Kepada Dutabesar Republik Kuba, Nirsia Castro Guevara, saya bertanya tentang sebuah lukisan yang tergantung di dinding ruang tamu Kedubes di Permata Hijau.
Lukisan itu terlihat begitu spesial, lukisan badan seorang pria paruh baya, dengan garis wajah yang sederhana namun tegas dan tatapan mata yang lurus tajam. Warna biru pada langit membuat lukisan itu semakin menarik, selain seekor ayam, bunga ros merah muda, tumpukan buku dan pena dalam botol tinta.
“Jose Marti, namanya,” jawab Dubes Guevara.
Nama lengkapnya Jose Julian Marti Perez. Ini belakangan saya dapat dari sebuah catatan tentang dirinya di dunia maya.
Lahir di Havana pada 28 Januari 1853 dan meninggal 19 Mei 1893, Jose Marti dianggap sebagai pahlawan terbesar Kuba. Di tubuhnya mengalir deras darah Spanyol dari kedua orang tuanya, Mariano Marti dan Leonor Perez Cabrera. Tapi ia tak bisa menerima penjajahan yang dilakukan Spanyol atas Kuba.
Jose Marti adalah penulis, wartawan dan penyair. Karya-karya revolusionernya antara lain adalah syair Abdala, dan soneta 10 Oktober, juga La Edad de Oro, serta Versos Sancillos.
Jose Marti dikenang sebagai pemuda pemberani yang mengabdikan dirinya pada perjuangan kemerdekaan Kuba. Ia tewas dalam sebuah pertempuran melawan tentara Spanyol di Dos Rios, di dekat pertemuan sungai Constramaestre dan sungai Cauto.
Sepenggal syair dalam Versos Sancillos berbunyi:
“No me entierren en lo oscuro/ A morir como un traidor/ Yo soy bueno y como bueno/ MorirĂ© de cara al sol.”
“Do not bury me in darkness / to die like a traitor / I am good, and as a good man / I will die facing the sun.”