kapasitasnya sebagai presiden, kebiasaan seperti ini tentu merugikan. Bagaimana mungkin setiap kali presiden berbicara, selalu diikuti dengan melemahnya nilai tukar mata uang. Kan nggak benar ini. Satu dua kali mungkin masih bumbu, tetapi kalau selalu begitu, sudah menu.
Gus Dur sendiri tahu (atau pernah tahu), bahwa karakter ekspresionis dan pernyataan-pernyataannya kerap disambut negatif. Makanya, Oktober tahun lalu Gus Dur menerbitkan Keppres No. 255/M/2000 tentang lembaga juru bicara kepresidenan. Untuk ketuanya dipilih si biang talk show, Wimar Witoelar.
Saat dilantik Wimar berjanji timnya akan mengelola informasi yang berkaitan dengan kegiatan presiden untuk dilanjutkan ke media massa. Selain itu juga untuk menjelaskan latar belakang pemikiran presiden dan kebijakan-kebijakan yang diambilnya.
Cukupkah?
Ternyata, bagi Gus Dur punya juru bicara tidak berarti berhenti bicara. Pernyataann-pernyataannya masih sering bernada kontroversial. Joke yang dilemparkannya tidak jarang dirasa vulgar dan murahan. Siapa, coba, yang mampu terus-menerus menjelaskan hal-hal seperti itu.
Menjelang memorandum II tercatat, paling tidak, ada tiga pernyataan Gus Dur yang berindikasi kebohongan publik. Pertama, Gus Dur mengatakan apabila dia dipaksa mundur, pemberontakan besar akan melanda seluruh negeri. Lalu, Gus Dur mengklaim perjuangannya didukung Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Terakhir, Gus Dur menyebutkan Megawati pun mendukung kepemimpinannya sampai 2004.
Semua pernyataan ini, hebatnya, dibantah hanya dalam hitungan jam.
Hal lain yang juga sering terjadi adalah perang pernyataan antara lembaga jubir Gus Dur dengan pembantu presiden lainnya. Paling mutakhir, antara Wimar dan Menhan Mahfud MD beberapa waktu lalu.
Belakangan, di tengah proses mosi tidak percaya DPR kepadanya, Gus Dur mulai memainkan tokoh lain sebagai klarifikator. Siapa lagi kalau tidak Menlu Alwi Shihab.
Lantas, bagaimana kelanjutan lembaga jubir Gus Dur ini? Kepada saya, salah seorang juru bicara Gus Dur, Adhie Massardi, memaparkan situasi terkini.

Belum Pernah Di-complain Gus Dur
Turun dari mobil, Adhie Massardi, salah seorang juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid melangkahkan kaki menuju lobby sebuah hotel di kawasan Kwitang. Seorang rekannya berjalan di samping kiri menjejeri. Mendekati lobby, pintu kaca bening di depannya membelah, membuka otomatis.
Seperti biasa, Adhie mengayunkan kakinya perlahan, tidak tergesa-gesa. Iramanya konstan, satu dua. Pandangan matanya lurus ke depan. Bibirnya bergerak-gerak kecil, berdendang, mengikuti alunan denting piano. Aroma pewangi ruangan menyentuh cuping hidungnya. Harum.
Adhie hadir bersama ciri lainnya; rambut dipotong pendek yang selalu tampak basah dan jambul kecil di bagian depan kepalanya. Kemeja putih yang dipakainya dipadu dengan dasi berwarna mencolok, kuning biru. Ada gambar kepala babi kecil di situ. Jas dan celana hitam membungkus perawakannya yang sedang.
Ketika berpapasan di dekat lift, senyum Adhie mengembang.
“Mari, silakan. Kita cari tempat duduk,” ramah ajaknya.
Adhie berjalan melewati kursi demi kursi, memilih tempat di dekat jendela. Ada sofa besar dan tiga kursi yang mengelilingi sebuah meja kaca kecil. Adhie berhenti.
Sekilas Adhie melirik patung seorang petani yang berdiri kokoh menatap kejauhan di luar sana. Mengenakan topi caping, membuka dadanya, petani itu memanggul sebuah senjata di pundak kanannya. Isterinya, di sisi kiri, menyorongkan sebuah nampan.
Seorang pelayan wanita menghampiri. Adhie memesan empat gelas cappuccino. Denting piano masih mengalun, mendayu.
Sore itu anggota klan Massardi ini bercerita banyak mengenai dirinya, Gus Dur, dan tugasnya sebagai juru bicara.
“Kalau bukan Gus Dur yang jadi presiden, saya tidak mau jadi juru bicara di istana,” katanya. Sikap duduknya tidak santai. Badannya ditegakkan.
Sebungkus Dji Sam Soe dikeluarkan dari balik jasnya, berikut geretan ungu. Tak lama sebatang kretek dinyalakan. Tarikan pertama dihembuskan kencang ke atas.
“Kita serahkan pada Tuhan, bagaimana masyarakat menilai kerja kita. Kita tidak bekerja untuk kelompok atau orang tertentu. Kita bekerja sesuai amanat MPR,” lanjut Adhie sambil menyenderkan badannya ke kursi. Mencoba lebih rileks.
Cappuccino datang. Adhie merobek se-sachet brown sugar. Melipat kecil-kecil bungkusnya, lalu diletakkan di atas tatakan gelas. Sebentar kemudian tangannya sibuk mengaduk. Kepada tamunya, Adhie sopan mempersilakan.
Mendadak ponsel yang disimpannya di balik jas berbunyi kecil. Tanggap, tangan kirinya merogoh ke dalam. Sejenak Adhie memperhatikan nomor pemanggil yang tertera di monitor.
Gelas cappuccino diletakkan kembali. Kreteknya yang tadi diletakkan di asbak, diangkat lagi. Sambil menjepit kretek, tangan kanannya menyandar di lutut kanan. Sementara tangan kiri menggenggam ponsel Siemens-nya, didekatkan ke kuping.
“Nanti aja, sebentar lagi. Nanti jadi masalah. Besok saja,” Adhie berbicara dengan seseorang di ujung sana. Tidak lama.
Lalu Adhie bercerita bagaimana ia bertemu Gus Dur.
“Saya dihubungi oleh dia,” katanya menunjuk seseorang di kursi sebelah.
“Pertemuan pertama saya dengan Gus Dur terjadi dua hari setelah Gus Dur menerbitkan Keppres soal jubir presiden. Sebelumnya saya tidak kenal Gus Dur. Juga dengan Wimar (Witoelar) dan Yahya (C Staquf),” kenang Adhie. Senyumnya tersunging.
“Kami langsung in (cocok-red). Padahal, rapat awal itu hanya sekitar seperempat jam,” Adhie menghisap dalam-dalam kreteknya.
Sambil mengangkat gelasnya, Adhie mengatakan sampai sekarang dirinya belum pernah menerima complain dari Gus Dur. Begitu juga Wimar dan Yahya. Bibir gelas menyentuh mulutnya. Membuka, tegukan pertama untuk segelas cappuccino sore itu.
Bagaimana dengan perbedaan antara Wimar dan Menhan Mahfud MD beberapa waktu lalu?
“Menhan mengungkapkan hasil analisa departemennya. Sementara di sisi lain, pengetahuan jubir untuk masalah A lebih banyak dari menteri. Karena Gus Dur membicarakan masalah A itu kepada jubir di banyak kesempatan,” jelasnya.
Gus Dur menurut Adhie, pun terbuka untuk masalah lain di luar kedinasan. Ada saja yang dibicarakan Gus Dur, mulai soal keluarga, sufisme, sampai isu-isu nasionalisme dan globalisme. Sering mendengarkan ide-ide kebangsaan Gus Dur, aku Adhie, membuatnya semakin yakin dengan tugasnya mendampingi Gus Dur.
“Gus Dur tidak open (terbuka-red) ke jubir saja, kok. Anda kan tahu itu,” sambungnya terkekeh.
“Apa saja diomongkan. Sampai muncul perdebatan, apakah sudah melanggar etika atau tidak. Tapi itulah Gus Dur,” lanjutnya.
Cappuccino Adhie tinggal setengah. Kretek di tangan kanannya belum habis juga. Alunan musik instrumentalia mengalun, mengalir ke udara, dari tuts piano yang dimainkan seorang pianis di pojok lobby. Wangi pengharum ruangan masih menyentuh lembut saraf penciuman.
Apa yang akan dilakukan Adhie bila Gus Dur benar-benar jatuh?
“Saya serahkan semuanya pada Tuhan. Saya percaya itu. Tapi sekarang ini, menurut saya, justru sedang asik-asiknya. Ada tantangan yang jelas terbaca. Kita bisa melihat karakter orang dengan baik. Mana yang mementingkan kepentingan bangsa dan negara, mana yang mementingkan diri sendiri,” jelasnya.
Sebelum mengakhiri pertemuan, Adhie menggambarkan kesehatan Gus Dur.
“Gus Dur itu jauh lebih sehat dari dugaan orang banyak. Saya tidak bisa mendetailkannya. Tapi gambarannya kira-kira begini. Gus Dur punya tiga juru bicara. Kami sering gantian ijin sakit. Gus Dur tidak pernah. Wimar ke Australia seminggu. Sampai sini, langsung sakit. Gus Dur dua minggu ke luar negeri, sampai sini masih harus ke Sampit, dan tidak sakit” demikian Adhie.
“Penggemar Swimsuit”
Massardi bersaudara berjumlah 12 orang. Dari jumlah itu hanya satu yang wedok, selebihnya lanang. Empat diantaranya menggeluti dunia jurnalistik. Sebut saja duet kembar Noorcha dan Yudistira Massardi. Selain jurnalistik, kembaran ini juga mendalami dunia sastra dan budaya. Seorang lainnya adalah Anto Massardi, yang sibuk ngurusin majalah Anak Soleh. Dari namanya, ketahuan majalah ini memiliki interest pada masalah-masalah keagamaan.
Bagaimana dengan Adhie? Laki-laki kelahiran Subang Jawa Barat 26 Januari 1956 ini sebelum mangkal di istana menggeluti jurnalistik hiburan.
“Anda tahu rubrik Swimsuit di majalah Popular? Nah itu hasil kerja saya,” bangganya.(GUH)
“Direkrut Istana”
Ayah tiga orang anak ini tidak pernah menyangka dirinya akan diundang ke istana oleh seorang presiden.
“Saya heran bagaimana Gus Dur bisa kenal saya,” katanya. Maka waktu menginjakkan kakinya ke istanapun, otak Adhie menggerutu bingung.
Di dalam istana, di hadapan Gus Dur, bukan pertanyaan yang pertama kali keluar dari mulut Gus Dur. Melainkan sebuah pernyataan yang menusuk hati.
“Saya yakin Anda dapat menjalankan tugas dengan sebaik mungkin,” demikian Gus Dur seperti ditirukan kembali oleh Adhie.
Setelah jadi jubir, Adhie baru bisa menilai bagaimana “makhluk” yang disapa Gus Dur itu sebenarnya. Adhie semakin yakin pada ketokohan Gus Dur. Selain atasan, Gus Dur juga guru.
Berikut ramalan politik Adhie. “Gus Dur akan bertahan sampai tugasnya selesai. Itu bisa 2004, bisa 2009,” demikian Adhie.(GUH)
Sadis, detail sekali tulisan ini.