Melihat Maroko dengan Sudut Pandang Baru

SONY DSC

NEGERI itu terletak di pojok barat belahan utara benua Afrika, persis pada titik persimpangan Samudera Atlantik di barat dan Laut Mediterania di utara, sekitar 12.500 kilometer di sebelah barat-laut Indonesia.

Di dalam bahasa Arab, nama resmi Kerajaan Maroko adalah Al Mamlaka al Maġribiyya. Bila diterjemahkan secara sederhana ke dalam bahasa Indonesia berarti “Kerajaan Barat”.

Adalah orang-orang Eropa dari abad pertengahan, khususnya bangsa Spanyol dan Portugis, dianggap sebagai yang pertama kali mempopulerkan kata Maroko sebagai nama negeri itu. Orang-orang Spanyol yang dipisahkan Laut Mediterania menyebutnya Marruecos, sementara orang Portugis yag berada di pojok barat-daya Eropa menyebutnya Marrocos. Kedua kata ini diserap dari bahasa Latin abad pertengahan, Marroch, yang merujuk pada Marrakesh.

Di era Dinasti Almoravid dan Dinasti Almohad, sekitar abad ke-11 dan 12 Masehi, Marrakesh yang terletak di bawah kaki gunung tertingi di Maroko, Jabal Toubkal (4.167 m), adalah pusat kekuasaan yang memiliki peranan penting dalam sejarah perkembangan Islam itu.

Kata Marrakesh, atau Marrakech, berasal dari bahasa Amazigh atau Berber, yakni Murakush, yang artinya adalah “Tanah Tuhan”. Sejak berdiri di abad ke-12 hingga kini Marrakesh dikenal sebagai Kota Merah karena rumah dan gedung-gedung di kota itu hampir semuanya berwarna merah terakota.

Orang-orang Parsia dan Urdu juga menyebut Maroko sebagai Marrakesh. Sementara orang-orang Turki menyebutnya Fes. Yang terakhir ini merujuk pada Fes, sebuah kota lain di negeri itu yang sejak didirikan sekitar abad ke-8 Masehi di era Dinasti Idrisid hingga kini juga dikenal sebagai pusat pendidikan dan perkembangan peradaban Islam. Sekarang, seperti Marrakesh, Fes pun dikenal sebagai salah satu pusat wisata terpenting di Maroko.

ADA fenomena yang pantas dikategorikan sebagai “keanehan” di kala kita membicarakan hubungan antara Indonesia dengan negara berbentuk monarki konstitusi yang dipimpin Raja Mohammad VI itu. Keanehannya seperti ini:

Menurut riset yang dilakukan World Resource Institute tahun 2008 lalu, rata-rata penduduk Maroko menghabiskan satu kilogram kopi dalam setahun. Itu artinya, penduduk Maroko mengkonsumsi minimal 32 juta kilogram kopi dalam satu tahun. Walhasil, Maroko menjadi salah satu negara dengan tingkat konsumsi kopi yang cukup tinggi.

Sementara menurut catatan Euromonitor International, sebuah lembaga penyedia data informasi bisnis yang berpusat di London, Inggris, konsumsi kopi orang Maroko meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. Ini ditandai dengan pertumbuhan cafe yang begitu cepat bagai jamur merekah di musim hujan. Sejak ratusan tahun lalu mengkonsumsi kopi menjadi semacam tradisi bagi masyarakat Arab dan keturunan Arab.

Adapun “revolusi kopi” di Maroko beberapa tahun terakhir membawa kegiatan minum kopi melampaui wilayah domestik dan kekerabatan.

Nah, yang menarik di tengah “revolusi kopi” ini adalah: tak kurang dari 60 persen kopi yang dikonsumsi masyarakat Maroko berasal dari Indonesia!

Sayangnya, kopi Indonesia itu diperoleh Maroko dari pasar Eropa. Dengan demikian, adalah Eropa yang menikmati nilai tambah dari kopi asal Indonesia yang dikonsumsi orang Maroko.

Hal ini patut disebut sebagai “keanehan” karena terjadi di tengah hubungan kedua negara yang amat baik selama ini. Masyarakat kedua negara telah saling mengenal sejak ratusan tahun lalu. Tetapi apa daya, hubungan baik yang telah berlangsung lama itu ternyata masih belum bisa mendekatkan Indonesia dan Maroko di warung kopi.

“Keanehan” ini kerap disampaikan diplomat-diplomat Indonesia di Rabat, juga diakui Dutabesar Kerajaan Maroko untuk Republik Indonesia Y.M. Mohamed Majdi.

Menurut Majdi, keadaan ini bisa diperbaiki asalkan kedua negara memiliki komitmen yang kuat untuk segera mewujudkan hubungan ekonomi yang saling menguntungkan.

“Benar bahwa sampai sekarang hubungan ekonomi antara Indonesia dan Maroko masih rendah. Dan tentu saja hal itu perlu ditingkatkan di masa depan,” ujar Mohamed Majdi pekan lalu di kantornya, Jalan Denpasar, Jakarta Selatan.

Majdi yang sudah dua tahun bertugas di Indonesia mengatakan bahwa interaksi ekonomi yang rendah ini telah disadari kedua pihak sejak lama. Dalam setiap pembicaraan bilateral volume perdagangan antara kedua negara yang rendah kerap disinggung. Tetapi, sambungnya, entah mengapa sampai sekarang belum terlihat peningkatan volume dagang yang signifikan.

“Umumnya, alasan yang diutarakan adalah tentang jarak antara Indonesia dan Maroko yang demikian jauh. Mungkin jarak itu dianggap sebagai hambatan yang tidak bisa diatasi, sehingga Maroko lebih fokus pada tetangga-tetangga terdekatnya. Begitu juga Indonesia, pun fokus membangun hubungan ekonomi dengan negara-negara tetangganya. Padahal Indonesia dan Maroko memiliki banyak kesamaan. Budaya kedua negara dipengaruhi oleh pemahaman akan nilai-nilai Islam yang moderat,” jelas Majdi lagi.

Selain pembicaraan di tingkat government to government (G to G), sambung Dubes Majdi, inisiatif untuk mendekatkan kedua negara dapat dilakukan oleh unsur masyarakat. Dia menyebutkan, lembaga-lembaga persahabatan, seperti Asosiasi Persahabatan Indonesia-Maroko yang juga dikenal sebagai Sahabat Maroko di Jakarta, berperan penting dalam menopang hubungan diplomatik kedua negara, sekaligus memperat hubungan people to people dan selanjutnya business to business.

“Bila masyarakat bisnis telah saling kenal satu sama lain, hubungan kedua negara akan berjalan dengan mudah, dan dengan demikian hubungan ekonomi juga bisa dikembangkan. Kalau tidak ada elemen masyarakat yang merajut hubungan Indonesia dan Maroko, dapat dikatakan walaupun masyarakat kedua negara saling mengetahui keberadaan masing-masing namun mereka tidak pernah berpikir untuk memulai kerjasama ekonomi,” masih jelasnya.

Selain kopi, komoditi yang juga disinggug dalam pembicaraan dengan Dubes Majdi adalah phosphate yang merupakan salah satu bahan dasar pembuatan pupuk. Sebagai negara agraria, Indonesia membutuhkan rock phosphate dalam jumlah besar.

Maroko dikenal sebagai negara yang memiliki cadangan phosphate terbesar di dunia. Tidak tanggung-tanggung, 75 persen cadangan phosphate dunia berada di negara itu. Maroko merupakan eksportir rock phosphate terbesar di dunia yang menguasai 28 persen market, dan produsen phosphate terbesar ketiga yang menyuplai 20 persen produksi phosphate dunia. Saat ini Maroko menghasilkan tidak kurang dari 27 juta ton phosphate dan 5.895 produksi derivatif phosphate. Pada tahun 2008, hanya dari phosphate Maroko memperoleh USD 6,9 triliun.

Sampai sekarang Indonesia belum menjadikan negara itu sebagai pemasok utama phosphate. Kebanyakan phosphate yang digunakan industri pupuk Indonesia berasal dari negara lain di kawasan Timur Tengah, yakni Jordania, dan Asia Selatan, yakni India.

Dari penjelasan yang disampaikan Menteri Perindustrian MS Hidayat yang berbicara pada satu kesempatan bulan Juli lalu, diperoleh kesimpulan bahwa upaya industri pupuk Indonesia memenuhi kebutuhan pupuk di dalam negeri masih tersendat-sendat. Itulah sebabnya tahun ini pemerintah berencana membangun lima pabrik pupuk majemuk (NPK) untuk memenuhi kebutuhan pupuk sebesar 8 juta ton.

Sejauh ini, produksi pupuk yang dihasilkan industri pupuk dalam negeri baru sebesar 3,5 juta ton. Salah satu penyebab persoalan ini adalah pasokan rock phosphate yang minim. Menteri Hidayat mengatakan, saat ini Indonesia tengah melakukan pembicaraan dengan tiga negara di Afrika utara yang memiliki cadangan rock phospate terbilang banyak. Ketiga negara itu adalah Tunisia, Mesir dan tentu saja Maroko.

Phosphate Maroko dieksplorasi dan diproduksi oleh sebuah perusahaan swasta nasional, Office Cherifien des Phosphates (OCP) yang cikal bakalnya didirikan pada 1920. Pertambangan pertama yang dibuka di masa kolonial Prancis itu berada di Boujniba, tidak jauh dari Khouribga. OCP mulai menjadi eksportir produk derivatif phosphate pada tahun 1965, ditandai dengan berdirinya Maroc Chimie, di Safi. Di tahun 1998, OCP mulai memproduksi dan mengekspor asam phosphate.

OCP telah menjalin hubungan partnership dengan sejumlah perusahaan lain di luar negeri seperti dengan Belgia (Prayon), dengan Belgia dan Jerman (Emaphos), dan dengan India (Zuari Maroc Phosphore).

Adapun Dutabesar Majdi mengatakan bahwa pembicaraan mengenai pasokan rock phosphate dari Maroko ke Indonesia telah dilakukan sejak beberapa waktu lalu. Dia berharap dalam waktu dekat pembicaraan itu akan menemui hasil.

SECARA historis hubungan Indonesia dan Kerajaan Maroko telah terjalin sejak pertengahan abad 14 Masehi. Kabar mengenai kepulauan besar di Asia Tenggara yang kemudian dikenal sebagai Indonesia dibawa oleh pengelana dari Maroko, Ibnu Battutah. Dari Maroko ia berangkat menuju timur, menyinggahi Mesir lalu menyusuri kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan sebelum akhirnya tiba di Kerajaan Samudera Pasai di Aceh yang saat itu sedang berada di puncak kejayaan.

Selain Ibnu Batuttah, pondasi hubungan Indonesia dan Maroko di masa lalu ikut dibangun oleh seorang ulama besar yang dikenal dengan sebutan “Syeikh Maghribi” alias Maulana Malik Ibrahim yang hidup di abad ke-16. Salah satu sesepuh Wali Songo ini awalnya mengunjungi Indonesia untuk berdagang.

Kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda di tahun 1945 ikut menginspirasi Maroko yang sejak lama ingin meraih kembali kemerdekaan mereka dan melepaskan diri dari cengkeraman Prancis. Di masa itu, tidak sedikit pejuang kemerdekaan dari Afrika Utara, termasuk Maroko, menjadikan Indonesia sebagai tempat pengasingan.

Komite Pembantu Perjuangan Kemerdekaan Negara-negara Afrika Utara yang diketuai M. Natsir pun memberikan dukungan penuh kepada Maroko. Salah seorang pejuang kemerdekaan Maroko, Alal Fassi, ikut hadir dalam Konferensi Asia Afrika yang digelar di Bandung tahun 1955. Setahun setelah KAA, tepatnya 2 Maret 1956, Maroko mendapatkan kembali kemerdekaannya.

Bulan April 1960, Presiden Sukarno mengirimkan Dutabesar Indonesia untuk Maroko, Mohammad Nasir Datuk Pamoentjak. Tiga minggu setelah itu, pada awal Mei 1960, giliran Presiden Sukarno mendarat di Rabat. Itu adalah kunjungan kepala negara asing pertama sejak Maroko merdeka empat tahun sebelumnya.

Raja Muhamad V, Putera Mahkota Moulay Hassan (kelak menjadi Raja Hassan II), Perdana Menteri/Menlu Abdullah Ibrahim, para menteri dan pembesar Maroko, sipil dan militer juga korps diplomatik menyambut kehadiran Bung Karno. Di Rabat, Presiden Soekarno dan Raja Mohammad V meresmikan Rue Soekarno atau Jalan Soekarno yang berdekatan dengan Kantor Pos Besar dan Gedung Parlemen. Sementara di Casablanca, sebuah bundaran diberi nama Rondpoint de Bandung atau Bundaran Bandung.

Di dalam kesempatan itu, Raja Mohammad V memberikan gelar “Pahlawan Kemerdekaan Dunia Islam” untuk Bung Karno. Raja Mohammad V menganugerahkan Bintang Mahkota atau Orde du Trone kepada Bung Karno. Sebaliknya Bung Karno menganugerahkan Bintang Sakti kepada Raja Mohammad V.

MENGINGAT kandungan phosphate yang cukup tinggi, banyak kalangan di Indonesia menduga bahwa sektor pertambangan merupakan penyumbang pendapatan terbesar bagi Maroko. Ternyata anggapan ini keliru.

“Sektor andalan Maroko adalah pariwisata, bukan pertambangan,” kata Dubes Majdi.

Selain sebagai mesin penangguk uang, sektor pariwisata Maroko juga berperan sebagai penyedia lapangan kerja. Menurut catatan pada tahun 2008 sebanyak 8 juta wisatawan mengunjungi negeri itu. Dan penerimaan negara dari sektor ini untuk tahun 2007 sebesar USD 7,55 miliar. Pada tahun 2010 ini, Maroko menargetkan kunjungan 10 juta wisatawan dari berbagai negara. Untuk menampung jumlah sebesar ini, pemerintah Maroko mendorong sektor pariwisata menambah 160 ribu tempat tidur dan menyediakan 600 ribu lapangan pekerjaan baru di sektor ini.

Marrakesh masih menjadi tujuan pariwisata nomor satu di Maroko. Namun demikian, peningkatan jumlah wisatawan sebesar 20 persen ke Fes pada tahun 2004 memberikan harapan besar bahwa manajemen adalah kunci untuk mencapai target wisatawan tahun ini.

Raja Mohammad VI baru-baru ini menginisiasi Rencana Azur, sebuah program yang bertujuan menginternasionalisasi Maroko. Dalam program ini, pemerintah Maroko akan menyiapkan enam kawasan resor di pinggir pantai, lima di sepanjang Samudera Atlantik, dan satu di Laut Mediterania. Dalam proyek ini juga dipersiapkan bandara baru juga jaringan transportasi darat. Pada tahun 2008, sebanyak 927 ribu orang Spanyol mengunjungi Maroko, disusul Portugis (587 ribu), dan Inggris (141 ribu). Sejauh ini belum ditemukan catatan pasti mengenai jumlah wisatawan asal Indonesia di Maroko. Namun dapat dipastikan, jumlahnya tidaklah banyak.

“Sektor pariwisata tidak hanya membutuhkan SDM yang memiliki kemampuan yang memadai, pelayanan, keramahan dan keindahan objek wisata,” terang Dubes Majdi sambil menambahkan bahwa komitmen yang tinggi terhadap sektor pariwisata telah diperlihatkan pemerintah Maroko sejak 1970an. Di masa itu sekolah-sekolah pariwisata di banyak kota yang dipersiapkan menjadi objek wisata unggulan.

“Selain hal-hal tadi, sektor ini juga membutuhkan infrastruktur yang dapat menopang kegiatan pariwisata. Kami menghubungkan kota-kota kami dengan jalan yang berkualitas bagus,” sambung Dubes Majdi.

Infrastruktur berupa ruas jalan yang bagus ternyata mendorong lahirnya objek-objek wisata baru di kota-kota yang selama ini tidak masuk dalam kategori objek wisata.

Awalnya, kebanyakan turis mancanegara hanya mengunjungi kota yang terlalu jauh dari Casablanca dan Rabat, seperti Marrakesh. Itu terjadi karena bandara yang memadai untuk penerbangan internasional hanya berada di Casablanca. Setelah Maroko memiliki banyak bandara yang dapat disinggahi penerbangan internasional, barulah turis mulai mengunjungi kota-kota lain, seperti Tangier di utara dan Agadir di selatan, atau yang lebih jauh di selatan seperti Laayoune dan Dakhla di Sahara.

“Sekarang, dengan semua maskapai penerbangan yang beroperasi di Maroko, baik maskapai dalam negeri, Royal Maroc Airlines, maupun maskapai luar negeri, orang dapat mengunjungi Tangier, Agadir, Marrakesh, dan kota-kota lain yang tumbuh bersamaan dengan pembangunan infrastruktur,” jelasnya.

Terkadang turis tidak merasa harus berhenti di Casablanca. Banyak turis setelah mendarat di Casablanca segera melanjutkan perjalan ke kota lain. Dalam perjalanan kembali ke Casablanca mereka menggunakan kendaraan, bus atau mobil sambil mengunjungi kota-kota yang terhubungkan oleh jalan berukuran besar bebas hambatan.

Untuk menunjang sektor pariwisata, pemerintah Maroko mengundang maskapai penerbangan asing untuk beroperasi di Maroko. Program “Open Sky” ini terbukti berhasil mengatrol jumlah wisatawan. Program ini pun pada praktinya telah mendorong maskapai penerbangan nasional untuk meningkatkan pelayanan agar tidak tergusur oleh pemain-pemain asing. Ini, jelas Dubes Majdi, adalah buah dari persaingan dan kompetisi yang fair dan terbuka.

DUBES Majdi mengajak masyarakat Indonesia agar melihat Maroko dengan sudut pandang baru. Jarak antara Maroko dan Indonesia, misalnya, walaupun jauh jangan dianggap sebagai hambatan yang tidak terpecahkan. Jarak Indonesia dengan negara-negara Eropa dan Amerika Utara juga jauh. Tetapi toh, Indonesia tetap berusaha menjalin hubungan ekonomi dengan negara-negara yang terletak amat jauh itu.

Maroko pun harus dipahami sebagai pintu alternatif yang dapat digunakan Indonesia untuk masuk ke Eropa, Amerika Serikat, serta tentu saja Timur Tengah dan Afrika. Maroko memiliki perjanjian-perjanjian free trade dengan negara-negara di kawasan itu. Bila jeli, pengusaha Indonesia dapat memanfaatkan Maroko sebagai bantu loncatan untuk memasarkan produk ke negara-negara lain di kawasan sekitarnya.

Hal lain yang digarisbawahi Dubes Majdi, menjalin hubungan ekonomi antara kedua negara tentu tidak begitu sulit mengingat masyarakat kedua negara standar nilai dan pandangan hidup yang relatif sama-sama moderat. Dan, ini yang juga penting, saling mengetahui keberadaan masing-masing.

Catatan: Artikel ini ditulis untuk Majalah Pilar Bangsa, edisi Oktober 2010.

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s