Di Makam Raden Wijaya(?)

Saya sudah mengawali dengan kisah Arca Joko Dolog di Taman Apsari, Surabaya, beberapa hari lalu. Arca dari batu andesit hitam ini adalah gambaran Kertanegara, raja terakhir Singasari, sebagai Dhyani Buddha.

Informasi itu diperoleh pada prasasti di bagian dudukan arca. Juga disebutkan bahwa arca dipahat tahun 1289 oleh pematung Nada.

Masih ada perbedaan pandangan mengenai asal usul sang arca. Ada yang mengatakan patung setinggi 1,6 meter itu berasal dari Candi Jawi di Prigen, Pasuruan, yang sama-sama terbuat dari batu andesit.

Ada juga yang mengatakan, patung manusia berkepala plontos dengan sikap duduk bhumisparsa mudra itu berasal dari Trowulan yang dipercaya sebagai ibukota Majapahit pada masa keemasannya.

Kekuasaan Kertanegara berakhir di tahun 1892 oleh kudeta yang dilakukan Jayakatwang, Bupati Gelang Gelang (kira-kira di sekitar Madiun sekarang).

Jayakatwang ini bukan tokoh sembarangan. Ia keturunan Kertajaya, raja Kadiri (sekarang Kediri) terakhir.

Leluhurnya itu digulingkan Ken Arok yang sebelumnya berhasil merebut kekuasaan (dan Ken Dedes) dari Tunggul Ametung.

Adapun Kertanagara adalah keturunan Anusapati, anak dari Tunggul Ametung dan Ken Dedes.

Di sisi lain, Jayakatwang dan Kertanagara besanan. Putra Jayakatwang, Ardaraja, menikah dengan seorang putri Kertanagara.

Ketika menyadari dirinya dikepung laskar Gelang Gelang, Kertanegara memerintahkan menantunya yang lain, Raden Wijaya, untuk menghadapi pasukan pemberontak. Ardaraja ikut dalam pasukan Raden Wijaya. Namun di ujung pertandingan, Ardaraja meninggalkan Raden Wijaya dan bergabung dengan pasukan ayahnya.

Setelah Kematian Kertanagara

Lingkungan istana Singasari dibiarkan kosong. Jayakatwang tidak mendapatkan perlawanan yang berarti. Ia menang mudah. Kertanegara berhasil digulingkan.

Bagaimana dengan Raden Wijaya? Ia diampuni Jayakatwang dan diberi kesempatan untuk mengembangkan Hutan Tarik.

Ada yang mengatakan Hutan Tarik berada di wilayah Sidoarjo kini. Tepatnya di Kecamatan Tarik.

Juga ada yang mengatakan Hutan Tarik berada di salah satu pojok di Desa Bejijong di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Di kawasan ini ditemukan banyak bangunan peninggalan Majapahit.

Trowulan, bersama dengan Sooko di Mojokerto serta Mojoagung dan Mojowarno di Kabupaten Jombang saat ini, dipercaya sebagai sebuah kawasan yang pada masanya masuk dalam wilayah ibukota Majapahit. Luas kawasan ini sekitar 11 x 9 kilometer per segi.

Foto-foto dalam unggahan ini berasal dari dataran tinggi atau siti inggil di pojok Desa Bejijong itu. Tempat ini diperkenalkan sebagai makam Raden Wijaya.

Ada lima makam di dalam tembok beton yang dikelilingi pohon Kesambi. Kelima makam ini dirawat khusus. Batu-batu nisannya ditutup kain kuning, sementara bagian kepala setiap makam dinaungi payung yang juga kuning. Dinding bagian dalam makam dihiasi kain panjang merah putih.

Makam Raden Wijaya berada di baris pertama. Makam Permaisuri Gayatri, putri dari Kertanegara, dan makam selir Dhoro Phetak berada di sisi kanan. Sementara makam selir Dhoro Jinggo dan makam seorang abdi bernama Kaki Regel, berada di sisi kiri.

Menurut Negarakretagama, Sri Rajendradewi Dyah Dewi Gayatri bukan satu-satunya putri Kertanagara yang dinikahi Raden Wijaya.

Selain Gayatri, Raden Wijaya juga dikisahkan meninkah dengan tiga putri Kertanagara lainnya, yaitu Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuwaneswari, Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, dan Sri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita.

Nama Majapahit konon berasal dari pohon Maja yang buahnya pahit, yang ditemukan Raden Wijaya di Hutan Tarik. Di tempat ini pun, di komplek makam Raden Wijaya, saya lihat banyak pohon Maja selain pohon Kesambi yang usianya ratusan tahun.

Sebelum saya meninggalkan makam, jurukunci menawarkan pohon maja untuk saya bawa ke Jakarta. Saya beli dua.

Tetapi, apakah memang ada makam Raden Wijaya? Bukankah makam adalah tadisi Islam, sementara Raden Wijaya menganut agama Budha, dan kemungkinan besar dikremasi setelah meninggal dunia?

Candi Brahu yang tak jauh dari tempat itu dipercaya pada masanya adalah tempat penyimpanan abu raja-raja. Mulai dari era Kerajaan Medang, Singasari, sampai Majapahit.

Konon, abu Raden Wijaya pun sempat disimpan Candi Brahu yang dibangun di abad ke-10 di era Mpu Sendok dari Kerajaan Medang.

Sementara dalam kitab Negarakretagama disebutkan, Raden Wijaya meninggal dunia pada 1309. Candi Simping di Blitar dan arca Siwa di candi itu dibangun untuknya.

Keturunan Raja Sunda

Dalam Naskah Wangsakerta yang disusun Kesultanan Cirebon, Raden Wijaya yang setelah menjadi Raja Majapahit memiliki nama resmi Prabu Kertarajasa Jayawardhana Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana disebutkan sebagai keturunan Raja Sunda.

Ayahnya, Rakyan Jayadarma, adalah anak dari Prabu Guru Darmasiksa yang berkuasa di Kerajaan Sunda Galuh. Ibunya, Dyah Lembu Tal adalah putri Singasari, anak dari Mahisa Campaka.

Sebagai cucu raja, Raden Wijaya berpeluang besar menduduki singgasana Kerajaan Sunda Galuh. Namun jalan hidupnya berubah setelah Rakyan Jayadarma tewas diracun.

Ibunya yang tak merasa aman lagi tinggal di Kerajaan Sunda Galuh memutuskan kembali ke Singasari dan membawa Raden Wijaya kecil.

Kisah di dalam Naskah Wangsakerta ini berbeda dengan kisah di dalam Kitab Negarakretagama. Di dalam Negarakretagama, Lembu Tal disebutkan sebagai seorang pria, ayah dari Dyah Wijaya.

Kitab Pararaton mengisahkan hal yang lain lagi. Raden Wijaya dalam kitab ini disebutkan sebagai putra dari Mahisa Campaka, salah seorang pangeran Singasari. Raden Wijaya kecil tumbuh besar dan melewati masa-masa remaja di lingkungan keraton Singasari.

Mengalahkan Jayakatwang

Setahun setelah kematian mertuanya, giliran Raden Wijaya membalas dendam. Ia menggulingkan Jayakatwang memanfaatkan kehadiran pasukan China-Mongol yang dikirim Kublai Khan untuk menghukum Raja Jawa yang menolak membayar upeti.

Raden Wijaya berkoalisi dengan pemimpin pasukan China-Mongol, Ike Mese. Selain itu, ia juga mendapatkan dukungan dari penguasa Songeneb (Sumenep kini) Arya Wiraraja yang dalam episode sebelumnya ikut Jayakatwang dalam pemberontakan menggulingkan Kertanagara.

Koalisi ketiga pasukan ini berhasil mengalahkan Jayakatwang dan selanjutnya, Raden Wijaya dan Arya Wiraraja menyerang balik dan memukul mundur pasukan China-Mongol yang sedang mabuk kemenangan.

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s