





Di ujung putus asa menunggu kesempatan memasuki Irak dari Suriah, saya memutuskan untuk berangkat ke Turki. Naik bis malam, dari Damaskus. Ke utara. Bulan Maret 2003.
Perjalanan dari Damaskus ke Ankara selama 12 jam. Malam hari tak banyak yang bisa saya lihat, kecuali kegelapan.
Kota Turki pertama yang disinggahi bis adalah Antakya. Hari masih pagi. Bis berhenti kira-kira satu jam. Atau lebih. Cukup bagi saya untuk melihat-lihat keadaan di sekitar terminal dan pasar. Menyeberangi jembatan di atas Sungai Arsi.
Setelah itu bis melanjutkan perjalanan. Tak lama, melintasi kota pelabuhan Iskanderun. Dan terus ke utara sampai tiba di Ankara.
Sisa-sisa salju di tepi jalan dan kebun zaitun. Itu gambaran yang masih saya ingat dalam paruh kedua perjalanan.
“Berapa lama Anda di Ankara?” tanya Dubes Turki Mahmut Erol Kilic, saat saya temui di Kedubes Turki kemarin.
Nah, saya lupa pastinya. Saya bilang mungkin empat atau lima hari. Yang jelas tak lama. Mungkin hanya tiga hari. Saya kembali ke Suriah juga dengan bis malam.
Di tahun 2003 itu pemegang paspor Indonesia masih bisa memasuki Turki tanpa visa. Jadi tak ada masalah saat saya berada di imigrasi Turki. Yang jadi masalah adalah saat ingin kembali masuk Suriah.
Saya nyaris tidak bisa masuk karena visa Suriah yang saya punya hanya untuk satu entry. Entah bagaimana, saya baru menyadari itu saat bersitegang dengan petugas Suriah di perbatasan.
Juga entah bagaimana, akhirnya saya diizinkan juga untuk kembali memasuki Suriah. Mungkin, mereka melihat sinar ketulusan yang terpancar dari mata saya yang waktu itu masih unyu-unyu. Hehe
Ending cerita yang berkesan dan luwes. Dari awal bahasa sartawan nya cukup enjoy dinikmati, tapi begitu endingnya wow, saya rasa ini gaya cerita yang hanya dimiliki oleh Mr. Teguh Santoso aja nih, hehe. Salam pena Mr. Teguh, semoga selalu dalam keberuntungan 🙏