Membuat Aceh Sungguh Merdeka

PROPINSI di ujung utara pulau Sumatera ini memang menyeramkan. Kisah kematian dari pembantaian demi pembantaian sadis memenuhi catatan hariannya. Siapa yang tak bergidik mendengar nama Aceh. Ironis, di balik julukkan Serambi Mekah, ada genangan darah merah segar.

Di masa lampau, masyarakat Aceh berjuang melawan penindasan pemerintah kolonial Belanda. Tak sejengkal tanah pun mereka lepaskan. Ribuan bahkan jutaan pahlawan Aceh terkubur bersama rencong dan mimpi kemerdekaan.

Pemerintah kolonial berganti, Aceh punya mimpi kemerdekaan baru. Uang mereka kumpulkan. Awalnya, pesawat Seulawah mereka relakan pada pemerintahan baru di Jakarta. Selanjutnya, ratusan sumur minyak yang mereka berikan. Namun, kemerdekaan tetap masih mimpi.

Era 1980-an adalah puncak dari penderitaan yang mereka alami. Menyakitkan, karena besaran kekejamannya memang luar biasa. Menyakitkan, karena justru dilakukan oleh pemerintahan yang tadinya dianggap akan membawa kemerdekaan sejati di sana. Susah diterima akal sehat, tetapi nyatanya Aceh dijadikan killing field dan area promosi di tubuh militer. Namanya kala itu, Daerah Operasi Militer (DOM).

Di era reformasi masyarakat Aceh melihat sebuah celah baru. Referandum di Timor Timur menjadi model yang bisa ditiru. Tapi jelas, pemerintah menolak. DOM di cabut itu sudah bagus. Jangan lagi minta merdeka. Aceh dan Timor Timur punya sejarah yang berbeda, alasannya.

Jelas tak puas, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) unjuk gigi. Jelas tak puas, kontak senjata kembali sering terjadi. Setelah rangkaian kampanye perdamaian berantakan, pemerintah Indonesia di Jakarta makan hati. Mereka dipojokkan. Tidak hanya oleh dunia internasional, tetapi juga oleh masayrakat domestik.

Kesabaran ada batasnya, kata mereka meniru orang Aceh. Makanya, dalam sebuah rapat kabinet beberapa pekan lalu, operasi militer terbatas disetujui menjadi model penyelesaian masalah. Dan GAM beralih nama menjadi Gerakan Separatis Aceh (GSA). Tidak berumur lama, semi-kebijakan itu ditarik lagi. Kali ini dibuat kebijakan yang berstempelkan Instruksi Presiden. Lengkapnya Inpres 4/2001.

Di saat yang bersamaan, sebuah model otonomi daerah khusus untuk Aceh sedang dibahas. Namanya RUU Nanggroe Aceh Darussalam. Namun belum selesai juga sampai kini. Boro-boro selesai, konflik malah menyebar menghadapkan legislatif vis a vis eksekutif Jakarta. Presiden Gus Dur ngambek. Katanya DPR terlalu lambat dengan RUU NAD. Usul konkrit kyai dari Ciganjur ini, dibuat Perpu saja. Giliran DPR balas ngambek.

Ujung-ujungnya Aceh dan kemerdekaan yang mereka mimpikan masih tak jelas juga. Berikut laporan Teguh Santosa dan Dewi Nurcahyani dari Rakyat Merdeka mengutip penggalan dongeng Gubernur Aceh Abdullah Puteh soal penderitaan masyarakat Aceh.

Mendongengkan Mimpi Kemerdekaan Aceh

Gubernur Aceh Abdullah Puteh duduk diapit rektor Universitas Syah Kuala Aceh Dayan Dawood di sebelah kanan dan ketua Badan Koordinasi Organisasi Wanita Aceh Naimah Hasan di sebelah kiri. Sepuluh meter nun di hadapan mereka duduk ketua Panitia Khusus Naggroe Aceh Darussalam (Pansus NAD) Ferry Mursidan Baldan dari FPG dan wakil ketua Mudjib Mustain dari FKB. Kendati duduk terpisah dan berhadapan, sebenarnyalah mereka tidak saling bermusuhan.

Siang itu Abdullah mengenakan jas, kemeja dan dasi berwarna abu-abu gelap. Celana panjang yang dikenakannya pun berwarna gelap. Mungkin dengan ini Abdullah ingin mengatakan awan duka abadi masih bergelayutan di langit propinsi Serambi Mekah itu. Hanya sebuah arloji kuning emas yang melingkar manis di tangan kirinya.

Pandangan mata laki-laki yang baru empat bulan terakhir menduduki kursi gubernur Aceh ini menyapu seluruh ruangan di lantai tiga gedung Nusantara II itu. Satu persatu wajah anggota Pansus yang hadir ditatapnya lekat-lekat. Sambil menebar senyum, yang tidak dapat ditutupi terkadang terasa pahit, mulut Abdullah tak henti bercerita. Rentetan kisah tentang kepedihan demi kepedihan yang dialami masyarakat Aceh meluncur deras mulus dari mulutnya.

“Ini kesalahan pemerintah Indonesia sejak berpuluh tahun lalu. Orang-orang di pusat sini (maksudnya Jakarta-red) kekurangan informasi soal apa yang terjadi di Aceh,” katanya mengawali cerita.

Pria hitam manis kelahiran Idie Aceh tahun 1948 ini memang sengaja diundang oleh Pansus NAD sebagai nara sumber dalam pembahasan RUU NAD. Sebagai nara sumber Abdullah diminta kesediannya menceritakan pandangannya soal penderitaan masyarakat Aceh.

Untungnya Abdullah mahir bercerita. Satu persatu kalimat runtun dan teratur mengalir dari mulutnya. Intonasi suara pun harmonik. Terkadang menanjak tinggi, terkadang menurun rendah. Apabila dirasa perlu, Abdullah tak segan-segan mengepalkan tinjunya. Jadi, jangan salahkan Abdullah kalau semua orang dalam ruangan 10 x 20 meter itu diam terpukau menyimak.

Bekas anggota MPR dari fraksi utusan golongan ini melanjutkannya dongengnya. Konon menurut Abdullah, ketika dia berusia 16 tahun, di Idie ada seorang anggota satuan Brimob asal Tapanuli. Namanya Girsang. Si Girsang ini sangat dikenal masyarakat. Dia sering mengunjungi desa-desa yang ada di sana. Selain itu, kemanapun dia pergi, Girsang selalu menunggang seekor kuda.

Di balik wajahnya yang keras, Girsang menyimpan kelembutan dan sikap menghargai.

Setiap Jum’at, Girsang menjaga orang-orang yang sedang menunailkan sholat Jumat. Inilah yang membuat orang-orang jadi merasa sayang kepada Girsang. Maka ketika Girsang ditarik kembali ke Sumatera Utara, masyarakat melepasnya dengan berat hati. Seekor sapi dikorbankan sebagai penghormatan dan rasa terima kasih kepada Girsang.

Begitulah, lanjut Abdullah. Hanya kasih sayang yang dapat merebut perasaan orang Aceh. Kalau mau masuk ke Aceh, jangan pernah menyertakan sesumbar dan omong besar. Masyarakat Aceh itu bagah seuhum atau cepat panas. Jadi jangan dipancing-pancing.

Jangan pula kirim beribu-ribu peluru untuk menembak kepala setiap orang Aceh. Kirim beberapa saja penembak jitu yang dapat membidik dan merebut perhatian masyarakat Aceh.

Hanya Bantaqiah-Bantaqiah kecil yang dilahirkan dari setiap operasi militer di Aceh. Mereka kehilangan sosok bapak yang dibantai begitu saja. Atau, melihat langsung ibu mereka diperkosa.

Anak-anak yang lahir dari kekejaman inilah yang sekarang menjadi GAM. Bagi mereka yang penting bukanlah meurdeka atau merdeka, tetapi tueng bela atau balas dendam. Abdullah bertutur lagi. Kali ini sama sekali tidak datar.

Setelah setengah jam lebih, pukul 13.00 Abdullah mengakhiri ceritanya. Seorang anggota Pansus NAD ngoceh, “Jangan sampai Pak Abdullah ini kita jadikan tameng kita di Aceh.” Pernyataan lepas ini disambut tawa dan tepuk tangan dari anggota lainnya. Abdullah hanya senyum kecut dikulum.

Setelah berjabat tangan dengan anggota Pansus NAD, Abdullah tanpa banyak komentar meninggalkan ruangan. Pertanyaan wartawan soal dari Inpres 4/2001 dan pernyataan perang GAM tidak dijawabnya.

Di pelataran parkir, sebuah BMW perak dengan nopol B 7 LL sudah siap menanti. Pintu dibuka. Abdullah segera masuk. Tetap membisu.

Lama di Bandung, Gubernur di Aceh

Susah sekali menemukan orang yang tepat untuk memimpin propinsi Aceh. Bebannya pasti berat. Banyangkan saja, siapa yang tahan menerima teror setiap hari.

Ancamannya nyawa melayang. Siang didatangi kaum republiken, para serdadu. Malam didatangi kaum rebel atau pemberontak yang minta kemerdekaan.

Makanya, tidak usah heran kalau banyak pejabat Aceh menemui ajalnya dengan cara mengenaskan. Kemungkinan di-dor atau di-rencong kapan saja dan dimana saja terbuka luas. Ngeri, ya?

Adakah Abdullah Puteh mampu memegang tugas berat ini?

“Orang Aceh itu bagah seuhum, cepat darah panas. Saya juga begitu. Tetapi karena saya lama di Bandung, saya jadi cepat dingin lagi,” kata laki-laki beristri orang Jawa ini.(GUH)

Keliling Indonesia

Abdullah Puteh, ayah dari dua putra ini pernah menduduki kursi ketua umum DPP KNPI. Bayangkan saja, dengan jabatannya itu, dia pernah melakukan perjalanan keliling Indonesia. Dari satu daerah ke daerah lain. Dari satu kantong pemberontak ke kantong pemberontak lain.

Makanya, di hadapan Pansus NAD, laki-laki yang selalu menyisir klimis rambutnya ke belakang ini dengan lantang bilang, “Saya tahu banyak. Bahwa pemerintahan kita salah menerapkan sistem pembangunan. Itu sebabnya banyak masyarakat lokal di daerah tidak puas.”

Maksud Abdullah, kalau sudah begini, jangan salahkan orang-orang yang minta merdeka. Makanya, apabila diberi kepecayaan memimpin negara, uang rakyat jangan ditilep dan disimpan di kantong sendiri dan kroni.

Makmurkan rakyat, habis perkara. (GUH)

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s