

KEDUA matanya berkaca-kaca, suaranya terdengar berat. Sekuat tenaga ia menahan emosi agar air matanya tidak jatuh menetes. Raut wajah wanita berusia 29 tahun itu menyiratkan rasa ketakutan yang amat sangat saat bercerita tentang penyiksaan dan penderitaan yang dialaminya di tanah airnya sendiri, Uighur-Xinjiang, Republik Rakyat China.
Wanita itu bernama Mihrigul Tursun. Dibantu seorang penerjemah, Tursun berbicara di hadapan National Press Club di Washington, Amerika Serikat, akhir November lalu mengenai penyiksaan yang dia alami di kamp pendidikan politik di Xinjiang.
Tursun lahir di Uighur, Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR). Beberapa tahun lalu ia ke Mesir untuk belajar bahasa Inggris. Di negeri Cleopatra itu pula Tursun bertemu dengan pria yang kelak menjadi suaminya. Dari pernikahan ini, Tursun melahirkan bayi kembar tiga.
Tahun 2015 Tursun kembali ke Xinjiang untuk bertemu dengan keluarganya. Saat itulah ia ditangkap dan dipaksa masuk ke kamp pendidikan politik. Pemerintahan Partai Komunis ingin memastikan apakah dirinya masih Tursun yang dulu, yang komunis dan mencintai China dengan segenap jiwa raga.
Di tahun 2015 itu, Tursun mendekam selama dua bulan di dalam kamp pendidikan politik. Ketika ia berada di dalam kamp, seorang anaknya meninggal dunia. Sementara dua anak lainnya mengalami gangguan kesehatan dan sempat menjalani operasi.
Dua tahun kemudian, Tursun kembali ditahan. Kali ini siksaan yang dialaminya semakin keras dan sadis. Tak jarang Tursun mengalami penyiksaan di atas kursi listrik yang diberi nama
“kursi harimau”.
“Setelah berada di kamp selama tiga bulan, saya terus mengalami kejang-kejang dan kehilangan kesadaran,” kata Tursun seperti dimuat Times.
“Saya merasa lebih baik mati daripada menjalani siksaan. Saya memohon agar mereka membunuh saya,” tambah Tursun.
Selain siksaan fisik, otoritas di dalam kamp juga menyiksa psikologi Tursun.
“Mereka mengatakan, ibu dan anak saya telah meninggal. Ayah saya menjalani kehidupan di penjara, dan keluarga saya hancur karena saya,” sambungnya.
Tursun tidak sendirian. Bersamanya ada ratusan ribu hingga, diperkirakan, satu juta warga Uighur yang ditahan di kamp-kamp pendidikan politik.
Kisah lain disampaikan Abdulla.
Abdulla adalah nama samaran yang digunakan Al Jazeera untuk melindungi keselamatan seorang pria Uighur. Setiap malam, Abdulla berangkat tidur dengan membawa rasa takut yang luar biasa. Ia takut pintu rumahnya diketuk oleh orang yang akan membawa dirinya ke kamp pendidikan politik.
Abdulla selalu menggunakan kata Xinjiang untuk menyebut Uighur, dan mengakui bahwa Republik Rakyat China adalah rumahnya.
Nenek moyangnya sudah menetap di tanah ini sejak ratusan tahun lalu, sebelum Uighur dicaplok Partai Komunis China pada tahun 1949.
Dalam beberapa bulan terakhir, tidak sedikit teman, tetangga dan kolega Abdulla telah mendengar ketukan yang menakutkan di pintu rumah mereka. Dalam keheningan malam mereka menghilang, tanpa jejak atau peringatan.
Tetapi sesungguhnya, semua orang, termasuk Abdulla, tahu ke mana mereka dibawa dan ditahan. Tetapi tidak ada yang tahu berapa lama mereka akan ditahan. Mereka juga tidak tahu apakah mereka dapat kembali ke rumah atau tidak. Sebagian besar tetangga yang dikenal Abdulla belum kembali juga.

Strategi dari Era Kolonial
Tursun dan Abdulla hanya dua dari sekian banyak kisah pahit yang dialami warga Uighur di Xinjiang.
Kamp pendidikan politik mulai didirikan di Uighur pada tahun 2014. Sejak tahun 2016, setelah jabatan Sekretaris Partai Komunis di Xinjiang diduduki Chen Quanguo, keberadaan kamp pendidikan politik semakin massif, dan “program pendidikan” di dalam kamp pun semakin intensif. Menurut seorang blogger China, Shawn Zhang, setidaknya ada 31 kamp pendidikan politik di seluruh kawasan itu.
Banyak di antara kamp-kamp ini tadinya adalah sekolah vokasional yang mendidik tenaga kerja terampil untuk melayani industrialisasi di Xinjiang dan sekitarnya. Juga ada bangunan rumah sakit yang dialihfungsikan menjadi kamp pendidikan politik.
Bangunan kamp pendidikan politik dikelilingi pagar kawat berduri dan dilengkapi menara pengawas. Membuat kamp lebih terlihat sebagai rumah tahanan daripada fasilitas kursus pendidikan musim panas, kata Zhang.
Chen Quanguo dikenal sebagai tokoh Partai Komunis garis keras. Sebelum memimpin Partai Komunis di Xinjiang, yang menjadikan dirinya sebagai pemimpin dan penguasa daerah itu, Chen yang lahir di Henan lebih dahulu ditugaskan di Daerah Otonom Tibet yang dalam bahasa China disebut Xizang.
Di negeri “puncak dunia” itu Chen berhasil “mengamankan” Tibet dengan mengadopsi pendekatan polisional ala pemerintahan kolonial dari abad yang lalu. Caranya dengan melakukan pengawasan ketat terhadap warga “pribumi”. Ia memperbanyak jumlah personel polisi, pos polisi di kawasan pemukiman, serta memasang kamera pemantau dan pemindai. Untuk menunjang strategi polisional itu, fasilitas rumah tahanan untuk menetralisir individu-individu yang dinilai keluar dari jalur komunisme China pun diperbanyak.
Akhir Agustus lalu, Komite Eliminasi dan Diskriminasi Rasial PBB mencatat, setidaknya satu juta warga Uighur ditahan pemerintah China dan ditempatkan di kamp pendidikan politik. Sementara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat memperkirakan jumlah “peeserta” di dalam kamp pendidikan politik Xinjiang antara 800 ribu hingga dua juta orang.
Dari Uighur ke Xinjiang
Kata Uighur, menurut Lilla Russell-Smith dalam buku “Uyghur Patronage in Dunhuang: Regional Art Centers on the Northern Silk Road” (2005), diduga berasal dari sebuah inskripsi berbahasa Turkis Tua, uyyur. Kata ini merujuk pada polity Turkis yang terbentuk pada masa Khaganate Gokturk Pertama dan Khaganate Gokturk Kedua, antara 630 hingga 684 M.
Kata Uighur akhirnya diadopsi menjadi nama sebuah etnis dan identik dengan Islam yang merupakan agama hampir semua anggotanya. Jumlah Muslim Uighur kini diperkirakan sekitar 11 juta jiwa. Sebagian besar tinggal di Xinjiang, sebelah barat China, yang berbatasan dengan beberapa negara, termasuk India, Afghanistan, dan Mongolia.

Warga Uighur melihat diri mereka secara budaya dan etnisitas lebih dekat dengan bangsa-bangsa lain di Asia Tengah, daripada dengan bangsa Han yang berkuasa di tanah mereka. Bahasa yang mereka gunakan pun mirip dengan ragam bahasa Turkis yang digunakan di Kazakhstan, Kyrgyzstan, Turkmenistan, Tajikistan, dan Uzbekistan.
Bangsa Uighur menetap di Xinjiang sejak beberapa abad silam. Pada awal abad ke-20 bangsa Uighur mendeklarasikan kemerdekaan mereka dengan nama Turkistan Timur. Di tahun 1949, pemimpin Partai Komunis China, Mao Zedong memasukkan negeri itu ke dalam kekuasaan penuh pemerintah Beijing, dan mulai menyebutnya Xinjiang yang berarti “Daerah Baru”.
Namun sesungguhnya pemerintahan Partai Komunis bukan pihak pertama yang menggunakan kata Xinjiang. Nama itu sudah digunakan Dinasti Qing yang berkuasa dari pertengahan abad ke-17 hingga perlawanan kaum nasionalis membubarkan emporium dan memaksa Kaisar Pu Yi turun dari tahta pada tahun 1912.
Di masa-masa sebelumnya, kawasan itu dikenal dengan berbagai nama. Mulai dari Khotan, Khotay, Tartar China, Tartar (Dataran) Tinggi, Chagatay Timur karena merupakan bagian dari Khanat Chagatay, Moghulistan atau Tanah Bangsa Mongol, Kashgaria, Altishahr atau Enam Kota Tarim, Little Bokhara, dan Serindia karena juga dipengaruhi oleh budaya India.
Menurut Gardner Bovingdon dalam buku “The Uyghurs: Stranger in Their Own Land” yang diterbitkan Columbia University Press tahun 2010, istilah “Turkistan Timur” diperkenalkan ahli China dari Rusia, Nikita Yakovlevich Bichurin alias Hyacinth, pada tahun 1829. Hyacinth menggunakan nama itu untuk menggantikan istilah “Turkistan China”. Namun “Turkistan Timur” yang dimaksud Hyacinth hanya merujuk pada kawasan dataran rendah Tarim di selatan, dan tidak termasuk Dzungaria di utara.
Bovingdon juga mencatat, nama resmi yang awalnya digunakan pemerintahan Partai Komunis China untuk kawasan itu adalah “Daerah Otonomi Xinjiang”. Namun pemimpin pertama Xinjiang, Saifuddin Azizi, menolak nama yang diberikan Mao Zedong itu.
Otonomi, kata Azizi, tidak bisa diberikan kepada pegunungan dan sungai-sungai. Otonomi hanya dapat diberikan kepada manusia dan bangsa. Partai Komuis China setuju, dan sejak itu menambahkan kata Uighur di dalam nama resmi Xinjiang.
Ruang Gerak Dibatasi
Sejak menduduki Xinjiang, pemerintahan Partai Komunis China menaruh kecurigaan bahwa warga Uighur berpotensi menyemai bibit separatisme dan terorisme. Karena itulah, Beijing melakukan sejumlah langkah untuk meredam potensi itu.
Salah satu langkah yang diambil di masa awal pendudukan Xinjiang oleh Beijing adalah dengan mendorong imigrasi massal bangsa Han China ke Xinjiang. Pada tahun 1949 jumlah populasi Han di Xinjiang hanya berkisar enam persen dari total penduduk Xinjiang. Namun di tahun 2010, jumlahnya melonjak hingga 40 persen dari total populasi.
Langkah lain yang juga dilakukan oleh China demi meredam apa yang mereka sebut sebagai bibit separatisme dan terorisme adalah dengan mengeluarkan serangkaian aturan untuk membatasi ruang gerak warga Uighur.
Baru-baru ini Beijing mengeluarkan aturan yang melarang warga muslim Uighur melakukan ibadah atau mengenakan pakaian keagamaan di depan umum. Selain itu juga ada aturan batas usia remaja di Xinjiang yang bisa memasuki masjid, yakni usia 18 tahun. Bukan hanya itu, pemuka agama juga diwajibkan untuk terlebih dulu melaporkan naskah pidatonya sebelum dibacakan di depan umum.
Upacara pernikahan atau pemakaman yang menggunakan unsur agama Islam pun kerap diasosiasikan sebagai gejala radikalisme agama.
Kondisi tersebut dialami warga Uighur selama beberapa tahun terakhir. Laporan Komite Eliminasi dan Diskriminasi Rasial PBB yang dirilis Agustus 2018 lalu semakin membukakan mata internasional atas apa yang dialami oleh warga Uighur.
Komite itu dalam laporannya menyebut bahwa China telah mengubah wilayah otonomi Uighur menjadi sesuatu yang menyerupai kamp interniran skala besar. Laporan yang sama menyebut, sekitar satu juta orang, atau mungkin lebih, telah ditahan oleh pemerintah China di kamp-kamp yang juga disebut sebagai kamp pendidikan ulang.
Laporan tersebut didukung oleh berbagai kelompok pelindung hak asasi manusia. Human Rights Watch (HRW) dalam laporan berbeda mencatat, orang-orang Uighur yang memiliki kerabat di 26 negara yang “sensitif” dengan isu Uighur, seperti Indonesia, Kazakhstan dan Turki, telah ditangkap. Bukan hanya itu, siapa pun yang telah menghubungi seseorang di luar negeri melalui WhatsApp juga jadi target penangkapan.
Masih merujuk pada laporan HRW, mereka yang ditahan di kamp pendidikan ulang itu dipaksa untuk belajar bahasa Mandarin, mengambil sumpah setia kepada Presiden Xi Jinping, dan mengkritik atau melepaskan keyakinan yang mereka peluk.
HRW dalam laporannya juga mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah China semakin memperkuat cengkaramannya di wilayah Xinjiang. Warga Uighur secara khusus dipaksa tunduk pada pengawasan ketat, mulai dari kamera pengenal wajah hingga kode QR di pintu-pintu rumah atau lokasi lainnya. Hal itu akan mempemudah pejabat Beijing memeriksa kode-kode itu dan melihat siapa yang ada di titik mana pun. Warga Uighur pun dilaporkan diwajibkan untuk menjalani tes biometrik.
Teralienasi di Rumah Sendiri
Perhatian besar pemerintah Beijing terhadap warga Uighur di Xinjiang bukan tanpa alasan. Selain karena alasan bibit separatis dan terorisme, Xinjiang juga memiliki kekayaan alam yang berlimpah. Selama berabad-abad, ekonomi Xinjiang berpusat pada pertanian dan perdagangan. Xinjiang merupakan wilayah yang berkembang, karena terletak di Jalur Sutra.
Mengutip BBC awal Desember 2018, sejak beberapa tahun terakhir, Beijing mengalirkan dana investasi bernilai jutaan yen ke Xinjiang. Namun kemakmuran tersebut lebih banyak dinikmati warga bangsa Han ketimbang etnis lokal.
Laporan BBC mengungkap, akar ketegangan antara etnik Uighur dan etnik Han bersumber pada faktor ekonomi dan kultural. Perkembangan pesat di Xinjiang turut menjaring kaum berpendidikan dari seluruh China. Akibatnya, etnik Han secara umum mendapat pekerjaan yang lebih baik dan mampu hidup lebih mapan.
Tidak heran jika sejarah pencaplokan wilayah serta ketimpangan tersebut memperparah sikap anti-China di kalangan etnis Uighur di Xinjiang.
Tekanan dan kondisi yang dialami oleh warga Uighur di rumahnya sendiri bukan tanpa perlawanan. Di kalangan warga Uighur di Xinjiang terdapat kelompok-kelompok yang aktif memperjuangkan kemerdekaan Xinjiang. Salah satu yang menonjol adalah Gerakan Islam Turkistan Timur (ETIM).
Kelompok lain yang lebih ganas adalah Partai Islam Turkistan yang dituding bertalian erat dengan Al Qaeda, dan bertanggungjawab atas serangkaian serangan bom di ruang publik di Xinjiang. Bukan hanya itu, sejumlah warga Uighur, menurut pemerintah China, ada yang bergabung dengan kelompok militan ISIS.
Pemerintah China kerap mengatakan bahwa negara tersebut sedang menghadapi ancaman dari kelompok-kelompok Islam separatis. Salah satu yang terkuat dalam melakukan perlawanan adalah dari warga Uighur. Sementara kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan kekerasan di Xinjiang berasal dari penindasan China terhadap masyarakat pribumi di sana.
Pemerintah China menunjuk hidung warga Uighur atas kerusuhan di ibukota Urumqi tahun 2009 lalu di mana sekitar 200 nyawa melayang. Sebagian besar di antaranya adalah warga etnik Han. Sejak saat itu, terjadi serangkaian serangan lainnya, termasuk satu serangan di kantor polisi dan kantor-kantor pemerintah pada Juli 2014 yang merenggut sedikitnya 96 nyawa.
Bukan hanya di Xinjiang, pemerintah China juga menyalahkan warga Uighur atas serangan yang terjadi di luar wilayah itu. Seperti yang terjadi pada Oktober 2013 ketika sebuah mobil menabrak kerumunan di Lapangan Tiananmen Beijing.
Serangkaian serangan yang terjadi itu memicu pemerintah China untuk mengambil tindakan yang semakin keras pada warga Uighur di Xinjiang. Tindakan keras terbaru dilakukan setelah lima orang meninggal dunia dalam serangan pisau di Xinjiang pada Februari 2017.
Pemerintah China bersikukuh akan menanggapi separatisme etnis dan kegiatan kriminal teroris yang kejam di wilayah China. Namun pejabat China menepis kabar soal kamp pendidikan ulang di Xinjiang.
Pada pertemuan PBB di Jenewa pada Agustus 2018, pejabat China, Hu Lianhe, dari Departemen Front Pekerja Bersatu mengatakan, laporan soal satu juta warga Uighur ditahan di pusat-pusat pendidikan ulang sama sekali tidak benar.
Awal November 2018 lalu, mengutip Al Jazeera, Penasihat Negara China, Wang Yi, mengatakan bahwa semua kabar yang beredar soal penahanan di Xinjiang adalah gosip. Dia berharap masyarakat dunia memahami dan mendukung upaya pemerintah daerah Xinjiang untuk memerangi terorisme, mengakhiri penyebaran ekstremisme dan memastikan stabilitas sosial.
“(Orang) tidak boleh mendengarkan gosip atau desas-desus. Pemerintah di Xinjiang tentu saja memahami situasi di Xinjiang dengan baik, dibandingkan dengan pihak lain,” kata Wang Yi usai bertemu dengan Menteri Luar Negeri Jerman, Heiko Maas, di Markas PBB di New York, 26 September 2018.
“Upaya-upaya ini sepenuhnya sejalan dengan arah yang telah diambil masyarakat internasional untuk memerangi terorisme, dan merupakan bagian penting dari perang global melawan terorisme,” tegas Wang Yi.
Namun, kembali mengutip BBC, pada Oktober 2018, pejabat tinggi di Xinjiang mengatakan bahwa pusat-pusat “pendidikan kejuruan” telah didirikan dan terbukti efektif dalam mencegah terorisme. Apa yang mereka sebut sebagai pusat pendidikan kejuruan itu diklaim pemerintah China sebagai upaya modernisasi yang dimaksudkan untuk memerangi ekstremisme agama.

Solidaritas Indonesia untuk Uighur
Kondisi yang dialami oleh warga Uighur di Xinjiang menarik simpati masyarakat internasional, tidak terkecuali Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar.
Jumat, 21 Desember 2018, ribuan orang dari berbagai organisasi masyarakat menggelar unjuk rasa di depan Kedutaan Besar China di bilangan Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Mereka mendesak pemerintah China menghentikan sikap keras dan persekusi terhadap bangsa Uighur di Xinjiang.
Selain spanduk yang berisi kecaman atas kekerasan yang dilakukan pemerintahan Partai Komunis China, pengunjuk rasa juga membawa bendera Turkistan Timur.
Dalam aksi di depan Kedubes RRC itu, sekelompok pengunjuk rasa juga sempat membakar bendera RRC sebagai ekspresi kecaman.
“Sesama Muslim adalah saudara. Persaudaraan di antara kita tidak boleh dibatasi oleh sekat apapun. Tidak boleh dibatasi oleh sekat bangsa. Dan tidak boleh disekat oleh teritori. Karena umat Islam semuanya satu akidah,” ujar Sekretaris Jenderal Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Ustad Bachtiar Natsir, salah seorang ulama yang ikut berorasi.
Seperti Bachtiar Nasir, tokoh-tokoh lain yang menyampaikan pandangannya dalam unjuk rasa meminta agar pemerintah Republik Rakyat China menghentikan tekanan kepada bangsa Uighur.
Selain Bachtiar Nasir, tokoh lain yang ikut dalam unjuk rasa antara lain adalah Neno Warisman, Novel Bamukmin, juga tokoh Tionghoa Lieus Sungkarisma.
“Kita bicara masalah kemanusiaan. Dimana ada manusia dizalimi, harus kita lawan,” ujar Lieus Sungkarisma dalam orasinya.
Menurut aktivis Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (Komtak) ini, seharusnya Presiden Joko Widodo segera bertindak dengan memanggil Dutabesar RRC Xiao Qian, dan bertanya langsung tentang kabar penangkapan dan penahanan warga Uighur.
“Tidak akan ada yang ribut-ribut seperti sekarang kalau pemerintah (Indonesia) langsung marah, langsung protes, kasih nota keberatan, kirim tim penyidik,” ujarnya lagi.
Namun pemerintah Indonesia tidak sepenuhnya pasif. Sehari sebelum unjuk rasa di depan Kedubes RRC itu, Jurubicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir, menggelar jumpa pers untuk menyampaikan hasil pembicaraan dengan pihak Kedubes RRC terkait isu Uighur.
“Kedubes RTT (Republik Rakyat Tiongkok) menyampaikan komitmen terhadap perlindungan HAM, dan sependapat bahwa informasi mengenai kondisi masyarakat Uighur perlu diketahui oleh publik,” ujar Arrmanatha Nasir kepada wartawan dalam konferensi pers di kawasan Cikini, Kamis, 20 Desember 2018.
Di hari yang sama dengan demontrasi di depan Kedubes RRC di Mega Kuningan, redaksi Kantor Berita Politik RMOL mendapatkan keterangan tertulis dari Jurubicara Kedubes RRC, Xu Hangtian. Ia memastikan bahwa masyarakat China menikmati kebebasan beragama.
“Pemerintah Tiongkok, berdasarkan peraturan dan perundang-undangan, memberikan perlindungan kepada setiap warga negaranya, termasuk muslim suku Uighur di Xinjiang untuk menjalankan kebebasan beragama dan kepercayaan,” tulis Xu Hangtian.
Dia menambahkan bahwa apa yang disebut sebagai kamp pendidikan politik sama sekali tidak benar. Apa yang sedang dilakukan pemerintahan Partai Komunis China di Xinjiang adalah melatih warga Xinjiang agar memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Xu Hangtian juga mengatakan, keberadaan lembaga pendidikan itu juga ditujukan sebagai upaya menurunkan tingkat radikalisme dalam rangka melawan terorisme.
Dubes RRC Xiao Qian juga bergerak cepat. Senin sore, 24 Desember 2018, ia mengunjungi Kantor PB Nahdlatuh Ulama, ormas Muslim terbesar di Indonesia, di Jalan Kramat Raya, Jakarta. Dalam pertemuan dengan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, Dubes Qian kembali menjelaskan bahwa semua masyarakat Tiongkok dari berbagai suku, termasuk Uighur, memiliki kebebasan dalam memeluk dan menjalankan ajaran agama.
Dia mengatakan, saat ini China sedang menghadapi ancaman separatisme.
“Ada segelintir oknum yang berencana memisahkan Xinjiang dari Tiongkok dengan menggunakan tindakan kekerasan, bahkan terorisme,” ujar Dubes Qian.
Program pendidikan dan vokasi yang sedang dilakukan secara massif di Xinjiang merupakan bagian dari upaya meredam keinginan memisahkan diri. Pemerintah China percaya bahwa kondisi ekonomi yang baik dapat menekan separatism dan ekstremisme.
Adapun menurut KH Said Aqil Siroj, ancaman separatisme adalah urusan domestik China, dan dunia internasional tidak dapat mencampurinya.
Namun, sambungnya, hal-hal yang berkaitan dengan kebebasan umat Muslim Uighur dalam melaksanakan ajaran agama menjadi persoalan umat Muslim sedunia.
Sikap tegas telah lebih dahulu disampaikan PP Muhammadiyah. Rabu, 19 Desember 2018, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengirimkan pesan kepada media massa.
“Kekerasan terhadap masyarakat lemah tidak dapat dibenarkan, apapun alasannya,” kata Haedar Nashir.
Haedar meminta pemerintah China menggunakan pendekatan politik yang elegan dan berorientasi kesejahteraan terhadap warga Uighur yang dianggap melakukan aksi separatisme.
Selain itu, Muhammadiyah mengimbau agar pemerintah China mau membuka diri dan memberikan penjelasan yang sebenarnya mengenai keadaan di Xinjiang, serta meningkatkan kerjasama dengan lembaga-lembaga internasional untuk mengatasi berbagai masalah di kawasan itu.
Imbauan juga dialamatkan Muhammadiyah kepada PBB dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) agar menggelar pertemuan darurat membahas masalah Uighur dan mengambll tindakan yang diperlukan sesuai ketentuan internasional.
“PBB dan OKI memiliki tanggungiawab besar dalam menciptakan perdamaian dan mencegah segala bentuk kekerasan di belahan dunia manapun,” kata Haedar lagi.
Pemerintah Indonesia, sambungnya, perlu mengambil langkah diplomatik sesuai prinsip politik bebas dan aktif, untuk menciptakan perdamaian dunia dan menegakkan hak asasi manusia di atas nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan.
Di sisi lain dia meminta agar kelompok masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi terkait nasib warga Uighur agar tetap mengedepankan cara-cara yang santun, damai, dan tetap menjaga kerukunan di antara semua elemen masyarakat Indonesia. TEGUH SANTOSA/AMELIA FITRIANI