Tiga dekade telah berlalu. 9 Oktober 1983, pagi hari sekitar pukul 10.30 sebuah bom meledak di makam pemimpin Myanmar, Aung San. Sebanyak 21 pejabat Korea Selatan tewas dalam serangan itu.
Di antara korban tewas adalah Kepala Staf Presiden Ham Beong-seok, Deputi Perdana Menteri Seo Seok-jun, Menteri Luar Negeri Lee Bem-seok dan Menteri Perdagangan Kim Dong-hwi.
Presiden Chun Doo-hwan selamat dari serangan karena tiba di lokasi beberapa menit kemudian.
Jeong Won-yeob dalam laporannya di Harian Jonggang hari ini mengatakan kenangan akan peristiwa itu masih membekas di memori keluarga korban.
“Tetapi banyak remaja hari ini dan masyarakat yang berusia 20an tahun tidak memiliki konsep yang jelas tentang teror (di makam) Aung San itu,” tulisnya dalam artikel yang dimuat di halaman dua.
Pemerintah Korea Selatan, tulis Jeong, masih berdialog dengan pemerintah Myanmar untuk mendirikan monumen di lokasi serangan akhir tahun ini. Pihak Kementerian Luar Negeri yang dikutip Jeong mengatakan pembicaraan mengalami penundaan.
Monumen yang akan didirikan oleh Yayasan Saejong itu dijadwalkan selesai dibangun pada 12 Desember mendatang. Namun disebutkan bahwa tanggal ini pun masih belum pasti.
Salah satu penyebab dari tertundanya pembangunan monumen teror di makam Aung San adalah karena pemerintah Myanmar sedang berdialog alot dengan Turki.
Pemerintah Turki ingin membangun sebuah monumen untuk mengenang tentara Turki yang gugur dalam Perang Dunia Pertama. Namun masyarakat Myanmar yang mayoritas umat Buddha keberatan dengan rencana itu.
Serangan di makam Aung San diperacaya dilakukan oleh agen dinas rahasia Korea Utara. Seorang di antaranya ditembak mati sehari setelah serangan. Seorang lainnya tewas di tiang gantungan. Adapun orang ketiga yang menyiapkan serangan dihukum 25 tahun penjara. Ia meninggal dunia karena kanker hati 2008 lalu.
Pemerintah Korea Utara yang membantah terlibat dalam serangan itu menolak pemulangan jenazahnya.