Sejauh ini yg saya jadikan rujukan utama mengenai Sunan Ampel adalah buku karya Slamet Mulyana, “Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Berdirinya Kerajaan Islam Nusantara” yang pernah dibreidel pada 1968 dan diterbitkan kembali satu dekade yg lalu.
Disebutkan di dalamnya, dari naskah2 Klenteng Sam Po Kong di Semarang, bahwa Sunan Ampel yang juga dikenal sebagai Raden Rahmat memiliki nama asli Bong Swi Hoo.
Ia adalah guru dari Jin Bun atau Raden Patah yang merupakan anak dari Raja Majapahit terakhir Bhre Kertabumi atau Brawijaya dengan seorang putri Tiongkok dari Champa.
Kronik Klenteng Sam Po Kong adalah satu dari sekian sumber sejarah yg dirujuk oleh Slamet Mulyana di dalam bukunya itu. Sejauh yg saya pahami, Slamet Mulyana lebih mempercayai sumber ini dan menganggapnya sebagai catatan2 yg presisi.
Slamet Mulyana membandingkan kronik Sam Po Kong itu dengan sumber2 lain seperti “Babad Tanah Jawi” dan juga “Suma Oriental” karya Tom Pires penulis Portugis yg berada di Malaka setelah Malaka direbut Portugis pd 1511.
Slamet Mulyana tidak mempelajari langsung naskah2 itu, melainkan membaca ulasan Mangaraja Onggang Parlindungan yang menulis buku “Tuanku Rao” yg fenomenal juga kontroversial.
Bagi sementara kalangan, yg jadi masalah adalah setelah direbut paksa oleh Residen Poortman dari Klenteng tahun 1928, naskah2 itu dibawa ke Belanda.
Bagi kalangan yg meragukan, bukan tidak mungkin cerita yg disebutkan berasal dari Kronik Klenteng Sam Po Kong adalah “produksi” Belanda demi mengaburkan sejarah atau apapun yg pernah terjadi di negeri ini.
Terlepas dari kisah2 di atas, saya suka cara Pak Mustajab menuntun saya dan menceritakan satu dua objek di kompleks pemakaman ini.
Bahasanya ringan, jelas, beberapa hal jenaka dia sisipkan dalam ceritanya. Sering ia campur dengan bahasa Inggris.