Bersama Profesor Sri-Edi Swasono di Bandara Beijing menunggu GA0891 ke Jakarta beberapa waktu lalu. Prof. Sri-Edi mendampingi istrinya, Ibu Meutia Hatta yang salah seorang anggota Dewan Pertimbangan Presiden berkunjung ke Pyongyan, Korea Utara. Itu adalah kunjungan kedua Prof. Sri-Edi ke Pyongyang. Kunjungan pertama ke Pyongyang di tahun 1989, tak lama setelah tembok Berlin runtuh. Agar tak dianggap sebagai pendukung Leninisme/Marxisme sebelum ke Pyongyang ia berkomunikasi dengan Atase Pertahanan RI di Beijing dan Pyongyang, Benny Moerdani. Prof. Sri-Edi melihat perbedaan yang begitu mencolok antara Pyongyang di masa itu dan kini.
Hal lain yang kami bicarakan dalam pertemuan di Bandara Beijing itu adalah soal ayat ke-4 Pasal 33 UUD 1945 yang ditambahkan dalam amandemen ke-4 tahun 2001. Ayat ini disiapkan oleh kubu neolib seperti Sri Mulyani Indrawati dan dimaksudkan untuk menggerogoti sifat “ekonomi kerakyatan” dan “sosialisme Indonesia” yang menjadi ciri tiga ayat sebelumnya dengan menggunakan jargon “demokrasi ekonomi”. Lima menit sebelum palu diketuk oleh Jacob Tobing dari PDIP (sebelumnya Golkar), Prof. Sri-Edi berhasil memperlemah upaya kubu SMI itu dengan menambahkan diksi “efisiensi keadilan”. Entah apakah upaya di atas kertas ini berhasil.