Di dalam buku “Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga, Istana, Tangsi dan Partai Penguasa” yang ditulis dan diterbitkan George Junus Aditjondro tahun 2006 lalu ada bagian yang menyoroti nepotisme di era pemerintahan Abdurrahman Wahid.
“Tetapi beliau tidak menghambat, tidak menekan, juga tidak meminta bagian itu disensor,” ujar George ketika dihubungi (Kamis, 31/12).
Buku yang diterbitkan oleh LKiS, sebuah penerbitan yang berafiliasi dengan NU, menguliti praktik KKN yang bertranformasi dari rezim Soeharto ke rezim-rezim setelahnya, Habibie, Megawati, dan Gus Dur hingga SBY.
Mengenai Gus Dur, di halaman 25 buku itu misalnya, George menulis, “Memang, rezim Gus Dur patut diberikan jempol karena berani mengambil langkah-langkah menegakkan supremasi sipil dan mulai mengadili Soeharto. Namun, dalam hal membiarkan nepotisme keluarga Wahid serta kroniisme para pendukungnya dari lingkungan NU dan PKB, Gus Dur belum banyak bergeser dari tradisi Soeharto.”
“Walhasil, skandal Bulog-gate I dan Brunei-gate memberikan umpan kepada lawan-lawan politiknya untuk menggulingkan dia atas nama “pemberantasan KKN di lingungan penyelenggara negara”. Padahal saat itu wacana politik tingkat nasional sudah mulai dijangkiti kecaman-kecaman terhadap Taufiq Kiemas, suami Megawati Soekarnoputri, Wakil Presiden yang dijagokan untuk menggantikan Gus Dur.”
Pada bagian selanjutnya, sebut George, buku itu juga menyoroti bagaimana orang-orang di sekitar Gus Dur berusaha untuk mendapatkan proyek pemerintah, dan ada juga yang menjadi makelar kasus BLBI.
“Saya tidak perlu sebutkan secara rinci. Tetapi yang jelas Gus Dur tidak melarang dan tidak marah. Menurut saya Gus Dur jauh lebih demokrat dibandingkan orang yang menyebut dirinya Partai Demokrat,” ujarnya.
