
Hari ini, Indonesia kehilangan seorang tokoh kelas dunia, Rachmawati Soekarnoputri.
Ia yang saya kenal adalah sosok yang memiliki perhatian dan kepedulian besar pada sejumlah isu internasional.
Mbak Rachma, demikian saya kerap menyapanya, kerap dan tanpa ragu menyuarakan protes terhadap praktik neokolonialisme dan neoimperialisme yang masih terjadi di berbagai belahan dunia seperti di Palestina, Afghanistan, Irak, Iran, Kuba, Venezuela, juga Korea Utara.
Mbak Rachma juga merupakan salah seorang tokoh reunifikasi Semenanjung Korea. Di organisasi Komite Regional Asia Pasifik untuk Reunifikasi Damai Korea (APRCPRK) bersama antara lain mantan Perdana Menteri Nepal, Madhav Kumar Nepal, dan Walikota Sydney, Peter Woods, ia duduk sebagai Ketua Bersama.
saya sendiri di APRCPRK dipercaya sebagai Direktur Informasi Publik.
Kedekatan Mbak Rachma dengan isu reunifikasi Korea berlangsung sejak lama. Pada tahun 2001 Mbak Rachma berkunjung ke Pyongyang. Kunjungan itu kembali menghangatkan hubungan kedua negara yang sempat redup di era Orde Baru.
Sepulang dari kunjungan tersebut, Mbak Rachma mendirikan dan memimpin Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea Utara (PPIK) yang berperan untuk memperkenalkan Korea Utara dan mempromosikan perdamaian di Semenanjung Korea dan kawasan Asia Timur.
Posisi Ketua PPIK ditinggalkan Mbak Rachma di tahun 2007 saat ia ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
Sejak itu, PPIK dipimpin duet Ketua Ristiyanto dan saya sebagai Sekretaris Jenderal. Kini PPIK dikenal sebagai salah satu organisasi yang paling aktif dalam mempromosikan perdamaian dan reunifikasi Korea.
Adalah Mbak Rachma yang ikut mendorong agar skala kampanye reunifikasi damai Semenanjung Korea diperlebar hingga ke berbagai kawasan di dunia.
Sebagai wartawan dan akademisi saya sering berkunjung ke Korea Utara. Dari kunjungan-kunjungan, dua di antaranya sebagai utusan khusus Mbak Rachma.
Pertama di tahun 2003, saya mewakili Mbak Rachma yang berhalangan memenuhi undangan pemerintah Korea Utara karena sedang mempersiapkan Partai Pelopor yang didirikannya ikut Pemilu 2004.
Lalu di tahun 2015, saya kembali menjadi utusan khusus Mbak Rachma ke Pyongyang untuk menyerahkan Star of Sukarno Award yang diberikan YPS kepada sejumlah tokoh dunia termasuk pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un.
Trofi dan sertifikat Star of Sukarno itu diterima Presiden Presidium Majelis Tertinggi Rakyat Korea, Kim Yong Nam, dalam sebuah upacara resmi di Istana.
Sampai tulisan ini saya unggah, saya telah menghubungi sejumlah sahabat Mbak Rachma baik di luar negeri maupun perwakilan negara sahabat di Jakarta. Mereka semua terkejut dengan kabar duka ini.
Saya juga menerima sejumlah ucapan duka untuk disampaikan ke pihak keluarga. Antara lain dari Dutabesar Rusia Lyudmila Vorobieva, Dubes Kuba Tania Velazquez, Dubes Iran Mohammad Azad, Dubes Venezuela Radames Gomez, dan Dubes Korea Utara An Kwang Il.
“I have bitter feeling on demise of Ibu Rachma. I reported the sad news to my country, and will follow the procedure for the ceremony,” tulis Dubes An Kwang Il dalam pesannya.
“I am very sorry to know that Ibu Rachmawati passed away. Please accept my most heartfelt condolences,” tulis Dubes Lyudmila Vorobieva.
“This bad news fills us with sadness,” tulis Dubes Radames Gomez.
Sejarawan Greg Poulgrain yang sedang berada di Brisbane, Australia, juga telah menyampaikan ucapan duka.
Dengan Greg Poulgrain, Mbak Rachma pernah merancang pembuatan film dokumenter mengenai Bung Karno. Rencana itu terhenti karena pandemi Covid-19 yang merebak sejak akhir 2019.
“There is nobody but you to whom I can pass on my concolences. I am so sorry to hear that Ibu Rachma passed away. Wow, a real lady she was. What a life!” tulis Greg dalam pesannya.
mbak Rachma menghembuskan nafas terakhir dalam perawatan di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, sekitar pukul 6.15 WIB, Sabtu (3/7). Putri dari pasangan Sukarno dan Fatmawati ini meninggal di usia 70 tahun. Menurut rencana Mbak Rachma dimakamkan di Blok AA 1 Blad 7 TPU Karet Bivak, Jakarta, Sabtu siang. []