
Konflik di kalangan elit kaum Nahdliyin adalah hal yang biasa. Sekeras apapun perbedaan pendapat di antara mereka, pada akhirnya akan ditemukan jalan keluar yang relatif menyenangkan semua pihak yang terlibat dalam konflik.
Tampaknya itulah pesan yang tersirat dari pembicaraan antara KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dengan KH Abdul Azis Mansyur di ruang 116 Gedung A Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) kemarin pagi.
Saya beruntung menjadi saksi mata pertemuan itu. Sehari sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Syuro Lili Wahid yang juga anggota Komisi I DPR RI menghubungi saya via telepon dan mengajak saya ikut ke RSCM bersama KH Abdul Azis membesuk Gus Dur.
Itu adalah pertemuan pertama kedua tokoh PKB ini setelah konflik kembali merebak di tubuh partai berlambang bola dunia dan bintang sembilan itu tahun lalu. Dalam Muktamar Luar Biasa (MLB) yang digelar kubu Muhaimin Iskandar di Ancol ketika itu Abdul Azis terpilih sebagai Ketua Dewan Syuro, menggeser Gus Dur.
Abdul Azis yang mengenakan jas berwarna krem dan kain sarung kotak-kotak yang didominasi warna biru tiba di RSCM pukul 09.00 pagi. Selain istrinya, kiai dari Jombang ini ditemani Wakil Ketua Dewan Syuro Lili Wahid yang juga anggota Komisi I DPR RI dan anggota Dewan Syuro Churriyah Imron. Sementara Gus Dur yang mengenakan T-shirt biru muda dengan tulisan “Joger Jelek” di dada kiri dan celana pendek hitam hanya ditemani beberapa staf pribadi yang berjaga-jaga di luar ruangan.
Keadaan Gus Dur terlihat lebih baik dari sebelumnya. Menurut beberapa teman dekat Gus Dur, sejak pernikahan putri sulungnya Yenny Wahid beberapa waktu lalu, mantan presiden ini memang telihat lebih segar. Padahal sebelum itu, kesehatan Gus Dur sempat mengkhawatirkan.
Di awal bulan Juli misalnya, menjelang pemilihan presiden, bersama Rizal Ramli, Adhie Massardi, dan beberapa teman kami membesuk Gus Dur di RSCM, di ruang perawatan yang berbeda. Ketika itu Gus Dur berkata bahwa ia sedang mengalami sakit rohani sebelum naik ke tingkat yang lebih tinggi.
Di hari ulang tahunnya, 4 Agustus lalu, kesehatan Gus Dur pun tampak tak begitu baik. Di hari itu tubuhnya lebih gemuk karena oedem atau cairan yang mengumpul di tubuh akibat ginjalnya sudah tak berfungsi baik lagi.
Dalam pertemuan yang berlangsung hangat dan bersahabat kemarin, Gus Dur dan Abdul Azis saling bertukar cerita mengenai ulama-ulama Nahdlatul Ulama (NU) di masa lalu yang walau sering berseberangan dan berbeda pendapat namun pada akhirnya akan menemukan jalan keluar yang win-win solution.
Di era 1960an misalnya, Rois Syuriah PB NU KH Wahab Hasbullah dan Wakil Syuriah KH Bisri Sansuri kerap berbeda pendapat. Tidak jarang keduanya saling memukul meja ketika mempertahankan pendapat masing-masing dalam sebuah rapat. Tetapi ketika masuk waktu shalat, cerita Gus Dur, KH Bisri selalu mengambilkan air wudhu untuk KH Wahab. KH Bisri pun tahu diri. Dia tak mau berjalan sejajar dengan sang ketua, KH Wahab.
Salah satu hal yang pernah diperdebatkan kedua pendiri NU itu adalah mengenai posisi NU di DPR Gotong Royong yang dibentuk Soeharto setelah Sukarno jatuh. KH Wahab tak bersedia bila NU mendudukkan tokoh-tokohnya di parlemen ala Soeharto itu.
Menurut KH Wahab, DPR GR menyalahi prinsip demokrasi karena tidak dipilih dalam sebuah pemilihan umum. DPR GR, masih menurut KH Wahab, adalah parlemen boneka yang dibentuk untuk mendukung kekuasaan Soeharto. Di sisi lain, KH Bisri menilai bahwa ketika itu hanya NU yang dapat melindungi kepentingan umat Islam di DPR GR, terlepas bahwa parlemen itu dibentuk tanpa melalui pemilihan umum.
Saat itu memang hanya NU kekuatan politik Islam yang eksis. Masyumi telah lebih dahulu dibubarkan Bung Karno di akhir era 1950-an karena diduga berada di sejumlah aksi makar.
Usai pertemuan, KH Abdul Azis kepada saya kembali mengatakan bahwa agenda utama kunjungannya ke Gus Dur adalah dalam rangka bersilaturahmi Hari Raya dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan konflik di tubuh PKB.
“Kita tetap menghormati Gus Dur,” ujarnya sambil menambahkan bahwa Ketua Umum Dewan Tanfidz Muhaimin Iskandar juga mengetahui pertemuan dirinya dengan Gus Dur ini.
Sementara menurut Lili Wahid, pertemuan kedua tokoh PKB dan kiai kaum Nahdliyin ini memperlihatkan bahwa tradisi demokrasi masih mewarnai PKB. “Perbedaan pendapat terjadi tanpa harus memutus silaturahmi. Semoga pertemuan ini bisa membuka jalan rekonsiliasi,” ujarnya singkat.
Secara terpisah anggota DPR dari PKB, Effendy Choirie, mengatakan bahwa dari pembicaraannya dengan sejumlah politisi partai itu dia mendapat kesan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam konflik sudah ingin islah dan kembali menyatukan kekuatan.
Menurut Gus Choi, begitu Effendy biasa disapa, kedua kubu yang bertikai kini mulai menyadari bahwa perpecahan di antara mereka membuat partai itu kehilangan pengaruh di pentas politik nasional.
“Dulu kita punya 52 anggota di DPR. Kini hanya ada 28,” ujar Gus Choi sambil mengatakan islah tidak terhindarkan bila PKB ingin bertahan hidup.