Publik berhak mengetahui rekaman utuh pembicaraan antara Ketua DPR Setya Novanto dengan petinggi Freeport Indonesia yang diduga Ma’roef Sjamsoeddin dan pengusaha yang diduga Muhammad Reza Chalid.
Transkrip pembicaraan itu, sebagian, telah diserahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said kepada Majelis Kehormatan DPR RI dan menjadi bukti dari upaya pemerasan dan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla oleh Ketua DPR Setya Novanto.
Di tengah masyarakat kasus ini ramai disebut sebagai skandal “#papamintasaham”.
Pemimpin Umum Kantor Berita Politik RMOL, Teguh Santosa, ketika memberikan sambutan dalam diskusi Front Page bertema “Siapa yang Bohong, SS atau SN: Membongkar Rahasia Terdalam Freeport” di Kafe Dua Nyonya, Cikini, Jakarta, Minggu siang (22/11), mengatakan, publik berhak mengetahui isi lengkap pembicaraan pihak-pihak yang disebutkan itu.
Bahkan, kalaulah transkrip yang diedarkan itu berasal dari pembicaraan dalam pertemuan kesekian di antara mereka, publik pun perlu tahu pembicaraan dalam pertemuan-pertemuan lain yang terkait dengan skandal #papamintasaham.
“Penting bagi publik untuk mengetahui kasus ini secara utuh. Kalau tidak dikhawatirkan lebih banyak nuansa politiknya,” ujar Teguh.
Sebagai pembicara dalam diskusi itu adalah anggota DPR RI Effendi Simbolon, pengamat ekonomi Ichsanuddin Noersy, Kordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi dan pengamat politik Zarmansyah.
Teguh juga mengatakan, kasus ini dapat dijadikan pintu masuk untuk mereview kembali relasi Indonesia dengan pihak asing, baik aktor negara maupun aktor non negara seperti perusahaan-perusahaan multinasional raksasa.
Kasus ini pun, sambungnya, dapat dijadikan bahan diskusi yang serius oleh Presiden Joko Widodo untuk meninjau kembali kesatupaduan Kabinet Kerja.
“Publik menjadi bingung karena kembali terjadi saling bantah di antara pembantu-pembantu presiden,” kata dia.
Masih kata Teguh, terbuka peluang lebar bagi Presiden Jokowi untuk mengevaluasi semangat setiap pembantunya, apakah sejalan dengan Nawacita dan Trisakti, atau tidak.
“Dari kasus ini barangkali bisa diketahui mana pembantu Presiden Jokowi yang bersemangat menjalankan Nawacita dan Trisakti, dan mana yang tidak, bahkan bertentangan dengan hal itu,” demikian Teguh.