Intinya, Menkeu Sri Mulyani Indrawati Telah Kehilangan Legitimasi

Surat itu bernomor R-21/Pres/03/2010 tertanggal 26 Maret 2010, ditandantangani Presiden SBY dan ditujukan kepada Ketua DPR.

Di bagian kepala tercantum petunjuk perihal isi surat, yakni mengenai penambahan wakil pemerintah untuk membahas RUU tentang Perubahan atas UU 47/2009 tentang APBN tahun anggaran 2010.

“Menyusuli surat kami Nomor R-17/Pres/020/2010 tanggal 25 Februari 2010 perihal Rancangan UU tentang Perubahan atas UU No 47 tahun 2009 tentang APBN 2010, bersama ini dengan hormat kami sampaikan bahwa dalam pembahasan RUU tersebut, selain menugaskan Menteri Keuangan, kami menugaskan pula Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama untuk mewakili kami dalam membahas RUU tersebut.”

Surat itu ikut memperunyam posisi Sri Mulyani, menyusul keputusan Rapat Paripurna DPR awal Maret lalu yang menegaskan bahwa keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dan selanjutnya menggelontorkan dana talangan yang membengkak hingga mencapai Rp 6,7 triliun adalah salah dan melanggar aturan aturan hukum.

Ia, surat itu, menjadi semacam pintu masuk yang digunakan oleh kelompok anggota DPR yang mencoba konsisten dengan keputusan yang dihasilkan dalam Rapat Paripurna DPR awal Maret 2010. Menurut mereka, Sri Mulyani sebagai pihak yang harus bertanggung jawab dalam skandal bail out Bank Century tidak pantas dan tidak patut lagi berbicara di depan DPR mewakili pemerintah. Apalagi untuk materi yang berkaitan dengan keuangan negara.

Sri Mulyani memang tidak sendiri. Ketika KKSK memutuskan bail out, dinihari 21 November 2008, secara ex officio ia memimpin lembaga yang dibentuk berdasarkan Perppu 4/2008 tentang Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang ditandatangani Presiden SBY bulan Oktober 2008 dan dimentahkan DPR bulan Desember 2008.

Selain mantan Direktur Eksekutif IMF untuk kawasan Asia Pasifik itu, pejabat negara setingkat menteri lainnya yang dianggap ikut bertanggung jawab atas keputusan KKSK tersebut adalah (mantan) Gubernur Bank Indonesia Boediono yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden. Hanya mereka berdualah, Sri Mulyani dan Boediono, yang duduk sebagai ketua dan anggota KKSK.

Adalah Boediono yang dalam rapat dinihari 21 November 2008 itu bersikukuh meminta agar KKSK menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dan menggelontorkan dana untuk mendongkrak rasio kecukupan modal. Adapun Sri Mulyani sempat menolak usul tersebut di dalam rapat koordinasi yang mendahului Rapat KKSK. Menurut Sri Mulyani, ancaman kriris ekonomi sistemik yang oleh Boediono dijadikan alasan adalah tidak tepat. Namun akhirnya di dalam Rapat KKSK Sri Mulyani menerima saran Boediono tersebut, dan kini menjadi pihak yang paling berlumuran getah.

Rapat antara DPR dan pemerintah untuk membahas mata anggaran APBN Perubahan 2010 pun jadi berantakan. Sejak hari Jumat pekan lalu, pembahasan RAPBN-P ini sudah diwarnai aksi boikot tiga anggota DPR, Bambang Soesatyo dari Golkar, Desmon Mahesa dari Gerindra dan Erik Satya Wardana dari Hanura. Mereka keberatan karena Sri Mulyani, yang menurut mereka telah kehilangan legitimasi, nyatanya masih diberi kesempatan berbicara dalam Rapat Dengan Pendapat (RDP) itu.

Hari Senin lalu (12/4), Sri Mulyani benar-benar ditolak. Sebagian anggota Komisi XI mulai mempertanyakan surat Presiden SBY bernomor R-21/Pres/03/2010 yang menunjuk Menteri Koordinator bidang Perekonomian mendampingi Menteri Keuangan sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan RAPBN-P 2010. Sebagian lainnya membela Sri Mulyani.

Perdebatan berlangsung seru hingga akhirnya Ketua Komisi XI Emir Moeis dari PDI Perjuangan menutup rapat yang baru berlangsung kurang dari satu jam. Ia meminta agar Menko Perekonomian Hatta Rajasa hadir dalam rapat berikutnya yang diagendakan sehari kemudian.

Tetapi, walaupun Hatta Rajasa hadir mendampingi Sri Mulyani, rapat yang digelar hari Selasa (13/4) tetapi dihujani interupsi. Pada sesi malam hari, anggota Komisi XI Dolfie Ofp dari PDIP pun memilih walk out dengan alasan, lagi-lagi, Sri Mulyani tidak punya legitimasi untuk mewakili pemerintah.

Hatta Rajasa memang telah berupaya menjelaskan asbabun nuzul surat bernomor R-21/Pres/03/2010. Surat itu, demikian menurut Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), adalah bagian dari antisipasi yang disiapkan Presiden SBY sebelum berangkat menuju KTT ASEAN di Hanoi Vietnam beberapa waktu lalu. Siapa tahu, Sri Mulyani harus tinggal lebih lama di Hanoi untuk melanjutkan pembicaraan dengan menteri-menteri keuangan se-ASEAN. Bila hal itu yang terjadi, maka Presiden SBY pun menyiapkan kartu baru untuk mewakili dirinya dalam pembahasan RAPBN-P 2010.

Namun di mata anggota Fraksi PDIP Maruarar Sirait, misalnya, surat itu menyiratkan pemahaman Presiden SBY atas dinamika politik yang ada di Parlemen setelah bail out Bank Century dinyatakan melawan hukum dan Sri Mulyani bersama Boediono termasuk pejabat yang harus bertanggung jawab.

“Jelas bahwa Presiden memaklumi situasi yang ada. Sehingga ada opsi untuk memperlancar pembahasan RUU APBN-P dengan menghadirkan Menko. Bukan hanya Menkeu seperti selama ini,” kata Maruarar yang merupakan satu dari sembilan motor Pansus Centurygate.

Melihat reaksi dan penjelasan yang disampaikan Maruarar ini, publik pun dapat memahami bahwa polemik yang tengah terjadi di lantai Komisi XI sebenarnya tidak sebatas pada persoalan surat bernomor R-21/Pres/03/2010 tersebut. Polemik ini dipicu pada kenyataan politik baru bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani telah kehilangan legitimasi. Bila ia tetap memaksakan diri, maka yang kini dikhawatirkan adalah, pembahasan RAPBN-P 2010 tidak akan maksimal.

One Reply to “”

Leave a reply to dhani wisnu Cancel reply