
Sejarawan asal Australia Greg Poulgrain mengibaratkan emas di Papua yang dikuasai Freeport sebagai “kutukan” bagi Indonesia. Kekayaan alam yang melimpah itu ikut mewarnai dinamika politik di tanah air juga pertarungan kepentingan di arena internasional.
Dalam buku “The Incubus of Intervention” yang diterbitkan tahun 2015, Poulgrain menggambarkan pertentangan yang terjadi di dalam tubuh pemerintahan Amerika Serikat di paruh pertama era 1960an.
Keinginan Presiden John F. Kennedy menjadikan Presiden Sukarno sebagai sahabat di Asia Tenggara, katanya, mendapat perlawanan dari kelompok hawkish garis keras yang dimotori Direktur Central Intelligent Agency (CIA) Allen Dulles.
Dulles yang merupakan adik kandung Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Foster Dulles disebutkan lebih dahulu mengetahui informasi mengenai deposit emas di pegunungan Papua dalam jumlah yang gigantic.
Informasi itu dia peroleh saat ia masih bekerja sebagai pengacara dalam sebuah kasus melawan Royal Dutch Petroleum Company yang ingin membangun industri minyak di Hindia Belanda, nama lama Indonesia pada masa itu. Untuk waktu yang cukup lama ia menyimpan informasi itu dan tidak memberitahukannya kepada Kennedy.
Walau Kennedy dan Dulles sama-sama ingin membantu Indonesia mendapatkan Papua yang ketika itu sedang disengketakan dengan Belanda, tetapi sebenarnya mereka punya strategi umum yang berbeda.
Dulles ingin menjatuhkan Sukarno. Dia punya alasan yang menurutnya sangat kuat. Pertama, Sukarno terlalu dekat dengan Blok Timur. Kedua, Sukarno yang nasionalis bukan sosok yang mudah untuk ditaklukkan. Selain itu, Dulles menilai Indonesia tempat yang ideal untuk dijadikan pangkalan operasi melawan komunisme internasional yang menyebar di Asia Tenggara.
Sementara Kennedy menghormati posisi Bung Karno yang memilih tidak berpihak pada salah satu blok yang sedang bertarung di era Perang Dingin. Bantuan ekonomi kepada Indonesia, menurut Kennedy, adalah cara paling elegan untuk mendapatkan simpati Sukarno. Sehingga walaupun Indonesia tidak menjadi satelit Amerika Serikat, tetapi Sukarno akan cukup bersahabat untuk diajak bicara apabila dukungan dibutuhkan suatu waktu.
Sedemikian dekatnya hubungan kedua pemimpin itu, sampai-sampai saat Sukarno berkunjung ke Gedung Putih di tahun 1961 Kennedy mengajak Sukarno berbicara di kamar tidurnya. Sukarno juga mengundang Kennedy ke Indonesia. Menurut rencana, kunjungan Kennedy ke Indonesia akan dilakukan pada tahun 1964.
Tetapi rencana ini tidak terlaksana. Pada November 1963 Kennedy terbunuh ketika sedang berkunjung ke Texas. Kematian Kennedy membuat jalan Dulles menguasai Indonesia dan membukakan pintu bagi perusahaan Amerika Serikat untuk menguasai emas di Papua terbuka lebar.
Presiden Lyndon B. Johnson yang menggantikan Kennedy mengambil kebijakan yang berbeda terhadap Sukarno dan Indonesia. Ia cenderung menerima jalan pikiran Dulles. Johnson menggelontorkan bantuan kepada kelompok militer, namun di saat yang sama mengurangi bantuan ekonomi. Hubungan Sukarno dan AS pun merenggang.
Setelah peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal TNI Angkatan Darat dini hari 1 Oktober 1965, posisi Sukarno semakin lemah, sampai akhirnya benar-benar meninggalkan panggung politik Indonesia di tahun 1968.
Di awal 1966, Freeport mulai melirik Indonesia. Atas bantuan seorang petinggi perusahaan minyak Texaco di Texas, Julius Tahija, Freeport mendapat akses untuk merapat ke pusat kekuasaan di Indonesia ketika itu, Soeharto.
Julius Tahija adalah teman satu angkatan Soeharto di
Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda.
Pada 12 Maret 1967 Soeharto dilantik menjadi Pejabat Presiden. Tak lama setelah itu, Freeport Sulphur yang sekarang dikenal sebagai Freeport-McMoRan diberi izin untuk melakukan penambangan di Irian Barat, kini Papua.
Kontrak Karya (KK) yang ditandatagani tahun 1967 memberikan hak kepada Freeport Sulphur melalui anak perusahaannya, Freeport Indonesia, bertindak sebagai kontraktor tunggal dalam eksplorasi, ekploitasi, dan pemasaran tembaga Irian Jaya selama 30 tahun.
Dalam perbincangan dengan redaksi beberapa waktu lalu, Poulgrain mengatakan, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang berkuasa dari tahun 1999 hingga 2001 memahami betul jalan pikiran dan ideologi nasionalisme Sukarno.
Gus Dur kerap menugaskan orang kepercayaannya, Rizal Ramli, memimpin pembicaraan strategis yang terkait dengan kepentingan nasional, termasuk bernegosiasi dengan CEO Freeport-McMoRan James Moffett.
Dalam sebuah pertemuan di sebuah hotel di Jakarta Selatan, Moffett mengakui bahwa di balik perpanjangan KK di tahun 1991 pihaknya menyuap pejabat tinggi Indonesia. Praktik kotor inilah yang membuat perpanjangan kontrak dapat dilakukan enam tahun lebih cepat.
Rizal Ramli mengancam akan menggugat Freeport ke pengadilan internasional karena berlaku curang. Singkatnya, Moffett menyerah, dan berjanji akan membayar ganti rugi sebesar 5 miliar dolar AS. Ia juga bersedia membayar kompensasi atas kerusakan lingkungan dan membangun smelter.
Tak lama setelah pembicaraan itu, gerakan anti-Gus Dur semakin besar. Di bulan Juli 2001 Gus Dur pun meninggalkan Istana Negara.
Apakah tekanan pemerintah Indonesia terhadap Freeport ketika itu memiliki kaitan dengan kejatuhan Gus Dur?
Menurut Poulgrain, diperlukan studi lebih lanjut untuk menemukan kaitan di antara kedua peristiwa itu. Namun yang pasti, seperti yang dicatat dalam banyak lembar sejarah dunia, kekayaan alam di suatu negeri seringkali menjadi “kutukan”. Ia mengundang kekuatan asing dan kaum nekolim yang ingin merebutnya.
Pemerintahan nasionalis yang ingin melindungi kekayaan alam dan memanfaatkannya untuk kepentingan rakyat, seringkali harus berhadapan dengan gelombang keserakahan ini.
Perlawanan sering tidak maksimal karena ada anasir di dalam negeri yang bisa dengan mudah bermain mata dengan kekuatan nekolim ini.
Poulgrain berpesan agar Indonesia terus berjuang melawan “kutukan” itu sampai kapanpun, dengan cara apapun. [guh]