Bersama Pak Mustajab di Makam Sunan Ampel di Surabaya, 2019

Sejauh ini yang saya jadikan rujukan utama mengenai Sunan Ampel adalah buku karya Slamet Mulyana, “Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Berdirinya Kerajaan Islam Nusantara” yang pernah dibreidel pada 1968 dan diterbitkan kembali satu dekade yang lalu.

Disebutkan di dalamnya, dari naskah-naskah Klenteng Sam Po Kong di Semarang, bahwa Sunan Ampel yang juga dikenal sebagai Raden Rahmat memiliki nama asli Bong Swi Hoo.

Ia adalah guru dari Jin Bun atau Raden Patah yang merupakan anak dari Raja Majapahit terakhir Bhre Kertabumi atau Brawijaya dengan seorang putri Tiongkok dari Champa.

Kronik Klenteng Sam Po Kong adalah satu dari sekian sumber sejarah yang dirujuk oleh Slamet Mulyana di dalam bukunya itu. Sejauh yang saya pahami, Slamet Mulyana lebih mempercayai sumber ini dan menganggapnya sebagai catatan-catatan yang presisi.

Slamet Mulyana membandingkan kronik Sam Po Kong itu dengan sumber-sumber sejarah lain seperti “Babad Tanah Jawi” dan juga “Suma Oriental” karya Tom Pires penulis Portugis yang berada di Malaka setelah Malaka direbut Portugis pd 1511.

Slamet Mulyana tidak mempelajari langsung naskah-naskah itu, melainkan membaca ulasan Mangaraja Onggang Parlindungan yang menulis buku “Tuanku Rao” yang fenomenal juga kontroversial.

Bagi sementara kalangan, yang jadi masalah adalah setelah direbut paksa oleh Residen Poortman dari Klenteng tahun 1928, naskah-naskah itu dibawa ke Belanda.

Bagi kalangan yang meragukan, bukan tidak mungkin cerita yang disebutkan berasal dari Kronik Klenteng Sam Po Kong adalah “produksi” Belanda demi mengaburkan sejarah atau apapun yang pernah terjadi di negeri ini.

Terlepas dari kisah-kisag di atas, saya suka cara Pak Mustajab menuntun saya dan menceritakan satu-dua objek di kompleks pemakaman Sunan Ampel di Surabaya.

Bahasanya ringan, jelas, beberapa hal jenaka dia sisipkan dalam ceritanya. Sering ia campur dengan bahasa Inggris.

Leave a comment