Harian Terbit – “Keinginan saya yang terbesar saat ini adalah memperbaiki kualitas dan manfaat demokrasi di Indonesia, agar rakyat bisa sejahtera dan Indonesia digdaya,” ujar tokoh nasional Rizal Ramli di sela-sela penganugrahan RMOL Democracy Award yang diberikan kepadanya oleh Rakyat Merdeka On Line (RMOL), di Jakarta, Rabu (20/3).
Democracy Award diberikan kepada Rizal Ramli dan sejumlah tokoh lain, karena dianggap berjasa dalam memperkuat pondasi demokrasi di tanah air. Setiap tahun pemberian anugrah dikemas dalam acara malam budaya. Tahun ini, tema malam budaya itu adalah Beri Daku Sumba, meminjam judul puisi yang ditulis penyair Taufik Ismail pada tahun 1970.
Rizal Ramli sendiri sejak 1970an ketika masih mahasiswa, sudah berjuang menegakkan demokrasi dari kampus. Dia dan kawan-kawannya bahkan sempat mendekam di penjara Sukamiskin, Bandung, karena menulis Buku Putih yang berisi kritik terhadap penguasa otoriter saat itu, Soeharto.
Buku yang kemudian diterjemahkan dalam tujuh bahasa asing tersebut, mendapat pujian dari dua Indonesianis asal Cornel University, Amerika Serikat, yaitu profesor George MT Kahin dan profesor Ben Anderson. Mereka berpendapat Buku Putih merupakan buku kritik sistematis pertama di Indonesia terhadap rezim otoriter Orde Baru.
Menurut calon presiden alternatif versi The President Centre ini, demokrasi yang dikembangkan pasca Reformasi 1998 telah dibajak kekuatan oligarki, pemodal, dan mereka yang mengedepankan sikap pragmatis. Akibatnya, demokrasi yang semestinya mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, justru berubah menjadi pintu masuk maraknya perilaku korup dan standar etika yang amat rendah di kalangan pejabat publik.
“Indonesia tidak membutuhkan pemimpin yang sibuk dengan iklan dan spanduk untuk pencitraan. Indonesia juga tidak butuh pemimpin yang hanya pandai bicara dan berkeluh kesah. Indonesia membutuhkan pemimpin yang memiliki visi, karakter, integritas, dan kompetensi. Dengan begitu rakyat bisa sejahtera dan Indonesia digdaya di mata dunia,” papar Rizal yang sejak beberapa tahun ini menjadi anggota panel ahli Perhimpunan Bangsa Bangsa (PBB).
Tingginya biaya politik di Indonesia pasca reformasi, memang telah menyeret partai politik dan kadernya berperilaku korup. Yang dikembangkan bukanlah demokrasi substansial, melainkan demokrasi kriminal. Ke depan, negara sebaiknya membiayai Parpol seperti di Perancis, Jerman, dan Australia sehingga tidak ada alasan mereka melakukan korupsi lagi.
“Negara sebaiknya mengalokasikan anggaran khusus dalam APBN untuk membiayai parpol. Dengan begitu pemerintah dapat mengawasi penggunaan keuangannya, termasuk dari mana saja mereka mendapatkan dana. Nanti akan ada auditor independen yang memeriksa keuangan parpol secara berkala,” kata Rizal Ramli yang juga mantan Menko Perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid ini.
Menurut dia, nilai anggaran yang perlu dialokasikan negara untuk parpol tidak besar. Jumlahnya sekitar Rp 5 triliun. Dibandingkan total anggaran dalam APBN 2013 yang lebih dari Rp 1.683 triliun, jumlah ini relatif tidak berarti. Pada saat yang sama, dengan mengalokasikan anggaran secara resmi, parpol tidak bisa lagi menjarah di APBN seperti selama ini mereka lakukan. Diperkirakan anggaran pembangunan yang dijadikan bancakan nilainya sekitar Rp 60 triliun.
“Dengan menerima anggaran dari APBN, negara punya hak penuh mengaudit keuangan parpol. Jika ditemukan penyimpangan dalam sumber-sumber pendanaannya, bisa dikenai sanksi. Begitu juga jika kader-kader parpol melakukan korupsi, maka tahun depan anggaran mereka akan dipotong,” papar tokoh nasional yang menjadi ikon perubahan ini.
Rizal Ramli yang juga Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARUP) menyatakan keyakinannya, bahwa dengan mekanisme seperti itu kelak partai politik tidak lagi berani sembarangan dalam merekrut kadernya.
Mereka akan ‘dipaksa’ mencari figur-figur yang memiliki integritas dan kapasitas untuk mengisi posisi jabatan publik, seperti DPR dan kepala daerah. Pasalnya, setiap pelanggaran keuangan yang terjadi, akan berdampak pada pengurangan alokasi anggaran tahun berikutnya. Hal yang lebih penting lagi, korupsi akan berdampak anjloknya perolehan suara pada pemilu berikutnya, karena rakyat pasti akan meninggalkan mereka.
Dana bantuan kepada parpol yang selama ini diberikan pemerintah terlalu kecil. Akibatnya, bukan saja tidak efektif, tapi juga negara tidak bisa mengontrol keuangan parpol. Itulah sebabnya banyak pertai politik yang mencari dana dengan segala cara, termasuk sengaja melakukan bancakan anggaran proyek pembangunan infrastruktur di DPR.
Ketika Orde Baru berkuasa, korupsi dilakukan pada level pelaksanaan proyek-proyek yang dibiayai APBN. Begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo pernah memprediksi kebocoran anggaran saat itu mencapai 30%. Namun di era pasca reformasi, korupsi sudah dilakukan sejak awal pembahasan anggaran di APBN. Korupsi berlanjut pada saat pencairan anggaran yang menggunakan jasa anggota DPR yang berfungsi sebagai ‘makelar’ anggaran. Selanjutnya korupsi kembali terjadi pada saat proyek dikerjakan di lapangan.
Dengan fakta seperti ini, tidak mengherankan banyak kader parpol yang menjadi pejabat publik kesandung kasus korupsi. Dalam lima tahun terakhir saja, sudah 30% bupati dan walikota yang masuk penjara, 20% gubernur tengah diproses secara hukum, dan 50% anggota komisi anggaran DPR masuk penjara.