Inilah.Com RMOL.Co PosMetroBatam BeritaJatim.Com PesatNews.Com SatelitNews.Co.Id Dunia internasional patut mengecam kekerasan yang dilakukan pihak militer Mesir terhadap kelompok pendukung Muhammad Mursi.
Sejauh ini menurut informasi dari pihak pemerintah sekitar 278 orang tewas dalam kejadian itu. Sementara menurut informasi yang berkembang di media sosial jumlah tewas mencapai 2.000 orang.
Terlepas dari berapa jumlah orang yang tewas dalam kekerasan yang dilakukan militer terhadap kantung-kantung kelompok pro-Morsi di Mesir dan kota-kota lain, peristiwa ini memperlihatkan bahwa restorasi demokrasi, istilah yang digunakan Menlu AS John Kerry untuk kudeta yang dilakukan militer di Mesir, adalah omong kosong dan berujung pada bencana.
Sejak awal saya melihat kudeta yang dilakukan militer Mesir ini sebagai tindakan yang mengaborsi demokrasi, bukan upaya merestorasi demokrasi.
Alasan yang digunakan kelompok militer pimpinan Jenderal El-Sisi bahwa Mursi yang terpilih sebagai presiden dalam pemilihan umum tahun lalu mengancam demokrasi karena menolak berbagi kekuasaan dengan kekuatan politik yang kalah dalam kompetisi tidak dapat dibenarkan. Demokrasi adalah sebuah proses yang panjang dan membutuhkan kesabaran serta keuletan.
Semua elemen masyarakat Mesir sedang belajar mempraktikkan demokrasi setelah sekian lama berada di bawah rezim Husni Mubarak. Masing-masing kelompok memiliki definisi dan pengertian sendiri tentang demokrasi. Dalam praktik demokrasi, definisi-definisi itulah yang didialogkan, dan dialog memang membutuhkan waktu.
Jelas militer Mesir memiliki definisi lain soal demokrasi, dan itu adalah kekerasan senjata. Mereka percaya bahwa demokrasi hanya dapat ditegakkan dengan popor dan peluru. Dunia harus mengecam pendekatan barbar ini.
Di sisi lain kudeta dan kekerasan militer Mesir justru merusak demokrasi dan membuat kelompok-kelompok sipil yang selama ini dianggap “fundamentalis dan anti-demokrasi” seperti Ikhwanul Muslimin semakin punya alasan yang kuat untuk menolak demokrasi.