Di tengah kabar kabur makar yang sedang bertiup sepoi2 di tengah2 kita, kemarin saya bersama sejarawan Greg Poulgrain berkunjung ke Museum Jend. AH Nasution di JalannTeuku Umar, tak jauh di seberang rumah Mbak Mega, persis di sebelah kanan Kedutaan Irak.
Hujan rintik2 ketika kami tiba di depan Museum. Pintu gerbangnya tertutup. Saya sempat ragu untuk masuk. Mungkin tutup.
Tapi kata Greg, bendera di halaman berkibar. Barangkali buka. Maka saya bertahan di depan gerbang.
Dan benar saja, tak lama seorang pria muda berlari2 kecil menerobos rintik hujan dan mempersilakan kami masuk.
Tak ada pengunjung lain. Hanya kami. Kata si Mas memang hari ini tutup. Tapi dia berkenan juga membukakan pintu museum. Apalagi setelah tahu Greg jauh2 terbang dari Brisbane, Australia.
Greg pernah bbrp kali bertemu dan mewawancarai Jend. Nasution. Dia punya banyak cerita yg saya belum pernah dengar.
Jend. Nasution punya hubungan yg baik dgn Bung Karno. Keduanya pernah tinggal bersebelahan di Bengkulu pada kurun 1937-1938. Seperti BK, Jend. Nasution, kata Greg, juga guru.
Itu sebabnya, antara lain, kata Greg, peristiwa Oktober 1952 berakhir dengan baik2 saja. Tidak ada peluru yang meletus di depan Istana. Nasution dan pasukannya meninggalkan Istana.
Masih menurut Greg, ada dokumen yg diterbitkan CIA yg mengatakan bahwa mereka membutuhkan orang baru di Indonesia. Dan Nasution bukan orang yang dibutuhkan itu.
Lantas siapa?
“Dokumen itu tidak menyebutkan nama siapapun,” ujar Greg.
Greg juga mengkritisi tampilan pasukan Tjakrabirawa di museum itu. Katanya, seragam yang mereka kenakan kurang pas utk seragam tahun 1965.
Setelah hujan berhenti, kami meninggalkan Museum Jend. AH Nasution.
Teguh Santosa 