
Lukisan yang menggambarkan aktivitas jual-beli di sebuah pasar (tradisional) punya feng shui bagus. Apalagi kalau yang digambarkan sedang melakukan aktivitas jual-beli itu adalah wanita-wanita berparas ayu yang sedap dipandang mata.
Begitu kata seorang teman ketika kami mengunjungi sebuah pameran lukisan di Jakarta beberapa bulan lalu. Sambil membarengi langkahnya meneliti satu persatu lukisan yang dipajang di dinding ruang pameran, saya mendengarkan ceritanya tentang lukisan dan feng shui lukisan.
Saya bukan orang yang suka mengamati “aura” lukisan. Bagi saya yang awam ini, sebuah lukisan dapat dikatakan berkatagori bagus bila ia sedap dilihat. Pilihan objek, (kemungkinan) jalan cerita, komposisi warna, proporsi objek, aliran –realis, surealis, abstrak, naturalis, dll– dan sebagainya bisa jadi tak penting bagi saya selagi sebuah lukisan sudah sekadar enak dipandang mata.
Sementara teman saya ini, yang usianya belum lagi berkepala empat, sepertinya punya keahlian khusus untuk menilai baik atau buruk aura yang terpancar dari sebuah lukisan. Ini penting, karena aura lukisan bisa menulari si pemilik lukisan, ujarnya setengah berbisik di antara alunan lagu-lagu Ebiet G. Ade yang memenuhi ruang pameran.
“Hati-hati bila ingin membeli lukisan. Sebuah lukisan boleh terlihat bagus. Tapi kalau feng shui-nya buruk, maka si pemilik bisa celaka. Ada baiknya bertanya-tanya dulu pada orang yang mungkin paham aura lukisan,” kata teman ini lagi, kali ini dengan suara yang lebih keras untuk mengatasi suara Ebiet si pelantun Camellia I hingga IV. Matanya bersinar-sinar menyapu sebuah lukisan kucing yang oleh si pelukis diberi judul “Si Manis”.
Tak semua lukisan punya feng shui bagus, masih katanya. Ada lukisan yang punya feng shui buruk seindah apapun lukisan itu kelihatannya. Percaya atau tidak, sambungnya, aura lukisan akan menulari si pemilik. Bila dipajang di ruang keluarga atau ruang lain yang sering dikunjungi handai taulan dan kerabat, maka aura baik atau buruk yang dimiliki sebuah lukisan akan mempengaruhi kehidupan rumah tangga juga bisnis si pemilik lukisan.
Di rumah teman saya ini ada sekitar 300 lukisan berbagai objek dan aliran. Memang tidak semua lukisan-lukisan itu miliknya. Sebagian besar adalah milik kakaknya yang kini dapat dikatakan hidup sukses: keluarganya harmonis dengan lebih dari satu istri. Begitu juga bisnis dan kariernya, mantap.
Tetapi dulu, cerita kawan itu, sang kakak pernah salah membeli dan salah memajang lukisan. Dalam sebuah pameran kakak teman saya ini membeli lukisan yang menggambarkan beberapa orang tengah mengarungi ganasnya samudera di atas perahu. Lukisan itu dipajang di salah satu ruang keluarga di rumahnya.
“Lukisan itu bagus, karena menggambarkan semangat yang begitu rupa dalam mengarungi samudera. Tapi terlalu berisiko. Seperti mengarungi samudera yang sesungguhnya, manusia bisa saja kalah ditelan keganasannya.”
Begitu juga dengan perjalanan rumah tangga sang kakak. Perkawinan pertamanya kandas. Lukisan mengarungi samudera itu dianggap ikut berperan di balik perceraiannya. Kini lukisan itu disimpan di gudang, diletakkan terbalik menghadap dinding. Sementara kakaknya, seperti telah saya sebutkan di atas, telah menikah lagi dengan beberapa wanita lain dan, ini yang penting, hidup bahagia.
***
Lukisan yang ada di awal tulisan ini tergantung di salah satu dinding ruang kerja Direktur Utama PT LEN Industri (Persero), Wahyuddin Bagenda. Untuk mempersiapkan edisi revisi buku karya Yusron Ihza yang berjudul “Tragedi & Strategi Pertahanan Nasional” (Latofi Enterprise, Oktober 2009) akhir pekan lalu kami mengunjungi PT LEN Industri yang berada di Jalan Sukarno-Hatta, Bandung. LEN Industri adalah tempat ketiga yang kami kunjungi setelah PT Pindad dan PT Dirgantara Indonesia.
Di ujung pembicaraan, setelah kami saling bertukar kekhawatiran tentang komitmen pemerintah yang kami simpulkan lemah dalam mendorong pembangunan industri strategis, saya menyinggung lukisan itu yang dibuat pelukis Budianto di Ubud tahun 2004 lalu. Setelah meminta izin, saya memotretnya.
Tentu bukan karena lukisan itu, melainkan karena kerja keras Wahyuddin dkk, LEN Industri walaupun merasa kurang diperhatikan pemerintah tetap dapat bertahan. Dengan sekitar 400 karyawan LEN Industri yang ketika didirikan tahun 1965 berada di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan sejak 1991 berada di bawah Kementerian BUMN (sekaligus mengubah nama menjadi LEN Industri) kini mengantongi kontrak kerja senilai Rp 1 triliun. Tak begitu kinclong, tapi lumayanlah bila sudah tidak bleeding dan membebani APBN.

Hari merambat menjelang senja. Dengan ramah Wahyuddin menerima kami di ruang kerjanya. Kalimat demi kalimat yang mengalir dari mulutnya mengenai kinerja dan berbagai persoalan yang dihadapi LEN Industri terdengar begitu akrab: seakan kami sedang berbicara dengan seorang sahabat di warung kopi di pinggir jalan, di bawah pohon rindang.
Sebelum sampai pada keluhan-keluhannya mengenai komitmen pemerintah dalam mendukung industri strategis plat merah, Wahyuddin lebih dahulu memaparkan segmentasi industri yang digarap LEN yang meliputi industri pendukung kedaulatan dan pendukung kesejahteraan.
Segmen pendukung kedaulatan negara yang dimaksud Wahyuddin berkaitan dengan industri pertahanan, transportasi dan telekomunikasi. Dari ketiga industri ini, LEN baru bisa bicara di dua jenis industri terakhir, yakni transportasi dan telekomunikasi. Di bidang transportasi, sebagai contoh, LEN Industri adalah penyuplai sistem komunikasi interlocking kereta api. Begitu juga dengan sistem navigasi yang mereka kembangkan dan digunakan oleh beberapa operator transportasi Indonesia.
Di sektor telekomunikasi, sebagai contoh, LEN berperan dalam manufaktur WiMAX atau Worldwide Interoperability for Microwave Access, teknologi telekomunikasi yang menyediakan transmisi nirkabel dengan menggunakan berbagai jenis moda transmisi dari yang bersifat point to multipoint sampai komunikasi portable dan mobile internet access. Dua jenis WiMAX produksi LEN Industri, yakni fixed WiMAX 802.16d maupun mobile WiMAX 802.16e, misalnya, menjadi favorit dalam workshop WiMAX dan jaringan Wireless di Asian Institute of Technology (AIT) Thailand yang diselenggarakan oleh Interlab AIT bekerjasama dengan Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi Indonesia pertengahan Oktober lalu.
Sementara untuk segmen pendukung kesejahteraan masyarakat, Wahyuddin mengakui bahwa mereka baru bisa berkiprah dengan optimal di sektor industri energi terbarukan. Saat ini LEN sedang fokus untuk mengembangkan industri solar module.
Awal Oktober lalu, dalam sebuah kesempatan Wahyuddin mengatakan bahwa LEN Industri berencana membangun pabrik solar module yang akan beroperasi secara optimal pada 2011 dengan total produksi hingga 50 MW per tahun. Target kapasitas listrik sebesar itu diperkirakan akan tercapai pada tahun 2014. Sampai tahun 2025, produksi solar module diupayakan menjadi 100 MW hingga 250 MW per tahun. Di kompleks LEN Industri sendiri, saat ini, solar module yang mereka produksi dapat menekan pengeluaran LEN dengan sangat signifikan.
Tetapi, sambung Wahyuddin, kemampuan LEN Industri masih membutuhkan satu hal lagi, yakni dukungan penuh dari pemerintah berupa kebijakan politik untuk mempabrikasi produk-produk LEN dalam skala massal dan menggunakannya di dalam negeri.
Dia mengakui bahwa sejauh ini pemerintah telah mengeluarkan beberapa keppres dan inpres untuk mendukung industrialisasi yang dilakukan BUMNIS, termasuk LEN Industri. Namun sayangnya, berbagai aturan itu tidak teraplikasikan dengan baik. Tidak ada pengawasan yang memadai, yang mampu membuat perangkat hukum itu berjalan. Di sisi lain, pemerintah kerap mengambil langkah yang justru bertentangan dengan aturan-aturan itu.
“Saya ambil contoh. Di bidang energi pemerintah membelanjakan atau membeli energi kira-kira 7 MW per tahun. Tapi yang terserap paling tinggi hanya 2 MW. Padahal kapasitas kita 6 MW. Artinya, sisanya menguap ke luar negeri karena pemerintah membeli produk luar negeri. Padahal, kami mengikuti harga internasional sebesar 3 USD per KWH,” kata Wahyuddin.
Hal lain yang dicontohkannya adalah pil pahit yang mereka telan karena pemerintah mengabaikan LEN Industri dalam pembuatan panser Anoa 6×6. Saat masih dalam tahap perencanaan, LEN Industri diikutsertakan sebagai pihak yang akan menyiapkan sistem komunikasi Anoa.
“Panglima TNI bilang bagaimana caranya agar Anoa bisa diekspos di HUT TNI tanggal 5 Oktober. LEN ikut menyusun alat komunikasi. Semua engineer kami sampai bergadang agar bisa melahirkan sistem komunikasi yang bagus di dalam panser kita,” ceritanya.
Tapi, malang tak dapat ditolak, belakangan PT Pindad membatalkan keikutsertaan LEN Industri. Saat ditanya, PT Pindad mengatakan bahwa Mabes TNI memutuskan untuk membeli sistem dan alat komunikasi untuk melengkapi panser Anoa dari Afrika Selatan. Jawaban ini jelas mengecewakan Wahyuddin dan membuat keraguannya atas komitmen pemerintah semakin bertambah.
“Mestinya dihargai. Sekecil apapun, itu adalah kekuatan kita. Kalau kita mau maju sebagai bangsa, kita harus mempunyai kemandirian teknologi,” ujarnya lagi sambil menambahkan hal ini terjadi karena pemimpin Indonesia tidak percaya diri dan memiliki gengsi yang tinggi. Serta satu lagi, tidak punya semangat nasionalisme yang tinggi.
Kini, LEN Industri sedang mengikuti tender untuk pengadaan sistem dan alat komunikasi Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) dengan nilai kontrak sebesar 60 juta dolar AS. Untuk membantu pembiayaan produksi LEN Industri menggandeng pihak luar. Dari kesepakatan dengan pihak luar itu, LEN akan memperoleh sebesar 30 persen dari nilai kontrak bila mereka menang dalam tender.
Wahyuddin juga telah berkali-kali menyakinkan bahwa sistem dan alat komunikasi yang mereka ciptakan memiliki kerahasiaan yang dapat diandalkan. Dia juga bersedia memberikan encryption sistem komunikasi yang mereka buat ke Mabes TNI dan Lembaga Sandi Negara agar kerahasiaannya tetap terjaga.
Sejauh ini LEN Industri telah lulus administrasi dan teknis dalam tender itu. Saat uji coba dilakukan, produk mereka keluar sebagai produk terbaik. Belum lagi, harga yang mereka tawarkan pun lebih murah dengan jumlah produksi yang lebih banyak.
Tetapi, belakangan Wahyuddin mendapat kabar bahwa Mabes TNI telah mengirimkan surat kepada Menteri Pertahanan yang meminta agar Harris buatan Amerika Serikat yang digunakan oleh PPRC. Nah, barang dengan merek dagang Harris ini dibawa oleh sebuah perusahaan Singapura, Grow Hill International, yang juga mengikuti tender. Padahal Menhan telah membuat aturan yang menegaskan bahwa hanya perusahaan dari negara yang memproduksi barang yang dibutuhkan yang dapat mengikuti tender.

Belakangan, Wahyuddin mendapatkan bukti-bukti bahwa Grow Hill International tidak layak ikut tender. Perusahaan itu hanya memiliki modal sebesar 30 dolar Singapura. Sementara tender yang dilakukan untuk kontrak senilai 60 juta dolar AS.
Wahyuddin telah mengirimkan surat ke Menhan untuk mempertanyakan hal ini. Di dalam surat itu ia juga melampirkan berbagai dokumen yang mereka temukan berkaitan dengan Grow Hill.
“Belum ada keputusan mengenai hasil tender. Tapi surat yang mendukung Grow Hill telah disampaikan. Saya kalau perlu akan mengirimkan surat untuk Presiden. Kita berdoa saja agar hati pemimpin kita dibukakan olehNya,” demikian Wahyuddin.
Begitulah. Dan setelah ia menutup ceritanya, saya menyinggung lukisan wanita-wanita berparas ayu yang sedang berjual-beli itu. Menyambut obrolan ringan saya soal lukisan dan feng shui lukisan yang saya dapatkan dari teman saya yang sepertinya memiliki keahlian khusus untuk mengamati aura lukisan, Wahyuddin tersenyum lebar.
“Saya sedang mencari lukisan panen padi supaya LEN semakin mantap,” tawanya.
