




























Thomas Stamford Bingley Raffles berpikir keras. Inggris harus memiliki pelabuhan di Selat Malaka. Hanya dengan demikian dapat menguasai sisi timur Asia, yang berarti melengkapi dominasi di benua terbesar di dunia.
Raffles memulai kariernya di Asia Tenggara pada 1805 sebagai jurutulis Perusahaan Hindia Timur Inggris di Penang yang ketika itu masih bernama Pulau Pangeran Wales.
Di saat yang bersamaan, Eropa sedang dilanda perang. Napoleon Bonaparte menyapu Eropa, dan antara lain merebut Belanda. Kemenangan atas Belanda ini membuat semua wilayah Hindia Belanda di Asia Tenggara, yang kini bernama Indonesia, pun berada di bawah kekuasaan Prancis.
Di tahun 1811, Prancis menyerahkan Hindia Belanda pada Inggris yang menugaskan Thomas Raffles sebagai Letnan Gubernur di Jawa. Raffles bertugas selama lima tahun di Jawa. Dalam waktu yang relatif singkat itu, Raffles mengerjakan banyak hal, dan menuangkan semua pengalamannya selama bertugas di Jawa dalam sebuah buku yang diberi judul “History of Java”.
Buku itu diterbitkan tahun 1817, setahun setelah ia mengakhiri masa tugas di Jawa.
Di Jawa juga, persisnya di Bogor, Raffles kehilangan istrinya, Olivia Mariamne, yang meninggal dunia pada 1814. Olivia dimakamkan di Batavia (Jakarta). Dan untuk mengenangnya, Raffles membangun sebuah monumen di kebun yang ada di belakang istana mereka, yang kini dikenal sebagai Kebun Raya Bogor.
Tahun 1816, Perang Napoleon berakhir. Belanda kembali menguasai Hindia Belanda, dan Inggris angkat kaki dari Jawa. Begitu juga Raffles. Tugas baru untuknya adalah Letnan Gubernur di Bengkulu, di pesisir barat Pulau Sumatera.
Inggris hadir di Bengkulu jauh sebelum Raffles tiba. Setidaknya sejak pengaruh Inggris di Banten dipatahkan Belanda pada paruh pertama abad ke-17. Di tahun 1618 Inggris mendirikan Benteng York. Lalu di tahun 1685 mendirikan kantor dagang lada di Bengkulu atas izin dan restu penguasa lokal.
Di tahun 1714, Inggris mendirikan Benteng Marlborough yang lebih besar dari Benteng York. Benteng Marlborough ini dibangun memunggungi Samudera Hindia, menghadapi Bukit Barisan. Menandakan Inggris bersiap menghadapi serangan dari darat, dan akan menggunakan laut sebagai jalur evakuasi.
Sejak hari-hari pertama bertugas di Bengkulu, Raffles sudah tidak nyaman. Dia merasa Bengkulu tidak pantas untuk dipertahankan, selain terpencil juga dikelilingi kekuatan lawan. Sementara di sisi lain, dia merasa Inggris harus mengembangkan pengaruh ke sisi timur benua Asia. Itu hanya bisa dilakukan bila Inggris memiliki pelabuhan di Selat Malaka.
Di bulan Januari 1819, Raffles yang memang senang bertualang melakukan perjalanan ke Temasek, Singapura kini. Dia memanfaatkan konflik di antara keturunan Sultan Johor. Raffles bersimpati pada Tengku Hussein, putra sulung Sultan Johor, yang tersingkir dari Istana oleh Tengku Abdul Rahman yang didukung Belanda.
Raffles menjanjikan dukungan untuk Tengku Hussein bila Tengku Hussein memberikan kesempatan kepada Inggris untuk mengembangkan Temasek. Tengku Hussein setuju. Di bulan Februari tahun yang sama Raffles mendapatkan Temasek dan mengubahnya menjadi Singapura.
Semakin hari Singapura semakin maju. Dan ini membuat Belanda menjadi sangat khawatir. Di tahun 1824, kedua negara akhirnya sepakat untuk menandatangani Traktat London, yang antara lain isinya mengatakan bahwa Inggris berkuasa di utara selat Malaka dan Belanda berkuasa di selatan Selat Malaka. Dus artinya, Singapura sah menjadi miliki Inggris, dan Bengkulu pun menjadi milik Belanda.
Karena pernah dikuasai Inggris, ada anggapan Bencoolen yang merupakan nama Bengkulu di era kolonial berasal dari kata “cut land” atau “tanah patah”. Kata ini merujuk pada patahan-patahan yang ditemukan akibat gempa tektonik di pesisir barat Sumatera.
Ada juga memperkirakan, Bencoolen diambil dari nama sebuah bukit di Skotlandia.
Menurut anggapan lain, kata Bengkulu berasal dari kata “bangkai dan hulu”. Ini merujuk pada mayat korban perang di antara kerajaan lokal yang berada di bagian hulu (di kaki Pegunungan Bukit Barisan).
Cerita lain mengatakan, kata Bengkulu berasal dari kata “bang kulon” atau “pesisir barat”.
Ada juga cerita yang memperkirakan kata Bengkulu berasal dari aba-aba Anak Dalam, penguasa Kerajaan Sungai Serut, saat mengerahkan pasukan untuk menghambat serbuan Kerajaan Aceh yang ingin menculik putri Bengkulu, Putri Gading Cempaka.
“Empang kahulu” atau “hambat di hulu”. Begitu bunyi aba-aba itu.
Entah versi mana yang benar. Tapi untuk keperluan posting ini saya gunakan versi “tanah patah”.
